Di senja yang mulai meredup, Alan, dan Kanaya, tiba di depan pintu unit apartemen milik Alan. Tangan mereka masih saling bertautan, seolah enggan berpisah walau hanya untuk membuka pintu. Alan dengan senyum lembutnya, membuka password, dan mendorong pintu perlahan.Begitu pintu terbuka, aroma ruangan yang bersih dan hangat menyambut mereka. Kanaya tertawa kecil saat Alan menariknya masuk sambil mengacak rambut gadis itu dengan lembut.Mereka menanggalkan sepatu di depan pintu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata mereka bertemu sejenak, dan tanpa kata, mereka berpelukan erat.“Rasanya udah lama banget kita nggak punya waktu kaya ini,” ucap Alan, sambil menatap wajah cantik Kanaya."Bilang aja udah lama nggak bermesraan di apartemen ini, 'kan?"Kanaya menjulurkan lidahnya, Alan pun terkekeh nyaring."Kamu tahu aja maksudku.""Apa yang nggak aku tahu?" sahut Kanaya manja."Aku kangen, Sayang."Alan berbisik, tepat mengudara di samping telinga Kanaya, dan membuat bulu kuduk gadis itu
Beberapa saat kemudian, Alan dan Kanaya sudah sampai di rumah Bu Sinta. Hujan gerimis yang menyertai perjalanan mereka membuat suasana terasa syahdu, dan hawa dingin yang menyelimuti. Dengan senyum hangat, Alan membukakan pintu mobil untuk Kanaya.Mereka melangkah ke beranda rumah dengan tawa kecil mengiringi percakapan ringan mereka. Saat keduanya sudah berada di ambang pintu rumah yang setengah terbuka, terdengar suara berat yang begitu dikenal keduanya dari dari dalam.Mereka melangkah pelan ke dalam rumah. Di ruang tamu, seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi duduk di sofa, tangannya memegang cangkir teh. Sontak dia menoleh begitu mendengar langkah kaki Alan, dan Kanaya.“Naya, kamu sudah datang?" sapa pria itu dengan suara tenang, tetapi sarat wibawa.“Iya Pa,” sahut Kanaya, sambil tersenyum ragu. Sedangkan Alan, tampak berdiri kaku di samping Kanaya, saat Pak Rama memandangnya dari ujung kaki hingga kepala, seolah-olah menimbang segala hal dalam pikirannya.Ada rasa cema
Beberapa Hari Kemudian ....Alan, dan Kanaya tampak memasuki sebuah restoran mewah yang terletak di atap gedung pencakar langit. Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang berkilauan.Alan mengenakan setelan jas hitam rapi, dengan dasi satin yang membingkai kemeja putih bersih. Sementara Kanaya di sisinya tampil memesona dalam gaun panjang berwarna merah marun, dihiasi perhiasan minimalis yang memperkuat aura elegansinya.Keduanya duduk di meja, sembari menikmati pemandangan kota yang berkilauan. Mereka berbincang dalam bisikan lembut, sesekali tertawa kecil, menikmati momen keintiman mereka.Alunan musik piano mengisi ruangan, menambah nuansa romantis. Tatapan penuh cinta mereka bertemu, dan dunia di sekeliling seolah menghilang. Dalam atmosfer kemewahan dan cinta, mereka menciptakan kenangan indah yang abadi.Keduanya kini saling bertatapan dengan begitu mesra. "I'm glad to see you happy, Naya.""This is so awesome," balas Kanaya, sembari memperlihatkan sekeliling restoran, dan t
Setelah satu jam lamanya Arumi, berada di rumah sakit jiwa untuk bertemu dengan Bu Dahlia, dia akhirnya keluar dari rumah sakit tersebut. Di saat itu pula, netranya tertuju pada seorang wanita yang kini tengah duduk di depan salah satu ruangan.'Bukankah itu Vania?' kata Arumi, dalam hati.Perlahan Arumi pun mendekati wanita tersebut. "Vania?" panggil Arumi pada wanita itu, yang merupakan salah seorang teman lamanya ketika duduk di bangku SMA.Wanita bernama Vania itu kemudian memalingkan wajah, saat mendengar ada yang memanggil namanya. Arumi tertegun sejenak saat menatap Vania yang biasanya tampak glamor, dan selalu bersikap sombong, kini tampak berbeda. Penampilan Vania terlihat sederhana, disertai ekpresi wajah sayu. Sungguh sangat kontras dengan Vania yang biasanya Arumi kenal."Arumi ...?" jawab wanita itu, sembari mengernyitkan kening."Vania, kamu lagi ngapain di sini? "Papa aku masuk rumah sakit jiwa, karena kasus korupsi yang menjeratnya. Papa tertekan, lalu ...."Vania s
Angin berhembus lembut, membawa aroma hangus dan asap yang masih menggantung di udara. Rain berlari dengan napas terengah-engah, setelah turun dari mobil. Jantungnya berdegup keras seperti genderang perang di dadanya. Dari kejauhan kejauhan, ia melihat cahaya merah dan biru berkedip-kedip, berbaur dengan nyala api yang menyala-nyala.Langkah kakinya terhenti di tepian jalan yang penuh puing-puing. Di hadapannya, mobil yang pernah dia kenali dengan baik—mobil yang membawa kekasihnya ke mana pun mereka pergi bersama—kini tak lebih dari kerangka hangus, terpanggang tanpa ampun. Bau logam terbakar dan karet yang meleleh menusuk indra penciumannya.Matanya menyapu sekitar dengan liar, berharap menemukan wajah yang dirindukannya dalam kondisi selamat, walau hanya secercah harapan yang tersisa. Polisi dan petugas medis tampak sibuk, tapi tak ada satu pun yang memberinya jawaban saat ia bertanya dengan suara yang hampir pecah."Di mana dia?" suaranya nyaris seperti erangan, tercekik oleh kep
Suasana pemakaman pagi ini, dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Langit mendung, seakan ikut merasakan duka yang melanda. Jenazah Arumi yang telah dipersiapkan di rumah, dibalut kain kafan putih yang rapi dan dihiasi dengan wewangian. Kini, jenazah terbaring dalam peti kayu, siap untuk diantar ke tempat peristirahatan terakhir.Sesampainya di pemakaman, mobil jenazah berhenti pelan di dekat pintu masuk pemakaman. Liang kubur yang telah digali dalam. Tanah di sekitar kubur terlihat masih basah, menambah kesan hening dan sakral.Angin berhembus perlahan, menyapu wajah para pelayat yang berdiri di sekitar liang kubur, seakan membawa pesan-pesan terakhir dari orang yang telah pergi. Rintihan isak tangis terdengar di antara kebisuan, sementara suara langkah kaki para pelayat terdengar berat, seperti membawa beban yang tak terkatakan.Cuaca yang redup, menciptakan bayangan samar-samar di antara pepohonan yang mengelilingi pemakaman. Semua orang tampak terdiam, meresapi kepergian yang
Satu Bulan Kemudian ....Matahari pagi menyinari bangunan kampus yang berdiri angkuh di tengah kota. Hembusan angin yang membawa aroma rerumputan basah menyelimuti suasana. Seorang wanita berdiri di depan gerbang kampus, memandangi dengan tatapan penuh rasa rindu yang tak bertepi.Setelah beberapa bulan terakhir ini, Kanaya absen karena kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, dan juga kasus skandal yang mendera, dia akhirnya kembali ke tempat yang pernah menjadi tempatnya menimba ilmu.Tangannya menggenggam pagar besi hitam untuk menaiki tangga di depan lobby kampus. Pandangannya menyapu tiap sudut bangunan yang sarat dengan kenangan.Untuk saat ini, Kanaya tak ingin langsung menuju ke ruangan tujuannya dia datang ke kampus ini. Namun, dia ingin bernostalgia sejenak.Langkah pertama yang diambilnya terasa berat, seolah setiap jengkal tanah membawa beban emosional yang sulit terucap. Dia berjalan perlahan melewati taman kecil tempatnya dulu menghabiskan waktu belajar dan bercanda de
Tanpa Arga tahu, saat ini ada seorang mahasiswi yang menatapnya kesal."Ck, sia-sia tadi gue kompor-komporin yang lain buat bully Kanaya kalo ternyata hasilnya kaya gini. Arga malah bela Kanaya habis-habisan!""Dasarnya Arganya aja yang masih aja ngejar Kanaya. Mau dia berbuat seburuk apapun, Arga kayaknya nggak peduli. Cinta itu buta, Vanel."Vanel kembali menggerutu kesal. Selama ini, dia memang selalu berusaha menjatuhkan Kanaya. Bahkan, pernah menguncinya di kamar mandi. Namun, usaha itu selalu saja gagal."Tapi ini di luar nalar, Lia. Arga masih aja bela gadis udik itu, setelah semua perbuatan bejat yang Kanaya lakukan.""Vanel, gue tahu lo kecewa. Tapi Arga juga berhak memilih siapa yang dia suka. Masalah hati itu rumit, dan nggak bisa dipaksakan.""Jangan bilang aku nggak berhak marah. Kami udah dijodohkan sejak kecil, Lia. Selain itu, aku juga udah berusaha menjatuhkan Kanaya dengan menambahkan berita buruk tentang skandalnya yang tersebar. Aku juga udah coba bikin Arga tahu s
Di sisi lain, Rain melangkah memasuki lobi hotel dengan tergesa-gesa. Napasnya masih memburu setelah bergegas ke tempat ini begitu mendapat kabar dari Alan. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya—Arumi.Alan meneleponnya sejam yang lalu, suaranya berat dan tegang. "Aku sudah berhasil membawa Arumi keluar dari rumah sakit. Dia aman sekarang. Aku membawanya ke hotel ini." Itu saja yang Alan katakan sebelum menutup telepon.Setelah menyelesaikan urusannya dengan Kakek Wang dan Stela, Rain bergegas menuju ke hotel, tempat Arumi dan Alan saat ini berada.Tanpa banyak bicara, Rain melangkah menuju lift, hatinya berdebar kencang saat mengetuk pintu kamar hotel tersebut.Tak berapa lama, pintu kamar terbuka, Rain mendapati Alan berdiri di depannya."Di mana Arumi?""Di dalam, kamu masuk saja temani dia bicara, atau menonton televisi. Dia terlihat bimbang, dan mengatakan kesulitan untuk tidur."Rain pun mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar tersebut
Kanaya menatap langit-langit kamar dengan mata yang tetap terbuka meski malam sudah begitu larut. Lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Namun, bukan gelap yang membuatnya sulit memejamkan mata, melainkan bayangan di dalam pikirannya sendiri.Pikirannya terus melayang pada satu sosok Alan, dan yang lebih menyakitkan, pada perempuan yang saat ini sedang bersamanya, Arumi.Sejujurnya Kanaya menyadari jika tidak sepantasnya dia memiliki perasaan tak nyaman seperti ini. Arumi adalah kakaknya, dan Alan datang ke Shanghai dengan tujuan menyelamatkan Arumi, tidak lebih. Namun, bagaimanapun juga Arumi adalah mantan istri Alan. Kenyataan itu, tak bisa lepas dan membuat kecemburuan tersendiri di dalam hatinya.Kanaya menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin memenuhi dada. Dia ingin percaya, ingin berpikir bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, mengapa hatinya tetap saja berdegup tak karuan?Kanaya berusaha m
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter
"Kamu baru sembuh, aku nggak mungkin tega mengatakan bagian paling menyakitkan dalam rumah tangga kita.""Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Sepintas, aku masih ingat senyuman hangatmu padaku, tapi sekarang kenapa jadi seperti ini? Siapa yang salah, aku atau kamu?"Alan menghela napas, menatap keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap Arumi."Nggak penting siapa yang salah, kita berdua memang sudah tidak satu tujuan. Terlalu banyak ketidakcocokan, dan pola pikir."Arumi mengernyit, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Tapi kenapa tatapanmu begitu dingin padaku? Apa aku yang salah?"Alan menggeleng pelan. "Ini bukan tentang siapa yang salah. Kita memang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, begitu pula kamu. Aku sering kali merasa diabaikan sebagai seorang suami, dan kau berpikir aku ngga pernah mengerti keadaanmu. Kita sering bertengkar, hal-hal kecil jadi besar. Kita lelah, tapi tidak ada yang mau mengalah."Arumi menatap
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera