Suasana rumah sakit pagi ini terlihat ramai. Lorong-lorongnya dipenuhi langkah cepat petugas medis, dan orang-orang yang sedang menjenguk sanak saudara, ataupun kerabat.Akan tetapi, saat memasuki ruang perawatan, suasana lebih sunyi. Hanya terdengar bisikan lembut dokter dan perawat yang bekerja dengan penuh kehati-hatian. Pasien terbaring dengan selimut putih rapi, beberapa di antaranya terhubung ke alat bantu pernapasan atau infus yang menjuntai dari tiang besi.Perlahan Pak Rama membuka pintu ruang perawatan Kanaya yang hening. Di atas ranjang gadis muda itu terbaring, wajah sudah tak lagi pucat seperti beberapa waktu lalu Pak Rama menjenguknya.Pagi ini, Pak Rama memang memilih untuk mengunjungi Kanaya, dibandingkan untuk mencari Arumi, setelah beberapa saat lalu merasa gundah karena tiba-tiba Arumi menghilang.Entah mengapa, kata hati Pak Rama memilih pergi ke rumah sakit. Selain itu, dalam benaknya, Pak Rama juga beranggapan jika Arumi sudah dewasa, tak selayaknya hal-hal seper
Satu Minggu Kemudian ....Sinar matahari pagi menyentuh kulit Kanaya dengan lembut saat sedang berjemur di depan halaman rumah orang tua Alan pagi ini.Sudah satu minggu lamanya dia keluar dari rumah sakit. Meskipun masih ada jejak kelelahan di wajahnya, tetapi matanya memancarkan tekad untuk kehidupan yang baru.Pagi ini, Kanaya mengenakan midi dress sederhana berwarna pastel. Ada perban yang masih terpasang di beberapa bagian tubuhnya. Kanaya duduk tenang sembari menikmati secangkir teh, seiring dengan terpaan hangat cahaya matahari.Udara segar menyeruak, saat Kanaya mengambil napas dalam-dalam. Meskipun, terkadang masih terasa asing setelah berhari-hari terkungkung dalam aroma antiseptik dan dinginnya ruangan rumah sakit.Tak dapat dipungkiri, masih ada trauma tersendiri yang membuat Kanaya masih enggan untuk bepergian. Setiap langkah terasa seperti pengingat akan kecelakaan yang nyaris merenggut hidupnya.Saat masih mengingat sekelebat kejadian itu, tiba-tiba sebuah tepukan hanga
Matahari mulai terbenam di ujung cakrawala, memancarkan cahaya emas ke seluruh pantai. Ombak lembut berkejaran ke daratan, menciptakan simfoni alami yang menenangkan hati. Di atas pasir yang halus, seorang laki-laki dan wanita duduk berdampingan di atas tikar. Mereka memandangi cakrawala, menikmati keheningan yang sarat dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Wajah Arumi, masih tampak sendu, tetapi mulai menemukan secercah ketenangan. Hari ini, Rain memang sengaja membawanya ke pantai ini untuk menyembuhkan luka yang dia rasakan.Arumi menarik napas dalam. "Aku merasa seperti separuh diriku hilang. Sulit untuk menemukan cara memulai lagi."Rain menatap lembut ke arahnya. "Kamu nggak perlu menemukan semua jawabannya hari ini. Kadang, cukup dengan mengambil satu langkah kecil ke depan.""Aku takut. Gimana kalau aku membuat keputusan yang salah lagi?" sahut Arumi, sembari tersenyum kecut."Kesalahan itu bagian dari perjalanan. Tapi kamu juga punya kekuatan besar yang se
Beberapa saat kemudian, Arumi melangkah keluar dari kamar mandi hotel dengan langkah pelan dan percaya diri. Uap hangat masih menguar dari celah pintu yang terbuka sedikit, menambah kesan dramatis pada kehadirannya.Tubuhnya dibalut bathrobe putih lembut, sangat pas di tubuhnya, membentuk lekuk yang sempurna tanpa terlalu banyak mengekspos. Rambutnya masih setengah basah, beberapa helai jatuh dengan alami di sekitar wajahnya, memberikan kesan segar dan menggoda.Cahaya lampu hotel yang lembut menyinari kulitnya yang tampak bercahaya, sementara aroma sabun dan lotion melayang tipis di udara, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut ruangan.Matanya, tajam dan berkilau, memancarkan kepercayaan diri yang tak terbantahkan. Setiap gerakannya—dari menyibakkan rambut ke belakang hingga membenarkan simpul bathrobe—terlihat alami, tapi penuh daya tarik.Sementara itu, Rain yang tengah duduk santai di ujung ranjang sambil memainkan ponsel, mendongak tanpa sadar. Waktu seakan berhenti saa
Di ruang kerjanya yang sunyi, Alan duduk dengan gelas kopi yang telah dingin di atas meja. Matanya menatap kosong ke luar jendela, hujan turun deras membasahi kota. Jam di dinding berdetak lambat, seakan mempermainkan kesabarannya.Alan menyalakan sebatang rokok, asapnya membubung perlahan. Setiap tarikan napas membawanya kembali ke masa lalu yang pahit—saat dia masih bersama mantan istrinya, Arumi. Wanita yang pernah dia cintai sepenuh hati, tetapi juga wanita yang telah menghancurkan hidupnya dengan tipu daya dan pengkhianatan.Kini dia menunggu laporan dari anak buahnya, Bimo, yang tengah menyelidiki sesuatu hal yang pernah diperbuat Arumi di masa lalu.Alan bukannya ingin mengungkit masa lalu mereka. Namun, setelah mereka berpisah, Alan baru mengetahui bagaimana liciknya Arumi, yang telah membohongi, dan memecundangi dirinya selama bertahun-tahun.Tiba-tiba, suara ponsel berdering. Alan mengangkatnya tanpa ragu. Suara Bimo terdengar tegas di ujung sana."Bos, saya sudah mengetahui
Pagi menjelang dengan sinar matahari yang hangat merayap melalui celah-celah tirai jendela. Rain baru saja menghentikan laju mobilnya, lalu melirik pada Arumi. "Ayo turun!"Arumi masih terdiam, ragu, sekaligus takut. Tak dapat dipungkiri, mimpi buruk yang dialami Arumi membuat wanita itu seketika merasakan firasat buruk, hingga detik ini dia selalu diselimuti kecemasan yang memeluk hatinya."Arumi, kenapa kamu masih tegang gitu? Aku lihat kamu sejak tadi nggak tenang. Apa tentang mimpi buruk itu?"Arumi mendesah pelan, lalu mengangguk."Iya, aku masih takut banget. Aku juga takut Papa marah kalo tahu kita nginep bareng."Rain pun menggenggam jemari Arumi. "Tadi malem, kita nggak punya pilihan, hujannya deras, juga banjir. Kita nggak mungkin pulang. Kamu tenang aja, selama ada aku, nggak ada yang perlu dicemaskan, lagipula, setelah semua selesai, Papa kamu juga suruh kita nikah, 'kan?"Arumi pun mengangguk perlahan. "Sayang, rileks ya. Kamu nggak usah terlalu keras sama diri kamu sendi
Arumi menggenggam ujung bajunya dengan tangan gemetar. Matanya berair, pandangannya kabur oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti. Bentakan, serta tamparan keras padanya masih bergema di dalam kepala, berulang-ulang seperti gema yang menyayat hati. Pipinya pun terasa perih, seperti hatinya."Kenapa kamu selalu saja mengecewakan Papa, Arumi? Kau sudah sedewasa ini, tapi mengapa Papa belum pernah menemukan sisi positif dalam hidupmu!""Kamu nggak pernah buat Papa bangga, karena kau cuma bisa membuat kami malu, dan kecewa dengan sikapmu itu!""Mulai hari ini, aku udah nggak sudi mengangapmu sebagai anakku!" bentak Pak Rama dengan suara menggelegar.Kata demi kata yang terlontar, begitu menusuk jiwa Arumi, seperti pisau tajam. Dia tahu, ayahnya marah bukan tanpa alasan, tapi rasanya tetap menyakitkan. Dia tahu, dia yang bersalah, tapi apa dia tak bisa diberi kesempatan? Bukankah sekarang dia sedang memperbaiki hidup, dan membuka lembaran baru?Dada Arumi terasa sesak, campur aduk a
Suasana di dalam mobil terasa hening. Rain duduk di kursi pengemudi, sambil sesekali melirik ke samping, ke arah kekasihnya, Arumi. Dia duduk diam, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Matanya sedikit merah, bekas air mata yang baru saja dia hapus.Setelah beberapa saat lalu diusir oleh Pak Rama, Rain memang memutuskan untuk membawa Arumi pergi bersamanya. Rain tidak mungkin membiarkan wanita yang dia cintai itu bterpuruk sendiri.Saat ini, Rain tengah menggenggam kemudi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya terulur, memegang lembut tangan Arumi yang terasa dingin."Sayang, apapun yang terjadi, kamu masih punya aku. Aku akan selalu ada buat kamu. Percayalah, aku akan buat kamu bahagia, dan menghapus semua luka itu."Arumi hanya menghela napas panjang, bahunya merosot seperti menanggung beban berat."Tapi, untuk kali ini rasanya begitu sulit. Semua orang benar-benar marah dan membenciku. Aku baru sadar, ternyata dulu aku begitu jahat, dan keterlaluan. Aku memang sangat
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan