Suasana di dalam mobil terasa hening. Rain duduk di kursi pengemudi, sambil sesekali melirik ke samping, ke arah kekasihnya, Arumi. Dia duduk diam, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Matanya sedikit merah, bekas air mata yang baru saja dia hapus.Setelah beberapa saat lalu diusir oleh Pak Rama, Rain memang memutuskan untuk membawa Arumi pergi bersamanya. Rain tidak mungkin membiarkan wanita yang dia cintai itu bterpuruk sendiri.Saat ini, Rain tengah menggenggam kemudi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya terulur, memegang lembut tangan Arumi yang terasa dingin."Sayang, apapun yang terjadi, kamu masih punya aku. Aku akan selalu ada buat kamu. Percayalah, aku akan buat kamu bahagia, dan menghapus semua luka itu."Arumi hanya menghela napas panjang, bahunya merosot seperti menanggung beban berat."Tapi, untuk kali ini rasanya begitu sulit. Semua orang benar-benar marah dan membenciku. Aku baru sadar, ternyata dulu aku begitu jahat, dan keterlaluan. Aku memang sangat
Di senja yang mulai meredup, Alan, dan Kanaya, tiba di depan pintu unit apartemen milik Alan. Tangan mereka masih saling bertautan, seolah enggan berpisah walau hanya untuk membuka pintu. Alan dengan senyum lembutnya, membuka password, dan mendorong pintu perlahan.Begitu pintu terbuka, aroma ruangan yang bersih dan hangat menyambut mereka. Kanaya tertawa kecil saat Alan menariknya masuk sambil mengacak rambut gadis itu dengan lembut.Mereka menanggalkan sepatu di depan pintu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata mereka bertemu sejenak, dan tanpa kata, mereka berpelukan erat.“Rasanya udah lama banget kita nggak punya waktu kaya ini,” ucap Alan, sambil menatap wajah cantik Kanaya."Bilang aja udah lama nggak bermesraan di apartemen ini, 'kan?"Kanaya menjulurkan lidahnya, Alan pun terkekeh nyaring."Kamu tahu aja maksudku.""Apa yang nggak aku tahu?" sahut Kanaya manja."Aku kangen, Sayang."Alan berbisik, tepat mengudara di samping telinga Kanaya, dan membuat bulu kuduk gadis itu
Beberapa saat kemudian, Alan dan Kanaya sudah sampai di rumah Bu Sinta. Hujan gerimis yang menyertai perjalanan mereka membuat suasana terasa syahdu, dan hawa dingin yang menyelimuti. Dengan senyum hangat, Alan membukakan pintu mobil untuk Kanaya.Mereka melangkah ke beranda rumah dengan tawa kecil mengiringi percakapan ringan mereka. Saat keduanya sudah berada di ambang pintu rumah yang setengah terbuka, terdengar suara berat yang begitu dikenal keduanya dari dari dalam.Mereka melangkah pelan ke dalam rumah. Di ruang tamu, seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi duduk di sofa, tangannya memegang cangkir teh. Sontak dia menoleh begitu mendengar langkah kaki Alan, dan Kanaya.“Naya, kamu sudah datang?" sapa pria itu dengan suara tenang, tetapi sarat wibawa.“Iya Pa,” sahut Kanaya, sambil tersenyum ragu. Sedangkan Alan, tampak berdiri kaku di samping Kanaya, saat Pak Rama memandangnya dari ujung kaki hingga kepala, seolah-olah menimbang segala hal dalam pikirannya.Ada rasa cema
Beberapa Hari Kemudian ....Alan, dan Kanaya tampak memasuki sebuah restoran mewah yang terletak di atap gedung pencakar langit. Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang berkilauan.Alan mengenakan setelan jas hitam rapi, dengan dasi satin yang membingkai kemeja putih bersih. Sementara Kanaya di sisinya tampil memesona dalam gaun panjang berwarna merah marun, dihiasi perhiasan minimalis yang memperkuat aura elegansinya.Keduanya duduk di meja, sembari menikmati pemandangan kota yang berkilauan. Mereka berbincang dalam bisikan lembut, sesekali tertawa kecil, menikmati momen keintiman mereka.Alunan musik piano mengisi ruangan, menambah nuansa romantis. Tatapan penuh cinta mereka bertemu, dan dunia di sekeliling seolah menghilang. Dalam atmosfer kemewahan dan cinta, mereka menciptakan kenangan indah yang abadi.Keduanya kini saling bertatapan dengan begitu mesra. "I'm glad to see you happy, Naya.""This is so awesome," balas Kanaya, sembari memperlihatkan sekeliling restoran, dan t
Setelah satu jam lamanya Arumi, berada di rumah sakit jiwa untuk bertemu dengan Bu Dahlia, dia akhirnya keluar dari rumah sakit tersebut. Di saat itu pula, netranya tertuju pada seorang wanita yang kini tengah duduk di depan salah satu ruangan.'Bukankah itu Vania?' kata Arumi, dalam hati.Perlahan Arumi pun mendekati wanita tersebut. "Vania?" panggil Arumi pada wanita itu, yang merupakan salah seorang teman lamanya ketika duduk di bangku SMA.Wanita bernama Vania itu kemudian memalingkan wajah, saat mendengar ada yang memanggil namanya. Arumi tertegun sejenak saat menatap Vania yang biasanya tampak glamor, dan selalu bersikap sombong, kini tampak berbeda. Penampilan Vania terlihat sederhana, disertai ekpresi wajah sayu. Sungguh sangat kontras dengan Vania yang biasanya Arumi kenal."Arumi ...?" jawab wanita itu, sembari mengernyitkan kening."Vania, kamu lagi ngapain di sini? "Papa aku masuk rumah sakit jiwa, karena kasus korupsi yang menjeratnya. Papa tertekan, lalu ...."Vania s
Angin berhembus lembut, membawa aroma hangus dan asap yang masih menggantung di udara. Rain berlari dengan napas terengah-engah, setelah turun dari mobil. Jantungnya berdegup keras seperti genderang perang di dadanya. Dari kejauhan kejauhan, ia melihat cahaya merah dan biru berkedip-kedip, berbaur dengan nyala api yang menyala-nyala.Langkah kakinya terhenti di tepian jalan yang penuh puing-puing. Di hadapannya, mobil yang pernah dia kenali dengan baik—mobil yang membawa kekasihnya ke mana pun mereka pergi bersama—kini tak lebih dari kerangka hangus, terpanggang tanpa ampun. Bau logam terbakar dan karet yang meleleh menusuk indra penciumannya.Matanya menyapu sekitar dengan liar, berharap menemukan wajah yang dirindukannya dalam kondisi selamat, walau hanya secercah harapan yang tersisa. Polisi dan petugas medis tampak sibuk, tapi tak ada satu pun yang memberinya jawaban saat ia bertanya dengan suara yang hampir pecah."Di mana dia?" suaranya nyaris seperti erangan, tercekik oleh kep
Suasana pemakaman pagi ini, dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Langit mendung, seakan ikut merasakan duka yang melanda. Jenazah Arumi yang telah dipersiapkan di rumah, dibalut kain kafan putih yang rapi dan dihiasi dengan wewangian. Kini, jenazah terbaring dalam peti kayu, siap untuk diantar ke tempat peristirahatan terakhir.Sesampainya di pemakaman, mobil jenazah berhenti pelan di dekat pintu masuk pemakaman. Liang kubur yang telah digali dalam. Tanah di sekitar kubur terlihat masih basah, menambah kesan hening dan sakral.Angin berhembus perlahan, menyapu wajah para pelayat yang berdiri di sekitar liang kubur, seakan membawa pesan-pesan terakhir dari orang yang telah pergi. Rintihan isak tangis terdengar di antara kebisuan, sementara suara langkah kaki para pelayat terdengar berat, seperti membawa beban yang tak terkatakan.Cuaca yang redup, menciptakan bayangan samar-samar di antara pepohonan yang mengelilingi pemakaman. Semua orang tampak terdiam, meresapi kepergian yang
Satu Bulan Kemudian ....Matahari pagi menyinari bangunan kampus yang berdiri angkuh di tengah kota. Hembusan angin yang membawa aroma rerumputan basah menyelimuti suasana. Seorang wanita berdiri di depan gerbang kampus, memandangi dengan tatapan penuh rasa rindu yang tak bertepi.Setelah beberapa bulan terakhir ini, Kanaya absen karena kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, dan juga kasus skandal yang mendera, dia akhirnya kembali ke tempat yang pernah menjadi tempatnya menimba ilmu.Tangannya menggenggam pagar besi hitam untuk menaiki tangga di depan lobby kampus. Pandangannya menyapu tiap sudut bangunan yang sarat dengan kenangan.Untuk saat ini, Kanaya tak ingin langsung menuju ke ruangan tujuannya dia datang ke kampus ini. Namun, dia ingin bernostalgia sejenak.Langkah pertama yang diambilnya terasa berat, seolah setiap jengkal tanah membawa beban emosional yang sulit terucap. Dia berjalan perlahan melewati taman kecil tempatnya dulu menghabiskan waktu belajar dan bercanda de
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan