Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Kanaya hanya memperhatikan Alan dengan cermat, menyadari betapa redupnya tatapan Alan. Dia pun bisa merasakan, bagaimana sakitnya Alan saat ini.Perlahan, Kanaya menggenggam jemari Alan, berharap menciptakan suasana hati yang lebih nyaman. "Mas, apapun hasilnya, Kenan tetap anak kamu. Kita akan rawat Kenan bersama." Suara lembut Kanaya, terdengar penuh perhatian.Alan menarik napas dalam-dalam, seolah sedang menyalami bagaimana sakitnya nanti jika kemungkinan buruk yang harus dia hadapi.Alan masih terdiam. Namun, Kanaya tak ingin mendesak untuk menanggapi perkataannya. Dia terus menunggu dengan sabar, sampai Alan benar-benar tenang."Hal ini benar-benar di luar dugaanku, Naya. Aku nggak nyangka semua ini akan terjadi. Rasanya semua semakin berat ...."Kanaya mengangguk, menandakan bahwa dia benar-benar mendengarkan. Kanaya tidak buru-buru memberi nasihat atau menyela, hanya membiarkan Alan mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya.Ketika akhirnya Alan menunduk, Kanaya tahu, Alan s
Wajah Arumi terlihat kaku, matanya penuh bara. menatap Rain yang saat ini memeluknya sembari berkata dengan nada bicara, dan ekspresi memohon, seperti pria yang tak tahu kapan harus menyerah."Apa kau bilang, jangan pernah bermimpi! Aku sama sekali nggak pernah tertarik padamu! Dulu, aku mau melakukan semua yang kau minta karena terpaksa!" bentak Arumi, sembari melepaskan dekapan hangat Rain.Tak hanya itu, Arumi juga mendorong tubuh laki-laki yang masih dipenuhi luka lebam akibat pukulan Alan tadi pagi."Arumi, kumohon dengarkan aku. Aku kembali dengan ketulusan. Aku datang bukan untuk membuatmu marah, tapi karena aku mencintaimu. Aku tahu, pernikahanmu sudah selesai dengan Alan, dan dia juga ternyata berselingkuh di belakangmu, 'kan? Jadi, lebih baik lupakan masa lalumu, dan mulailah kehidupan yang baru denganku.""Cinta? Itu yang selalu kau katakan, Rain. Tapi kau tak pernah peduli pada perasaanku! Kau hanya bisa memaksa, padahal berulang kali aku bilang aku tidak pernah mencintaim
Beberapa Saat Sebelumnya ....Pak Rama duduk di dalam mobil, sembari menatap sebuah rumah kecil. Beberapa saat yang lalu, anak buahnya memberi tahu tentang keberadaan Arumi yang saat ini tinggal di alamat yang saat ini dia tuju.Sebenarnya Pak Rama ingin turun. Namun, dari sudut pandangnya, Pak Rama melihat anak perempuannya, Arumi, sedang berbincang dengan seorang laki-laki di depan rumah kecil tersebut.Pak Rama sebenarnya sudah mulai memperhatikan saat laki-laki itu memeluk, tapi dilepas begitu saja oleh Arumi.Jujur saja Pak Rama terkejut dengan interaksi keduanya, yang boleh dibilang cukup intim. Namun, yang menjadi tanda tanya besar dalam benak Pak Rama adalah, sosok yang saat ini cukup dekat dengan Arumi itu, sosok yang berbeda dengan laki-laki yang fotonya tersebar di media sosial.Pak Rama mencoba kembali mengingat, dan wajah lelaki itu, bukan wajah yang akrab baginya.Pak Rama merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Antara perasaan bingung, cemas, dan kesal, karena ternyata
Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut
Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de
Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara
Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga
Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....
Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari
Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam
Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m
Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan