Alan bergegas keluar dari kamarnya, menuju ke kamar Kenan. Namun, ketika Alan membuka pintu kamar tersebut, tampak Kenan audah terkantuk-kantuk. Sedangkan Kanaya, masih membacakan buku cerita.Beberapa saat lalu, setelah selesai makan malam, Kenan memang sudah meminum obat. Mungkin, efek dari obat tersebut mulai bekerja, hingga membuat Kenan sudah mulai didera rasa kantuk.Saat melihat sosok Alan yang masuk, seketika Kanaya pun merasa gugup. Dia cemas jika Alan kembali mengungkit hubungan mereka. Kanaya bingung harus berbuat apa. Apalagi, di rumah tersebut tak ada Arumi. Kanaya yakin, sikap Alan pasti kian tak terkontrol. "Kenan udah tidur ya?" tanya Alan, saat sudah berdiri di dekat tempat tidur Kenan, dan melihat kelopak mata anak itu sudah tertutup. Kanaya pun mengangguk. "Udah, Pa." "Ya udah Papa keluar dulu."Alan pun membalikkan tubuh, lalu keluar dari kamar tersebut. Meskipun sebenarnya Alan kecewa, terpaksa malam ini dia harus mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Ken
Pak Leo pun mengangkat wajah. Lelaki itu, tampak mengernyitkan kening sembari menatap Arumi lekat."Nanti, kita bicara saat sudah sampai saja."Pak Leo pun mengangguk, disertai raut wajah datar. Lalu, Arumi kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Pak Leo yang masih menatapnya penuh tanda tanya.Sebagai seorang lelaki dewasa, dia sebenarnya cukup paham dengan apa yang dikatakan oleh Arumi. Namun, dia tak menyangka jika Arumi akan bersikap seperti itu. Karena selama ini, yang terjalin antara dirinya, dan Arumi, benar-benar hubungan bisnis semata, tidak lebih.Akan tetapi, Pak Leo belum mau mengambil kesimpulan lebih lanjut. Dia pun kembali larut dalam pekerjaannya. Lelaki itu memang dikenal sebagai seorang pekerja keras. Dia tak mau membuang waktu, meskipun saat ini sedang dalam perjalanan di pesawat.Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih enam setengah jam, akhirnya rombongan mereka pun tiba di Shanghai, salah satu kota yang menjadi destinasi wisata di Cina.Shanghai, juga ko
Sementara itu, di ujung sambungan telepon, tampak ponsel Kanaya berdering, tapi gadis itu belum bisa mengangkatnya. Kanaya sedang menatap tajam pada Alan. Setelah beberapa kali kali mencoba melepaskan dekapan dari lelaki itu, tapi tetap saja tak bisa.Kanaya sebenarnya begitu kesal, tapi tak dapat dipungkiri, ada rasa nyaman yang dirasakan Kanaya ketika berada di dalam dekapan Alan. "Papa, aku mau angkat teleponnya."Perkataan Kanaya tak dihiraukan oleh Alan. Lelaki itu masih belum melepaskan dekapannya pada Kanaya, meskipun gadis itu kini tengah meronta. Kanaya takut jika Arumi yang menghubunginya."Pa, tolong lepasin. Ada telepon.""Biarin aja ...," sahut Alan dengan tenang."Gimana kalo itu, Mama? Aku nggak mau Mama curiga, Pa.""Nggak ada yang curiga sama kita Kanaya. Terutama Mama kamu, dia justru seneng, kamu bisa gantiin tugas dia.""Pa, kenapa Papa jadi kaya gini sih? Kenapa Papa malah ngingkarin janji Papa? Bukannya aku udah nurutin keinginan Papa buat pulang ke rumah? Sekar
Kanaya mengamati foto itu sejenak, Kenan memang mengambil foto tersebut dari arah belakang. Jadi, hanya punggung Arumi, dan lelaki itu yang tertangkap kamera. Sedangkan wajahnya tak terlihat.Kanaya kemudian mengecek detail foto tersebut, dan memang benar kata Kenan dari tanggal yang tertera, foto itu, diambil kemarin malam saat dirinya dan Alan sedang berada di apartemenAkan tetapi, meskipun tak diketahui siapa sosok lelaki tersebut, foto itu bisa menjadi bukti, sekaligus dapat dipastikan jika Arumi memang memiliki laki-laki lain selain Alan. Kanaya terdiam, sembari mengingat percakapannya dengan Alan beberapa saat lalu. Jika lelaki itu pun ragu dengan kesetiaan Arumi. Atau, mungkin saja Alan sudah tahu Arumi bermain api di belakangnya..Kanaya pun menghela nafas berat, seolah ingin melepas beban yang sekarang terasa mengganjal di dadanya."Kak Naya, sekarang udah percaya 'kan sama aku kalau Mama itu jahat?" tanya Kenan sembari menatap Arumi dengan sorot mata polosnya.Hati Kanaya
Tak mau diketahui oleh Alan, Kanaya pun bergegas pergi dari ruang kerja tersebut menuju ke kamar Kenan. Lalu, kembali ke meja makan menemani Kenan untuk sarapan, setelah mengambil ponsel milik adiknya tersebut. Tak berapa lama, Alan pun bergabung sarapan dengan keduanya. "Tamu Papa udah pulang?" tanya Kanaya membuka percakapan dengan Alan.Alan yang cukup kaget, tiba-tiba Kanaya sudah mau berkomunikasi dengannya tampak terdiam. "Pa ...!""O-oh udah.""Nggak disuruh sarapan dulu, Pa?""Nggak usah, ongkos dari Papa udah lebih dari cukup." Kanaya pun mengangguk, lalu melanjutkan sarapannya."Pa, nanti siang aku anter makan siang ya buat Papa. Papa mau makan siang pake apa?"Alan tertegun sejenak, mendapati sikap lembut Kanaya. Gadis itu, tak lagi bersikap acuh, seperti akhir-akhir ini yang dia tunjukkan."Pa ...!" panggil Kanaya saat melihat Alan yang lagi-lagi hanya terdiam."Oh terserah kamu aja, Kanaya. Papa suka semua masakan kamu."Kanaya pun mengangguk, lalu melanjutkan sarapanny
"Makasih ya, Naya," ujar Oma Dahlia, sembari mengambil dompet yang diberikan Kanaya padanya."Iya Oma."Setelah itu, Kanaya menuju ke kamar. Sedangkan Oma Dahlia, menemani Kenan. Kanaya yang awalnya ingin beristirahat, dan memejamkan mata sejenak, kini justru pikirannya tertuju pada foto di dompet Oma Dahlia yang tadi dia lihat.Foto tersebut, seperti sebuah foto keluarga, sepasang suami istri, dengan dua orang anak perempuannya. Kanaya tahu, salah seorang wanita tersebut adalah Oma Dahlia ketika masih muda, dan satunya lagi wanita yang terlihat jauh lebih muda.Wajahnya tidak asing bagi Kanaya. Namun, Kanaya tak tahu dia siapa. Kanaya mencoba merangkai kepingan-kepingan masa lalu, tapi tetap saja dia tak mengingatnya.Tak mau banyak berpikir Kanaya memilih untuk memejamkan mata, dan beristirahat sejenak. Tubuhnya memang terasa begitu lelah.Setelah satu jam lamanya Kanaya tidur, dan tubuhnya terasa lebih segar. Kanaya bangun, untuk memasak. Siang ini, dia memang janji pada Alan untuk
"Gue mau ke bawah dulu ya, sambil edit foto!" pamit Rain pada teman sekamarnya di Shanghai, yang merupakan asisten Rain.Orang itu pun mengangguk, tanpa curiga sama sekali, karena Rain juga membawa laptop. Namun, tanpa seorang pun tahu, setelah keluar dari kamarnya, kini Rain justru berjalan ke arah kamar Arumi.Ketika mendengar bel kamar yang berbunyi, Boby bergegas membuka pintu kamar itu, agar Rain bisa cepat masuk, tanpa ada yang melihat."Gue keluar dulu ya. Inget, ggak boleh lebih dari jam makan siang loh. Soalnya kita harus prepare!" ujar Boby, memberi peringatan pada Rain.Rain pun terkekeh, sembari melambaikan tangan pada Boby. Setelah laki-laki gemulai itu keluar, Rain mendekat pada Arumi yang saat itu baru saja selesai mandi.Tanpa Rain tahu, Arumi mendengkus kesal. Namun, dia berusaha menahan kekesalannya."Wangi banget!" ujar Rain, sambil mengecup pipi Arumi.Arumi pun terpaksa tersenyum. Lalu, membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan Rain."Temenin aku sarapan yuk, sek
Kelopak mata Rain perlahan terbuka, disertai pening yang masih menjalar di kepala. Dia pun melihat ke sekeliling, dan ternyata dia masih berada di kamar Arumi.Akan tetapi, Rain merasakan sesuatu yang aneh. Tubuh bagian atasnya, tak mengenakkan pakaian, dan saat ini, dia sudah berada di atas ranjang. Rain menoleh ke samping, dan di atas nakas samping ranjang tersebut, tampak laptop miliknya telah tertutup."Kenapa gue di sini? Apa mungkin, Arumi yang mengangkatku ke atas ranjang ini?"Rain memijit pelipisnya sebentar, lalu kembali berujar lirih, "Ah nggak mungkin. Paling si banci kaleng itu yang angkat gue ke sini? Terus kenapa gue sampe nggak pake baju? Ah jangan-jangan laki-laki abal-abal itu udah berbuat yang nggak senonoh sama gue?"Rain mengamati tubuhnya, tapi dia tak menemukan apapun di tubuh tersebut."Nggak ada apa-apa, aman. Ck, mungkin saja ini ulah Arumi, ternyata Arumi mulai nakal."Rain pun terkekeh sembari mencoba mengingat kejadian beberapa saat, sebelum dia pingsan.
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan