Suasana pemakaman pagi ini, dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Langit mendung, seakan ikut merasakan duka yang melanda. Jenazah Arumi yang telah dipersiapkan di rumah, dibalut kain kafan putih yang rapi dan dihiasi dengan wewangian. Kini, jenazah terbaring dalam peti kayu, siap untuk diantar ke tempat peristirahatan terakhir.Sesampainya di pemakaman, mobil jenazah berhenti pelan di dekat pintu masuk pemakaman. Liang kubur yang telah digali dalam. Tanah di sekitar kubur terlihat masih basah, menambah kesan hening dan sakral.Angin berhembus perlahan, menyapu wajah para pelayat yang berdiri di sekitar liang kubur, seakan membawa pesan-pesan terakhir dari orang yang telah pergi. Rintihan isak tangis terdengar di antara kebisuan, sementara suara langkah kaki para pelayat terdengar berat, seperti membawa beban yang tak terkatakan.Cuaca yang redup, menciptakan bayangan samar-samar di antara pepohonan yang mengelilingi pemakaman. Semua orang tampak terdiam, meresapi kepergian yang
Satu Bulan Kemudian ....Matahari pagi menyinari bangunan kampus yang berdiri angkuh di tengah kota. Hembusan angin yang membawa aroma rerumputan basah menyelimuti suasana. Seorang wanita berdiri di depan gerbang kampus, memandangi dengan tatapan penuh rasa rindu yang tak bertepi.Setelah beberapa bulan terakhir ini, Kanaya absen karena kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, dan juga kasus skandal yang mendera, dia akhirnya kembali ke tempat yang pernah menjadi tempatnya menimba ilmu.Tangannya menggenggam pagar besi hitam untuk menaiki tangga di depan lobby kampus. Pandangannya menyapu tiap sudut bangunan yang sarat dengan kenangan.Untuk saat ini, Kanaya tak ingin langsung menuju ke ruangan tujuannya dia datang ke kampus ini. Namun, dia ingin bernostalgia sejenak.Langkah pertama yang diambilnya terasa berat, seolah setiap jengkal tanah membawa beban emosional yang sulit terucap. Dia berjalan perlahan melewati taman kecil tempatnya dulu menghabiskan waktu belajar dan bercanda de
Tanpa Arga tahu, saat ini ada seorang mahasiswi yang menatapnya kesal."Ck, sia-sia tadi gue kompor-komporin yang lain buat bully Kanaya kalo ternyata hasilnya kaya gini. Arga malah bela Kanaya habis-habisan!""Dasarnya Arganya aja yang masih aja ngejar Kanaya. Mau dia berbuat seburuk apapun, Arga kayaknya nggak peduli. Cinta itu buta, Vanel."Vanel kembali menggerutu kesal. Selama ini, dia memang selalu berusaha menjatuhkan Kanaya. Bahkan, pernah menguncinya di kamar mandi. Namun, usaha itu selalu saja gagal."Tapi ini di luar nalar, Lia. Arga masih aja bela gadis udik itu, setelah semua perbuatan bejat yang Kanaya lakukan.""Vanel, gue tahu lo kecewa. Tapi Arga juga berhak memilih siapa yang dia suka. Masalah hati itu rumit, dan nggak bisa dipaksakan.""Jangan bilang aku nggak berhak marah. Kami udah dijodohkan sejak kecil, Lia. Selain itu, aku juga udah berusaha menjatuhkan Kanaya dengan menambahkan berita buruk tentang skandalnya yang tersebar. Aku juga udah coba bikin Arga tahu s
Hujan rintik membasahi tanah merah yang masih basah oleh air mata. Di depan nisan sederhana bertuliskan namanya, Rain berdiri kaku, seolah jiwanya terjebak di antara dua dunia. Setiap tetesan hujan yang jatuh terasa seperti beban tak kasatmata yang menekan dada, mengingatkan dirinya pada kenyataan yang tak bisa dipungkiri pungkiri, jika kekasihnya telah pergi.Rain masih bisa mengingatnya dengan jelas—senyum hangatnya, tawa kecil yang selalu menenangkan hatinya, dan mata yang memandang dengan sorot mata cantik yang tak bisa dideskripsikan.Semua kenangan itu sekarang hanya bayangan, serpihan yang menari di sudut pikiranku. Hari itu, dia terlambat satu jam saat panggilan terakhir darinya masuk ke ponsel.Pada akhirnya, satu jam itu harus ditukar dengan penyesalan tak berujung. Ketika Rain baru saja menyelesaikan pekerjaannya, kabar itu datang seperti petir di siang bolong.Kini, Rain bagaikan manusia yang tak memiliki harapan. Patah hati yang dia rasakan bukan sekadar luka, melainkan k
Langit biru terhampar luas di balik jendela kecil pesawat. Awan-awan putih menggumpal seperti kapas raksasa, mengambang bebas seolah tanpa tujuan. Di kursinya, seorang laki-laki duduk diam, matanya tertuju pada horizon jauh. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan beban yang sulit diterjemahkan dalam kata-kata.Setiap gumpalan awan mengingatkannya pada senyuman lembut yang dulu selalu dia lihat setiap pagi. Dia dapat membayangkan kekasihnya di sana, berdiri di atas awan, tertawa dengan cahaya matahari menyinari wajahnya. Kenangan itu muncul tiba-tiba, seperti potongan film yang tak berkesudahan.Tangannya perlahan mengusap cincin sederhana yang masih melingkar di jarinya—kenangan terakhir yang nyata darinya. Dia teringat obrolan mereka suatu sore, duduk di pantai dengan langit yang berwarna keemasan.Mata laki-laki itu mulai berembun, tapi dia tidak menyeka air matanya. Dia membiarkan rasa itu mengalir bersama angin yang berhembus tipis dalam kabin. Rasa kehilangan yang begitu dalam,
Pada pagi yang berkabut, tim medis forensik tiba di lokasi pemakaman untuk melaksanakan proses ekshumasi dan autopsi atas permintaan pihak berwenang. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk mengungkap fakta-fakta yang mungkin dapat memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai jenazah yang akan diautopsi.Langkah pertama, area sekitar makam dipasangi pembatas guna menjaga keamanan dan privasi. Setelah izin resmi ditunjukkan, tim mulai menggali liang lahat dengan hati-hati, menggunakan peralatan yang telah disterilkan. Suasana penuh kehormatan menyelimuti proses ini, dengan keluarga, dan perwakilan pihak terkait yang hadir di sekitar lokasi.Kanaya, menemani Pak Rama di pemakaman tersebut, untuk mengambil sample bagian tubuh jenazah yang diduga milik Arumi untuk dilakukan tes DNA.Saat kejadian kecelakaan tersebut, mereka memang tidak melakukan autopsi. Karena mereka pikir, yang di dalam mobil itu, hanyalah supir pribadi Rain, dan Arumi saja.Mereka tak tahu jika di dalam mobil tersebut
Alan berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap ke luar dengan sorot mata yang tajam. Malam sudah larut, dan hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala menerangi kota. Lalu, tiba-tiba suara ketukan di pintu memecah keheningan. Alan menoleh dan memberikan isyarat agar orang yang mengetuk masuk."Masuk."Pintu ruangan itu pun terbuka. "Apa sudah ada kabar?" tanya Alan, dengan begitu tergesa-gesa, pada anak buahnya yang bernama Johan."Belum banyak, Bos. Kami sempat melihat CCTV di jalanan yang dilalui oleh mobil yang dinaiki oleh Nyonya Arumi, dan dari CCTV tersebut, ada sesuatu yang terlihat aneh.""Apa yang kalian temukan?" sahut Alan, yang memang sudah menduga ada yang tidak beres dengan semua ini."Dari beberapa CCTV yang kami lihat, sepertinya ada dua buah mobil yang menguntit mobil tersebut." Kening Alan mengernyit. "Ada dua buah mobil? Jadi, kemungkinan mobil yang dinaiki Arumi, diikuti oleh dua mobil itu, lalu dipepet hingga oleng, dan meledak." Johan pun mengangguk.
"Maaf kakek, saat ini saya masih dalam keadaan berduka, dan belum ingin membahas pernikahan."Rain masih mengingat jelas, setiap kata yang tadi dia jawab pada Kakek Wang, memintanya untuk menikah dengan Stela.Tentu saja, Rain ingin menolak dengan tegas, dan mengatakan tak ingin menikah dengan cucunya itu. Namun, dia tak ingin penolakan darinya membuat Kakek Wang merasa tersinggung. Bagaimanapun juga, dia adalah sosok yang tanpa pamrih telah menariknya keluar dari jurang keputusasaan, yang membuatnya berdiri lagi saat semuanya terasa mustahil.Untungnya, Kakek Wang bisa mengerti dengan jawaban Rain, dan tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Dia paham, bagaimana sakitnya kehilangan sosok yang dicintai.Sebenarnya laki-laki paruh baya itu pun tak memaksa. Apalagi, dia juga tahu bagaimana masa lalu Rain dengan Arumi. Namun, di balik semua itu, ada tekanan lain, yaitu dari ibu kandungnya sendiri yang sangat menyukai sosok Stela, yang cukup akrab dengannya.Bu Hani, tampak begitu an
Di sisi lain, Rain melangkah memasuki lobi hotel dengan tergesa-gesa. Napasnya masih memburu setelah bergegas ke tempat ini begitu mendapat kabar dari Alan. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya—Arumi.Alan meneleponnya sejam yang lalu, suaranya berat dan tegang. "Aku sudah berhasil membawa Arumi keluar dari rumah sakit. Dia aman sekarang. Aku membawanya ke hotel ini." Itu saja yang Alan katakan sebelum menutup telepon.Setelah menyelesaikan urusannya dengan Kakek Wang dan Stela, Rain bergegas menuju ke hotel, tempat Arumi dan Alan saat ini berada.Tanpa banyak bicara, Rain melangkah menuju lift, hatinya berdebar kencang saat mengetuk pintu kamar hotel tersebut.Tak berapa lama, pintu kamar terbuka, Rain mendapati Alan berdiri di depannya."Di mana Arumi?""Di dalam, kamu masuk saja temani dia bicara, atau menonton televisi. Dia terlihat bimbang, dan mengatakan kesulitan untuk tidur."Rain pun mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar tersebut
Kanaya menatap langit-langit kamar dengan mata yang tetap terbuka meski malam sudah begitu larut. Lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Namun, bukan gelap yang membuatnya sulit memejamkan mata, melainkan bayangan di dalam pikirannya sendiri.Pikirannya terus melayang pada satu sosok Alan, dan yang lebih menyakitkan, pada perempuan yang saat ini sedang bersamanya, Arumi.Sejujurnya Kanaya menyadari jika tidak sepantasnya dia memiliki perasaan tak nyaman seperti ini. Arumi adalah kakaknya, dan Alan datang ke Shanghai dengan tujuan menyelamatkan Arumi, tidak lebih. Namun, bagaimanapun juga Arumi adalah mantan istri Alan. Kenyataan itu, tak bisa lepas dan membuat kecemburuan tersendiri di dalam hatinya.Kanaya menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin memenuhi dada. Dia ingin percaya, ingin berpikir bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, mengapa hatinya tetap saja berdegup tak karuan?Kanaya berusaha m
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter
"Kamu baru sembuh, aku nggak mungkin tega mengatakan bagian paling menyakitkan dalam rumah tangga kita.""Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Sepintas, aku masih ingat senyuman hangatmu padaku, tapi sekarang kenapa jadi seperti ini? Siapa yang salah, aku atau kamu?"Alan menghela napas, menatap keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap Arumi."Nggak penting siapa yang salah, kita berdua memang sudah tidak satu tujuan. Terlalu banyak ketidakcocokan, dan pola pikir."Arumi mengernyit, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Tapi kenapa tatapanmu begitu dingin padaku? Apa aku yang salah?"Alan menggeleng pelan. "Ini bukan tentang siapa yang salah. Kita memang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, begitu pula kamu. Aku sering kali merasa diabaikan sebagai seorang suami, dan kau berpikir aku ngga pernah mengerti keadaanmu. Kita sering bertengkar, hal-hal kecil jadi besar. Kita lelah, tapi tidak ada yang mau mengalah."Arumi menatap
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera