Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Kanaya hanya memperhatikan Alan dengan cermat, menyadari betapa redupnya tatapan Alan. Dia pun bisa merasakan, bagaimana sakitnya Alan saat ini.Perlahan, Kanaya menggenggam jemari Alan, berharap menciptakan suasana hati yang lebih nyaman. "Mas, apapun hasilnya, Kenan tetap anak kamu. Kita akan rawat Kenan bersama." Suara lembut Kanaya, terdengar penuh perhatian.Alan menarik napas dalam-dalam, seolah sedang menyalami bagaimana sakitnya nanti jika kemungkinan buruk yang harus dia hadapi.Alan masih terdiam. Namun, Kanaya tak ingin mendesak untuk menanggapi perkataannya. Dia terus menunggu dengan sabar, sampai Alan benar-benar tenang."Hal ini benar-benar di luar dugaanku, Naya. Aku nggak nyangka semua ini akan terjadi. Rasanya semua semakin berat ...."Kanaya mengangguk, menandakan bahwa dia benar-benar mendengarkan. Kanaya tidak buru-buru memberi nasihat atau menyela, hanya membiarkan Alan mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya.Ketika akhirnya Alan menunduk, Kanaya tahu, Alan s
Wajah Arumi terlihat kaku, matanya penuh bara. menatap Rain yang saat ini memeluknya sembari berkata dengan nada bicara, dan ekspresi memohon, seperti pria yang tak tahu kapan harus menyerah."Apa kau bilang, jangan pernah bermimpi! Aku sama sekali nggak pernah tertarik padamu! Dulu, aku mau melakukan semua yang kau minta karena terpaksa!" bentak Arumi, sembari melepaskan dekapan hangat Rain.Tak hanya itu, Arumi juga mendorong tubuh laki-laki yang masih dipenuhi luka lebam akibat pukulan Alan tadi pagi."Arumi, kumohon dengarkan aku. Aku kembali dengan ketulusan. Aku datang bukan untuk membuatmu marah, tapi karena aku mencintaimu. Aku tahu, pernikahanmu sudah selesai dengan Alan, dan dia juga ternyata berselingkuh di belakangmu, 'kan? Jadi, lebih baik lupakan masa lalumu, dan mulailah kehidupan yang baru denganku.""Cinta? Itu yang selalu kau katakan, Rain. Tapi kau tak pernah peduli pada perasaanku! Kau hanya bisa memaksa, padahal berulang kali aku bilang aku tidak pernah mencintaim
Beberapa Saat Sebelumnya ....Pak Rama duduk di dalam mobil, sembari menatap sebuah rumah kecil. Beberapa saat yang lalu, anak buahnya memberi tahu tentang keberadaan Arumi yang saat ini tinggal di alamat yang saat ini dia tuju.Sebenarnya Pak Rama ingin turun. Namun, dari sudut pandangnya, Pak Rama melihat anak perempuannya, Arumi, sedang berbincang dengan seorang laki-laki di depan rumah kecil tersebut.Pak Rama sebenarnya sudah mulai memperhatikan saat laki-laki itu memeluk, tapi dilepas begitu saja oleh Arumi.Jujur saja Pak Rama terkejut dengan interaksi keduanya, yang boleh dibilang cukup intim. Namun, yang menjadi tanda tanya besar dalam benak Pak Rama adalah, sosok yang saat ini cukup dekat dengan Arumi itu, sosok yang berbeda dengan laki-laki yang fotonya tersebar di media sosial.Pak Rama mencoba kembali mengingat, dan wajah lelaki itu, bukan wajah yang akrab baginya.Pak Rama merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Antara perasaan bingung, cemas, dan kesal, karena ternyata
Pagi ini, sinar matahari menerobos lembut melalui celah tirai kamar. Udara masih terasa dingin, sisa embun malam yang belum sepenuhnya menguap. Dengan mata yang masih berat, Arumi menggeliat perlahan, mencoba mengumpulkan kesadaran setelah terlelap semalaman.Namun, ketenangan pagi itu buyar seketika saat terdengar suara ketukan di pintu. Arumi ragu-ragu, dan cemas jika sosok yang datang, adalah laki-laki yang semalaman datang dan mengusik ketenangannya. Jantung Arumi berdegup lebih cepat. "Siapa yang datang sepagi ini?"Arumi bergumam lirih. Dengan langkah enggan, dia berjalan menuju pintu, masih dengan kantuk yang menggantung di kelopak matanya.Saat daun pintu terbuka, waktu seakan berhenti. Di hadapannya berdiri sosok yang begitu dikenalnya—ayahnya. Pak Rama saat ini berdiri di depannya. Mata laki-laki paruh baya itu, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Arumi tahu, ayahnya pasti sangat marah padanya. Namun, dia tampak mencoba mengendalikan perasaannya.Arumi tercekat, bib
"Aku penasaran sama berita itu deh, aku boleh liat pemberitaan tentang Kak Arumi di TV, nggak, Mas?" tanya Kanaya, yang tak leluasa jika melihat berita tersebut dari ponsel Alan."Nggak sayang, aku nggak mau sesuatu terjadi sama kamu. Keadaan kamu masih gini, kalo tiba-tiba kamu sakit kepala gimana?"Alan memasang wajah galak. Jujur saja, dia khawatir jika di televisi, masih ada pemberitaan buruk tentang dirinya, dan Kanaya. Alan tak mau hal tersebut mengganggu psikologis Kanaya, yang saat ini sedang dalam masa pemulihan."Mas, please. Aku janji ga bakalan masukin ati sama pikiran kalo liat berita itu. Selama satu minggu ini, aku kayak hidup di gua. Ngga tahu tentang berita apapun di luar sana. Padahal, aku juga bisa kok filter berita, tanpa baca komentar netizen juga. Please, boleh ya ...."Alan hanya menghembuskan napas panjang, belum menyetujui permintaan Kanaya."Mas please. Katanya cinta ...."Rengekan, serta raut wajah Kanaya yang menggemaskan, akhirnya membuat Alan luluh."Ya u
Beberapa saat kemudian, Alan sudah sampai di rumah sakit. Kala itu, hujan masih turun dengan derasnya.Dengan langkah cepat, dia berjalan di koridor, diiringi senandung merdu rintik hujan yang membasahi atap rumah sakit. Napasnya tersengal, bajunya sedikit basah karena cipratan air hujan, tapi dia tidak peduli. Untuk saat ini, dia hanya ingin menemui Kanaya secepatnya.Alan benar-benar rindu pada kekasihnya itu, meskipun baru berpisah sebentar saja. Entah mengapa, sejak Kanaya kecelakaan, Alan tak bisa pergi terlalu lama dari Kanaya.Alan seolah masih trauma, dan takut, meninggalkan Kanaya terlalu lama, karena kecelakaan itu, hampir saja membuat dirinya hampir saja kehilangan Kanaya untuk selama-lamanya.Alan berjalan dengan langkah terburu-buru. Begitu tiba di depan pintu kamar, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dada, seolah ingin meluapkan rindu yang dia pendam.Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Kanaya yang sepertinya sedang tidur d
Di Sisi Lain ....Setelah Arumi keluar dari ruang mediasi, Alan masih berada di ruangan tersebut, bercakap-cakap dengan tim kuasa hukumnya.Hingga beberapa saat kemudian, setelah dirasa cukup berdiskusi, Alan bangkit. Lalu, dengan langkah yang terasa lebih ringan dari sebelumnya dia berjalan keluar dari ruangan tersebut.Udara yang dia hirup, terasa lebih segar, seolah dunia baru saja membuka lembaran baru untuknya. Proses mediasi yang beberapa saat lalu membebani pikiran akhirnya selesai, dan Alan tidak bisa menyangkal rasa lega yang memenuhi dada, ketika Arumi akhirnya menyetujui perceraian tersebut.Alan benar-benar bahagia, bisa lepas dari Arumi. Namun, bukan berarti dia tidak menghargai masa lalu. Ada waktu-waktu indah, ada kenangan yang pernah dia bangun bersama, tapi hubungannya, dan Arumi sudah terlalu lama menjadi ladang pertengkaran, yang juga diwarnai dengan ketidaksetiaan masing-masing pasangan.Setiap percakapan berubah menjadi perdebatan, setiap keputusan terasa seperti
Pak Rama menarik napas panjang, menggenggam jemari tangan Arumi dengan lembut."Papa tahu, ini pasti membingungkan dan berat untukmu. Mama kamu sedang berjuang melawan penyakit yang tidak terlihat."Nada bicara Pak Rama terdengar bergetar, rasanya berat untuk menjelaskan keadaan Bu Dahlia. Namun, dia sadar, cepat atau lambat, Arumi pasti tahu keadaan ibunya."Apa maksud Papa?" sahut Arumi yang tak mengerti dengan perkataan Pak Rama. Ingin rasanya menolak praduga yang sedari tadi berkecamuk di dalam dada."Mama kamu mengalami tekanan mental, sampai menggangu kejiwaannya.""Maksud Papa, Mama ...."Arumi tak melanjutkan perkataannya. Wanita itu, tampak begitu syok. Seolah tahu maksud Arumi, Pak Rama pun menganggukkan kepalanya.Sebenarnya, Pak Rama pun tidak tega harus mengatakan ini pada Arumi, yang pasti mentalnya sedang tidak baik-baik saja, karena perceraian yang sedang dia jalani."Nggak, nggak mungkin ....""Arumi, kamu juga sebenarnya sudah menyadari perubahan Mama kamu, 'kan? Seb
"Bukan apa-apa, Mas. Aku cuma salah ngomong," sahut Arumi gagap.Sedangkan Alan tersenyum kecut, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arumi. Laki-laki itu, kini menatap Arumi dengan tatapan nyalang.Arumi kian gugup, dia memilih diam dengan perasaan campur aduk. Dia masih berharap ada sedikit celah untuk memperbaiki pernikahannya dengan Alan, laki-laki yang sudah mengarungi rumah tangga dengannya selama belasan tahun. Namun, setelah lebih dari satu jam berbicara di hadapan mediator, semuanya terasa sia-sia. Alan tetap pada pendiriannya, ingin bercerai. Tidak ada kompromi, tidak ada celah untuk bertahan.Arumi menghela napas panjang, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia mencoba menahan air matanya, tetapi hatinya terasa begitu berat. Inilah akhirnya. Harapan yang tersisa kini sirna."Baik, setelah sesi mediasi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan untuk mempertahankan pernikahan. Apakah kalian berdua yakin dengan keputusan ini?""Mas, ini benar
Pagi ini, langit tampak mendung. Dengan langkah berat, Alan turun dari mobil, matanya nanar menatap gedung pengadilan yang berdiri kokoh di depannya. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menekan, membuat napasnya tersengal meski udara begitu sejuk. Tangannya gemetar saat merapikan kancing kemeja, bukan karena dingin, ataupun tak rela berpisah.Namun, karena gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Marah, dan kecewa, semua bercampur menjadi satu, tak berbentuk, tak terlihat, tapi begitu nyata dirasa. Rasanya Alan masih enggan untuk bertemu dengan wanita yang hari ini dia gugat cerai. Rasanya hati Alan masih sulit untuk berdamai, dan bersikap biasa saja pada Arumi.Arumi, wanita yang dulu sangat dia cintai dengan sepenuh hati, dan dia pilih untuk menjadi ibu dari anak-anaknya, telah mengkhianati kepercayaannya. Meskipun, Alan juga melakukan hal yang sama, tapi dia melakukan semua itu, karena sikap Arumi yang begitu egois padanya. Padahal, dulu Alan sangat mencint
Pagi ini, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit kelabu seakan memahami kegundahan yang menyelimuti hati Arumi.Saat ini, dia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah tirai jendela yang bergoyang pelan ditiup angin. Setelah perdebatannya dengan Pak Rama kemarin, Arumi memutuskan untuk menyetujui semua perintah ayahnya, termasuk salah satunya pulang ke rumah.Akan tetapi, yang membuat dirinya semakin pilu adalah hari ini merupakan, hari sidang pertama perceraiannya dengan Alan.Hari yang selama ini coba dia tolak, dengan berbagai cara. Namun semua itu terasa sia-sia, dan kini, dia tak bisa lagi menghindari.Tangan Arumi gemetar saat meraih cangkir kopi yang sejak tadi tak disentuh. Pahitnya kopi itu, seolah mencerminkan rasa di hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam, berharap bisa menenangkan gelombang emosi yang terus menghantamnya. Ada sedih, ada marah, ada ketakutan yang menyesak di dada.Bukan ini yang dia bayangkan ketika dulu pertama kali menjalani rumah tangga denga
Pagi ini, sinar matahari menerobos lembut melalui celah tirai kamar. Udara masih terasa dingin, sisa embun malam yang belum sepenuhnya menguap. Dengan mata yang masih berat, Arumi menggeliat perlahan, mencoba mengumpulkan kesadaran setelah terlelap semalaman.Namun, ketenangan pagi itu buyar seketika saat terdengar suara ketukan di pintu. Arumi ragu-ragu, dan cemas jika sosok yang datang, adalah laki-laki yang semalaman datang dan mengusik ketenangannya. Jantung Arumi berdegup lebih cepat. "Siapa yang datang sepagi ini?"Arumi bergumam lirih. Dengan langkah enggan, dia berjalan menuju pintu, masih dengan kantuk yang menggantung di kelopak matanya.Saat daun pintu terbuka, waktu seakan berhenti. Di hadapannya berdiri sosok yang begitu dikenalnya—ayahnya. Pak Rama saat ini berdiri di depannya. Mata laki-laki paruh baya itu, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Arumi tahu, ayahnya pasti sangat marah padanya. Namun, dia tampak mencoba mengendalikan perasaannya.Arumi tercekat, bib
Beberapa Saat Sebelumnya ....Pak Rama duduk di dalam mobil, sembari menatap sebuah rumah kecil. Beberapa saat yang lalu, anak buahnya memberi tahu tentang keberadaan Arumi yang saat ini tinggal di alamat yang saat ini dia tuju.Sebenarnya Pak Rama ingin turun. Namun, dari sudut pandangnya, Pak Rama melihat anak perempuannya, Arumi, sedang berbincang dengan seorang laki-laki di depan rumah kecil tersebut.Pak Rama sebenarnya sudah mulai memperhatikan saat laki-laki itu memeluk, tapi dilepas begitu saja oleh Arumi.Jujur saja Pak Rama terkejut dengan interaksi keduanya, yang boleh dibilang cukup intim. Namun, yang menjadi tanda tanya besar dalam benak Pak Rama adalah, sosok yang saat ini cukup dekat dengan Arumi itu, sosok yang berbeda dengan laki-laki yang fotonya tersebar di media sosial.Pak Rama mencoba kembali mengingat, dan wajah lelaki itu, bukan wajah yang akrab baginya.Pak Rama merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Antara perasaan bingung, cemas, dan kesal, karena ternyata