Share

Bab 93

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2022-09-01 22:42:51

"Sha, ikut Bunda, yuk!" Aku berteriak dari lantai bawah.

"Ke mana, Bunda?" tanya Shanum melihatku seraya menyembulkan kepala.

"Ke toko kain kakek dan nenek. Bunda mau beli kain!"

Tidak berapa lama, Shanum turun. Aku langsung menutup toko, biar bisa pergi dengan leluasa.

Jarak ruko dengan toko Ibu memang lumayan jauh. Namun, tidak urung bagiku dan Shanum untuk jalan kaki menyusuri pasar yang ramai.

Banyak yang kami bicarakan selama perjalanan. Apalagi, Shanum yang selalu ingin tahu, menanyakan segal yang dilihatnya.

"Bunda, apa bedanya pasar, dan supermarket?" tanya Shanum di sela langkah kami.

"Bedanya, supermarket itu berada di dalam ruangan, sedangkan pasar, dia letaknya di tempat terbuka seperti ini. Tuh, lihat. yang jualannya, pake meja-meja besar gitu. Ada yang pake roda juga." Aku menunjuk beberapa pedagang di sekitar kami.

"Ada yang duduk di tanah juga, Bunda," tutur Shanum menunjuk nenek-nenek penjual sayur dalam nampan.

Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di de
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
ranum km ni ya mosok km kasih ukuran m sih..
goodnovel comment avatar
Siti Raihan
Soni lucu,aku suka ceritanya,,,
goodnovel comment avatar
Nadea Azkya
apaan tuh yg diraba roti sobek apa bawahnya.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 94

    "Mbak, segini cukup apa tidak untuk satu bulan?" tanya Soni seraya duduk bersila berhadapan denganku. Di tengah-tengah kami, ada uang sebanyak lima juta rupiah yang diberikan Soni padaku. Setelah saling ledek gara-gara baju yang kubeli kekecilan di tubuh suamiku itu, Soni langsung mengajakku bicara. Rupanya, dia ingin memberikan penghasilan selama satu bulan usaha yang baru dirintisnya. Menurutku, ini lumayan besar. Apalagi untuk sebuah kedai kopi yang baru buka, penghasilan segitu per satu orang, sudah lumayan. "Mbak, gak cukup, ya?" tanya Soni lagi mengibaskan tangan di depanku. "Cukup, Son. Insya Allah akan cukup. Emh .... Ini, kok dikasih ke aku semua, buat kamu mana?" "Aku tidak perlu uang, Mbak. Tapi, kasih sayang.""Soni ...." Aku menatapnya tajam.Dia nyengir, lalu memeluk lutut dengan masih berada di depanku. Kepalanya menggeleng tanda tidak menginginkan uang yang masih bertumpuk di lantai. "Untuk bensin." Aku kembali berucap. "Lah, gampang buat bensin mah, Mbak. Enta

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 95

    "Baru bangun, Mbak?"Aku menghentikan langkah kaki ketika seseorang di bawah sana menegurku. Soni. Dengan rambut basah dan wajah segarnya tersenyum seraya menata barang. Aku tidak melanjutkan langkah. Memilih duduk di anak tangga seraya memperhatikan dia. Sudah bisa kutebak, jika Soni baru saja pulang dari pasar. Sudah beberapa kali aku melarang dia agar berhenti kuli, tapi Soni tidak mau mendengarkan. Dia selalu kekeh dengan pendiriannya. "Hari ini, jadi ke pestanya Devano?" Soni kembali berujar. Aku mengangguk seraya mengikat rambut ke atas. Namun, masih enggan beranjak dari tempat dudukku sekarang. Mata ini masih memperhatikan dia yang bolak-balik mengambil barang dari belakang."Mbak, minyak goreng tinggal lima kardus lagi, terus ... mie instan, kopi kemasan sama makanan ringan, juga sudah pada mau habis.""Iya, aku sudah memesannya kembali. Mungkin nanti siang atau sore akan datang. Pagi ini, 'kan kita mau ke pestanya Devano, jadi tokonya tutup aja sampai kita pulang dari sa

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 96

    "Tidak becus! Kenapa harus anakku yang celaka? Kenapa bukan kamu saja yang tiada!" "Sandi!!" Aku yang berada bersama Shanum di dalam kamar rawat inap, akhirnya memilih keluar saat mendengarkan keributan di sana. Berbagai umpatan dan cacian Mas Sandi berikan pada Soni yang tadi mengalami kecelakaan bersama putriku. Menurut penuturan Soni, tadi motor yang dikendarainya bertabrakan dengan mobil yang melaju dari arah berlawanan. Mobil yang menyalip kendaraan lain, ditambah wajah Soni ketutupan rambut Shanum yang tertiup angin, membuat pandangan dia tertutup. Alhasil, kecelakaan tidak dapat dihindari. Dan sekarang, putriku terkapar lemas di atas ranjang rumah sakit."Sandi, sudah hentikan. Jangan terus menyalahkan adikmu. Celaka tidak ada yang tahu, ini musibah, Nak." Mama menghendaki kemarahan Mas Sandi yang begitu emosi pada Soni. Pria yang tak lain suamiku itu hanya menunduk lesu di atas kursi roda. Soni tidak mengalami luka serius, dia hanya shock dengan beberapa luka ringan di

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 97

    Aku langsung menghampiri Shanum, lalu menanyakan bagian mana yang sakit. Kekhawatiranku bertambah, saat putriku terus menangis menunjuk bagian kepala yang terluka. "Mas, minta dokter untuk segera memeriksa bagian dalam kepala Shanum, aku takut ada cidera di dalamnya," ujarku seraya terus memenangkan buah hatiku. "Baiklah, aku akan menemui dokter untuk ini." Mas Sandi keluar dari kamar Shanum, untuk menemui dokter yang menangani putriku. Sedangkan aku, menenangkan putriku dengan dibantu Ibu. "Gimana, Mas?" tanyaku saat Mas Sandi datang seorangpun diri. Tidak ada dokter yang mengikutinya. "Mereka akan segera datang untuk memeriksa Shanum. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa dengan putriku. Jika ada yang serius, aku tidak akan memaafkan Soni."Hatiku menciut, dadaku berdenyut ketika Mas Sandi mengucapkan kata ancaman pada Soni. Sesalah-salahnya dia, Soni itu suamiku. Ada rasa kasihan dan tidak terima saat Mas Sandi berkata kasar kepada suamiku itu. Kecelakaan ini bukan inginnya. Dia

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 98

    "Coba lihat di toilet, Num." Aku menuruti perintah Mama dengan langsung berjalan ke arah kamar kecil. Kosong. Tidak ada Soni di sana. Aku menggelengkan kepala ke arah Mama yang sekarang sudah berdiri di belakangku. "Oh, mungkin ke mushola, Num. Kan, sudah adzan subuh," ujar Mama lagi. Aku berpikir sejenak, lalu mengembuskan napas lega. Ya, mungkin Soni sedang salat subuh berjamaah. Rasa khawatirku sedikit berkurang setelah tahu kemungkinan besar Soni ada di tempat yang aman. Aku pun pamit pada Mama untuk pergi ke mushola. Bukan untuk menyusul Soni, melainkan untuk menunaikan ibadah salat subuh, karena aku tidak membawa mukena jika harus salat di kamar Shanum. Dua rakaat sudah aku tunaikan, kini mataku celingukan mencari sosok Soni. Namun, ternyata di sini pun tidak ada. Aku keluar dari mushola dengan hati yang tak tenang. Mungkinkah Soni sudah kembali ke kamarnya, atau sebenarnya dia tidak ada di tempat ibadah itu? "Pak, maaf ganggu sebentar. Apa, Bapak lihat laki-laki yang

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 99

    "Om Soni ... Bunda juga tidak tahu di mana Om Soni, Sha." "Loh, kok Bunda bicara seperti itu? Memangnya Om Soni di mana, Bunda?" Shanum kembali bertanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Ya Tuhan ... cengengnya aku menurun pada putriku. Baru saja aku menjawab tidak pasti tentang Soni, mata Shanum sudah mulai berair. Dia begitu khawatir pada omnya itu. "Sayang ... kok, malah nangis? Kemarin, Om Soni di sini sama Shanum. Tapi ... dia pergi, dan gak bilang-bilang sama Bunda. Mau Bunda lihat ke rumah, tapi tidak ada yang jagain Shanum di sini. Bunda, jadi bingung." Aku menoleh ke arah putriku yang kini air matanya sudah melewati pipi. Segera aku menghapusnya, menghibur dia agar tidak lagi bersedih. "Bunda ....""Iya, Sayang?" "Bunda pulang saja, lihat Om Soni. Kasihan dia Bunda, kakinya tertimpa motor.""Shanum, ingat?" tanyaku memastikan. Pasalnya, kemarin pas di bawa ke sini, putriku sudah pingsan sejak dari tempat kejadian. "Ingat, Bunda. Om Soni meringis, terus Shanum lupa l

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 100

    "Ranum!!""Mbak!"Teriakan kedua pria itu membuatku menghentikan tangan yang sudah berhasil menampar kedua pipi Mas Sandi. Dadaku naik turun seiring amarah yang masih memuncak. Telapak tangan memanas setelah barusan bersentuhan dengan kulit tebal Mas Sandi.Tak kusangka, pria yang dulu aku hormati, kujunjung tinggi, kini merendahkanku dengan sadar. Dia, ingin membeli seorang istri dari suaminya. "Ranum, kenapa kamu datang ke sini dan tiba-tiba menamparku?" tanya Mas Sandi dengan wajah merahnya. Aku mengambil gelas berisikan air, lalu menumpahkannya dengan sengaja ke wajah pria itu. Dia kembali berteriak mempertanyakan maksud dari perbuatanku ini. "Kenapa kamu bilang? Kamu ingin tahu kenapa aku seperti ini? Karena aku jijik padamu! Jangan mentang-mentang kamu punya banyak uang, kamu bisa seenaknya membeliku dengan hartamu!"Mas Sandi buru-buru menutup tas berisikan uang yang dia tawarkan pada Soni. Tangannya begitu cepat mengemasi barang-barang yang dia tawarkan sebagai imbalan ji

    Last Updated : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 101

    "Aku tidak ingin membebanimu, Mbak. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri, tanpa ingin melibatkanmu.""Salah," ujarku. "Jika kamu menganggapku istri, sebesar apa pun masalah yang datang, serumit apa pun cara penyelesaiannya, harusnya kamu tetap cerita. Bukan pergi sesuka hati, membuat semua orang khawatir. Telpon Mama, dia masih mencarimu." Aku berucap tanpa jeda. Seperti seorang anak yang diperintah ibunya, Soni mengambil ponsel, lalu menghidupkannya. Dia langsung menelepon Mama, mengatakan kalau dia baik-baik saja. Setelahnya, aku mendengarkan alasan kepergian dia dari rumah sakit. Seperti dugaanku, dia memang disuruh Mas Sandi untuk mencari uang biaya rumah sakit Shanum. Ancamannya, jika Soni tidak bisa mendapatkan uang itu, maka dia harus meninggalkan aku. Mas Sandi memang pintar menjebak seseorang dalam kesengsaraan. Ancaman dia membuat Soni semakin merasa bersalah dengan kondisi Shanum. Juga, dia yang enggan meninggalkanku, harus bisa mendapatkan uang dengan cara ap

    Last Updated : 2022-09-01

Latest chapter

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 145

    "Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 144

    "Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 143

    "Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 142

    Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 141

    Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 140

    "Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 139

    "Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 138

    "Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 137

    Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status