Kanaya .... Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali. Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil. Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini. Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan. Aku pun menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata. Akhirnya aku pun menangis ka
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan. Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku. Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka. Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga. Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku. Keluarga hangat itu, seperti t
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
Arumi menoleh, menatap Rain sejenak sembari menggenggam cangkir kopinya dengan kedua tangan. Sorot matanya terlihat kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Rain memperhatikannya dengan seksama, mencoba membaca ekspresi di wajah Arumi."Kamu dari tadi liatin mereka terus. kamu cemburu?" sambung Rain kembali, memperjelas pertanyaannya yang belum sempat dijawab. "Hah? Maksud kamu?""Sejak tadi, kamu merhatiin mereka terus. Kalo aku ajak ngobrol, kamu lebih banyak diam. Apa kehadiranku justru buat kamu nggak nyaman?"Arumi tersenyum tipis, mencoba terlihat biasa saja. "Nggak, aku cuma, masih butuh adaptasi dengan situasi rumah. Selain itu aku juga masih mencoba berusaha mengingat masa lalu. Aku penasaran dengan masa laluku."Rain miringkan kepala, menatapnya dalam-dalam. "Masa lalu yang berhubungan dengan Alan?"Arumi tersentak, cangkir di tangannya hampir terlepas. Dia menatap Rain dengan tatapan terkejut, lalu mengalihkan pandangannya."Kenapa tiba-tiba bawa-bawa Alan? Kenapa
Arumi berdiri di balkon kamar, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tatapannya terpaku pada sosok laki-laki yang baru saja melangkah masuk ke rumahnya, Alan. Pria yang diam-diam selalu mengisi pikirannya, yang kehadirannya selalu dia nantikan. Namun, juga yang seharusnya tidak dia rasakan seperti ini.Senyum Alan yang hangat membuat hatinya bergetar, tetapi dalam waktu yang sama, perasaan bersalah mencengkeramnya erat. Bagaimana bisa dia merasa bahagia melihat pria yang sebentar lagi menjadi milik adiknya?"Bukankah Kanaya sedang pergi?" batin Arumi, bersamaan dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Wanita itu kemudian menoleh, menatap Rain yang masih duduk di sofa."Rain, radi kamu bilang bawa makanan buat aku?"Rain pun mengangguk samar. Bisa dibilang, perasaannya belum baik-baik saja saat melihat sikap Arumi."Bagaimana kalau kita makan di bawah."Rain kembali mengangguk, mengiyakan permintaan Arumi. Meskipun, dia tahu maksud Arumi memintanya ke bawah, pasti karena ingi
Kanaya mengaduk-aduk minumannya dengan gelisah, sesekali menatap ke arah luar jendela kafe. Cuaca yang panas menyengat di luar sana, menambah suasana hatinya yang sedang kacau, kian memanas. Di depannya, Ocha menyandarkan dagu di tangan, mengamati keresahan di wajah Kanaya dengan saksama."Kamu kenapa sih, Nay?""Aku ngrasa kalo Kak Arumi kayaknya nggak suka sama aku."Ocha mengernyit, berpikir sejenak sebelum bertanya, "Emangnya dari dulu dia bener-bener tulus sama lo?"Ocha pun terkekeh, lalu mendapat balasan tatapan mata tajam dari Kanaya. "Aku serius, Cha. Kalau Kak Arumi amnesia, seharusnya dia nggak inget masa lalu kita, 'kan? Tapi kenapa sikap dia gitu?""Emang, dia ngapain aja ke lo, Nay?"Kanaya mengigit bibir bawahnya, sembari mengerutkan kening. "Tadi malem waktu aku anter susu buat dia, dia malah bentak aku. Waktu kami sarapan, dia nggak bales sapaanku. Saat sarapan, dia juga cuma mau ngobrol sama Papa, terus waktu aku pamit mau pergi sama kamu, dia nggak nyahut sama sekal
"Arumi, ibu kandung Kanaya sudah meninggal." Pak Rama menjawab dengan nada bicara rendah. Arumi pun mengernyit. Dia pikir, ibu kandungnya tak berada di rumah tersebut karena posisinya direbut oleh ibu kandung Kanaya. Namun, ternyata tebakannya salah."Arumi lebih baik kamu istirahat dulu. Biar bibi yang antar kamu. Bi tolong antarkan Arumi ke kamar!" perintah Pak Rama.Seorang pembantu rumah tangga lalu mendekat ke arah mereka. Kemudian mengantarkan Arumi ke kamarnya."Non Arumi kalo ada apa-apa, Non bisa panggil bibi ya!" ujar pembantu rumah tangga tersebut setelah mereka berada di dalam kamar Arumi. Wanita itu pun mengangguk perlahan, lalu mengamati sekeliling kamarnya. Arumi menarik napas dalam, merasakan aroma lembut dari ruangan yang terasa begitu asing, tapi entah mengapa juga familiar.Pandangan Arumi menyapu sekeliling. Dinding-dinding berwarna pastel, rak buku kecil di sudut ruangan, dan tirai putih yang bergoyang perlahan diterpa angin dari jendela yang sedikit terbuka. Se
"Ka-kamu?" "Kak Arumi, ini Naya. Adik Kak Arumi. Adik tiri Kak Arumi."Arumi seketika berdiri membatu mendengarnya, tatapannya kosong, pikirannya kalut. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun yang dia kenakan seolah itu satu-satunya pegangan agar dia tidak jatuh ke dalam jurang kekecewaan. Napasnya pendek dan tersendat, berusaha menenangkan badai yang berkecamuk di dadanya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin dunia sekejam ini padanya? Baru saja dia mengingat Alan sebagai suaminya, meskipun kini ternyata telah berstatus sebagai mantan, tapi lagi-lagi dia harus ditampar kenyataan pahit jika calon istri mantan suaminya adalah adiknya sendiri, Kanaya.Alan, satu-satunya sosok yang membuat hatinya bergetar, dan membuat Arumi sepintas mengingat masa lalu, ternyata akan menikah dengan wanita lain.Mengetahui hal tersebut saja sudah cukup menyakitkan. Namun yang menghancurkan hatinya saat ini adalah kenyataan bahwa perempuan itu adalah adiknya sendiri.Detik itu juga, Arumi ingin mara
Rain menatap sendu ke luar jendela pesawat, memperhatikan awan-awan yang berarak seperti gumpalan kapas tak berujung. Cahaya senja membias di antaranya, menciptakan gradasi jingga yang seharusnya terasa hangat, tetapi baginya hanya menghadirkan kehampaan.Di balik kaca tebal itu, dunia tampak begitu tenang. Tidak seperti hatinya yang berkecamuk. Napasnya pelan, nyaris seperti bisikan, seiring pikirannya melayang ke daratan yang perlahan menjauh di bawah sana. Ke rumah yang kini terasa asing. Ke wanita yang selalu dia panggil dengan penuh kasih, tapi kini seolah tak lagi mengenalnya.Arumi mengalami amnesia sejak kecelakaan itu. Dia tahu prosesnya sampai pada detik ini tidak akan mudah, tapi Rain tak pernah membayangkan, bahwa yang kembali dalam ingatan perempuan itu bukanlah dirinya, melainkan lelaki lain, Alan, mantan suaminya."Aku ingat dia Alan. Kami dulu pernah menikah dan memiliki dua orang anak."Perkataan itu terus terngiang dalam benak Rain, dan yang membuat hatinya kian mema
Di sisi lain, Rain melangkah memasuki lobi hotel dengan tergesa-gesa. Napasnya masih memburu setelah bergegas ke tempat ini begitu mendapat kabar dari Alan. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya—Arumi.Alan meneleponnya sejam yang lalu, suaranya berat dan tegang. "Aku sudah berhasil membawa Arumi keluar dari rumah sakit. Dia aman sekarang. Aku membawanya ke hotel ini." Itu saja yang Alan katakan sebelum menutup telepon.Setelah menyelesaikan urusannya dengan Kakek Wang dan Stela, Rain bergegas menuju ke hotel, tempat Arumi dan Alan saat ini berada.Tanpa banyak bicara, Rain melangkah menuju lift, hatinya berdebar kencang saat mengetuk pintu kamar hotel tersebut.Tak berapa lama, pintu kamar terbuka, Rain mendapati Alan berdiri di depannya."Di mana Arumi?""Di dalam, kamu masuk saja temani dia bicara, atau menonton televisi. Dia terlihat bimbang, dan mengatakan kesulitan untuk tidur."Rain pun mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar tersebut
Kanaya menatap langit-langit kamar dengan mata yang tetap terbuka meski malam sudah begitu larut. Lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Namun, bukan gelap yang membuatnya sulit memejamkan mata, melainkan bayangan di dalam pikirannya sendiri.Pikirannya terus melayang pada satu sosok Alan, dan yang lebih menyakitkan, pada perempuan yang saat ini sedang bersamanya, Arumi.Sejujurnya Kanaya menyadari jika tidak sepantasnya dia memiliki perasaan tak nyaman seperti ini. Arumi adalah kakaknya, dan Alan datang ke Shanghai dengan tujuan menyelamatkan Arumi, tidak lebih. Namun, bagaimanapun juga Arumi adalah mantan istri Alan. Kenyataan itu, tak bisa lepas dan membuat kecemburuan tersendiri di dalam hatinya.Kanaya menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin memenuhi dada. Dia ingin percaya, ingin berpikir bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, mengapa hatinya tetap saja berdegup tak karuan?Kanaya berusaha m
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter