"Kamu, kok di sini?" "Karena kamu di sini, Mbak," jawabnya dengan seulas senyum. Aku berdiri, berjalan berdampingan dengan Soni yang masih setia memayungi kami menggunakan jaketnya. "Deketan dikit, Mbak, bahumu kehujanan.""Gak apa-apa," kataku. Namun, Soni tidak mengizinkan tubuhku terkena air hujan. Dia menarik bahuku, hingga refleks tanganku melingkar di pinggangnya. Aku mendongak, melirik ke sebelah kiri di mana pria yang usianya lebih muda lima tahun dariku tengah tersenyum senang dengan pandangan lurus ke depan. Tatapan kualihkan pada kaki kami yang berjalan bersamaan. Rintik air hujan mengiring detak jantung yang tiba-tiba berpacu lebih kencang. Apakah arti dari semua ini? Aku tidak tahu. "Kita neduh dulu, Mbak." Soni berujar ketika kami sampai di pos kecil di pinggir TPU. Aku menarik napas dalam-dalam, seraya melepaskan tangan yang sedari tadi melingkar pada pinggangnya. "Kamu tahu dari mana aku di sini?" tanyaku kemudian. "Feeling aja, Mbak. Ternyata, benar ada di
Aku kembali ke tempat pengambil kopi, lalu membawa minuman hangat yang sama ke meja yang berbeda. "Mbak, karyawan baru?" tanya seorang pria pemesan kopi."Iya," ujarku singkat, lalu kembali. Hampir dua jam aku menjadi pelayan di kedai kopi ini. Sesekali aku melirik Soni yang tengah meracik kopi bersama satu temannya. Dan dua teman lainnya bertugas sebagai pengantar pesanan. Kakiku sudah lumayan pegal, tanganku pun demikian. Pengunjung yang sudah mulai berkurang, membuatku kembali disuruh duduk oleh Soni. Namun, aku tidak mendengarkan apa kata dia. Aku tetap bekerja, dan akan berhenti ketika benar-benar sudah lelah. "Mbak, Mbak ini istrinya atau kakaknya si Soni, sih? Perasaan tiap manggil, pake kata 'Mbak' terus?" tanya seorang wanita berjilbab itu padaku. Aku tersenyum seraya menundukkan pandangan. Kemudian mata ini melirik Soni yang terlihat malu-malu dengan pertanyaan kawannya itu. "Panggilan sayang, Mirandah!" tutur pria di samping Soni. Wanita yang dipanggil Miranda itu m
"Tuh, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ke mana aja, kamu ini, Num?" Ibu nyerocos dengan bibir yang bergoyang ke sana kemari. Namun, dengan santainya aku membuka helm, menyimpannya di atas motor, tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Kemudian menyalami kedua orang tuaku itu satu persatu, dan berulah duduk di bale-bale bersama mereka. Di sana pun ada Shanum yang tengah bermain kasir-kasiran seorang diri. "Dari mana?" tanya Ibu untuk yang kedua kali. "Dari ....""Dari kedai kopi dulu, Bu. Tadi, aku yang minta Ranum ke sana. Maaf, harusnya aku tidak libatkan Ranum dalam pekerjaanku," ujar Soni menjawab pertanyaan Ibu. Padahal, bukan itu jawaban yang hendak aku ucapkan. Namun, pria itu malah bicara demikian."Oh, yasudah." Aku mengerutkan kening melihat Ibu yang hanya menjawab singkat seraya berlalu. Biasanya tidak seperti itu. Ibu biasanya selalu nyerocos, jika ada yang tidak sepaham dengannya. Namun, kali ini dia berbeda. Meskipun aku datang telat, juga bersama Soni, tidak aku
Adzan maghrib berkumandang. Beda dengan saat di ruko, di sini Soni salat ke mesjid bersama Bapak. Kedua lelaki itu sudah pergi, dan di sini pun para wanita mulai menunaikan ibadah salat berjamaah.Tiga rakaat sudah kami tunaikan, sekarang aku dan Ibu tengah duduk bersila masih dengan menggunakan mukena. Sedangkan Shanum, dia berguling di atas ranjang Ibu yang lebih besar dari kasur milik kami di ruko. "Num. Boleh, Ibu bicara padamu?" tanya Ibu setelah beberapa saat diam. "Tentu, Bu. Ibu, mau bicara apa?" "Ini tentang pernikahanmu dan Soni. Sudah kalian daftarkan ke KUA?" Aku menggelengkan kepala. "Rencananya besok, Bu. Apa, Ibu keberatan?" Kini giliran Ibu yang Menggelengkan kepala. Dia mengambil tanganku, lalu menepuk-nepuknya pelan. "Tidak, Num. Justru, Ibu mendukung keputusan kamu ini. Maaf, ya jika ada kata-kata Ibu yang mungkin melukai perasaan kalian. Terutama Soni. Harus Ibu akui, Ibu keliru. Ibu berdosa pernah menyuruh kamu bercerai dari dia.""Sudah kami maafkan. Kalau
"Ranum, Soni, Bapak mau ngomong jujur sama kalian. Ini tentang rahasia yang tadinya Bapak pendam sendiri, tapi kali ini akan Bapak bicarakan pada kalian. Bapak takut tidak ada umur, jika tidak bicara sekarang."Suasana mendadak tegang ketika Bapak berucap demikian. Aku menatap lekat pria cinta pertamaku itu. Begitu pun dengan Soni dan Ibu. Kecuali Shanum. Putriku itu masih bermain di kamar. Terdengar dari suara dia yang bernyanyi di dalam sana. Hari masih pagi, tapi kami dibuat penasaran dengan apa yang akan Bapak sampaikan sekarang ini. "Tentang apa, Pak?" tanyaku tidak sabar. "Tentang ... uang."Aku lebih tidak mengerti. "Sebenarnya, uang yang Bapak berikan padamu saat itu, juga yang Bapak belikan pada beberapa rak di rukomu, itu bukan tabungan Bapak dan Ibu. Melainkan, dikasih Ibu Utami, ibunya Soni."Mama?Aku dan Soni saling pandang. Tidak pernah menyangka jika modal yang kudapat dari ibu mertua. Ibu pun demikian. Wanita itu menatap tak percaya pada suaminya. "Kapan?" tanya
Kuembuskan napas kasar seraya masuk ke dapur. Beberapa saat aku duduk merenung memikirkan perkataanku tadi. Ada rasa tidak enak karena telah membuat Soni kecewa. Aku pun tidak tahu dengan perasaan ini. Tadi, aku menggebu mengatakan tentang dia yang terlibat dalam uang sogokan itu. Tapi, sekarang justru aku merasa menyesal mengucapkan kata yang mungkin menyakiti hatinya."Bunda, iketin rambut aku," pinta putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. "Mau iket berapa?" tanyaku menyuruh dia duduk di kursi kosong di sampingku. "Satu aja, biar cepet."Aku pun mulai menyisir rambut Shanum dan mengikatnya. Saat tengah memasangkan pita, Soni datang dan menghampiri kompor. Dia bertanya pada putriku ingin membawa bekal apa hari ini ke sekolah. Dia hanya bicara pada putriku, dan mengabaikan diriku."Mau susu kotak sama biskuit aja, Om," ujar Shanum singkat. "Apa lagi?" tanya Soni kembali. "Emh ... buah anggur, kalau ada!" Putriku menutup mulut, karena tahu sebenarnya tidak ada buah itu di
"Mah, Mama, kok gak bilang sama Ranum, kalau Soni cuti kuliah. Aku juga tidak tahu jika Soni punya usaha dengan teman-temannya."Mama mengulas senyum manis seraya menyesap teh manis yang aku buatkan. Dia duduk di kursi plastik seraya memegang gelas. Sesaat setelah Soni berangkat, Mama datang seraya membawa tas bergambar kuda poni untuk putriku. Katanya, Mas Sandi cerita jika Shanum minta dibelikan tas baru. Bukannya dia yang datang, malah menyuruh Mama. Ayah macam apa, Mas Sandi itu? Sekarang, aku sedang membicarakan Soni dengan wanita yang melahirkannya ini. "Iya, Num. Waktu itu dia mohon-mohon sama Mama, buat ngijinin cuti kuliah. Sekaligus, minta modal untuk usaha. Tadinya, Mama pun tidak setuju. Mama mau, dia tetap kuliah sambil bekerja. Tapi, Mama bisa apa kalau Soni memang sudah niat banget berhenti," ujar Mama menjawab pertanyaanku. Aku manggut-manggut. Sebenarnya, aku pun ingin mempertanyakan tentang uang yang sudah dia berikan pada Bapak. Namun, kurasa tidak perlu. Aku
"Sha, ikut Bunda, yuk!" Aku berteriak dari lantai bawah. "Ke mana, Bunda?" tanya Shanum melihatku seraya menyembulkan kepala. "Ke toko kain kakek dan nenek. Bunda mau beli kain!" Tidak berapa lama, Shanum turun. Aku langsung menutup toko, biar bisa pergi dengan leluasa. Jarak ruko dengan toko Ibu memang lumayan jauh. Namun, tidak urung bagiku dan Shanum untuk jalan kaki menyusuri pasar yang ramai. Banyak yang kami bicarakan selama perjalanan. Apalagi, Shanum yang selalu ingin tahu, menanyakan segal yang dilihatnya."Bunda, apa bedanya pasar, dan supermarket?" tanya Shanum di sela langkah kami. "Bedanya, supermarket itu berada di dalam ruangan, sedangkan pasar, dia letaknya di tempat terbuka seperti ini. Tuh, lihat. yang jualannya, pake meja-meja besar gitu. Ada yang pake roda juga." Aku menunjuk beberapa pedagang di sekitar kami. "Ada yang duduk di tanah juga, Bunda," tutur Shanum menunjuk nenek-nenek penjual sayur dalam nampan. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di de
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism