Share

Bab 73

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-01 21:53:34

Tidak ingin terus mendengar mereka bertengkar seraya menikmati teh di bale-bale, aku menyuruh Soni untuk masuk ke rumah dan berganti pakaian.

Sesuai perintah Bapak. Aku pun mengambil kaus serta celana training yang biasa Bapak pakai. Lalu memberikannya pada Soni yang hendak pergi ke kamar mandi.

Selagi Soni mandi, aku berganti pakaian di kamar. Karena memang hanya ada satu kamar mandi di rumah ini. Setelah selesai, aku ke dapur untuk membuat minuman hangat.

Satu gelas susu jahe sudah terhidang di atas meja. Dan ... satu kopi hitam pun tak luput dari perhatianku.

Aku mengangkat sebelah bibir dengan pandangan lurus pada kopi hitam yang masih mengepul.

Baik hati sekali aku yang ingat akan kopi kegemaran Soni?

Ah, hanya bentuk rasa terima kasih.

"Num, cucu Ibu gak ikut pulang?" tanya Ibu seraya menghenyakkan bokong pada kursi.

"Tidak, Bu. Katanya mau nginap di sana."

"Tumben sekali? Kenapa kamu biarin? Kalau si Sandi mencuci otak Shanum, gimana? Nanti dia jadi gak pulang ke sini da
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Difa Farhanah
tnyata sony ga cm sweet n gentleman...tp pekerja keras ...smoga bner tulus sayangnya & tggjwb sampe akhir ya... beda sm kk nya
goodnovel comment avatar
Isabella
Soni sosweet
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 74

    "Gimana untuk hari ini, Num?" tanya Bapak yang malam ini datang berkunjung. Setelah toko buka, aku memang memutuskan untuk pindah tinggal di ruko. Alasan pada Ibu, tidak ingin berabe karena tidak memiliki kendaran sendiri. Padahal, aku ingin tinggal di sini untuk menghindari perpecahan antara orang tua, juga aku dan Soni yang kini tinggal bersamaku. Jangan pernah berpikir aku dan pria itu tidur satu ranjang. Karena aku memberikan jarak yang lumayan jauh untuknya. Entah sampai kapan. Mungkin sampai tiga puluh tahun, seperti percobaan versi dia. Tapi ... tidak menutup kemungkinan hanya tiga puluh hari, jika nanti tangan Tuhan sudah membukakan pintu hatiku. "Alhamdulillah, Pak. Sampai pegal-pegal ini badan," ujarku seraya memijit pundak yang tadi pagi tertimpa dus mie instan. "Syukurlah kalau rame. Kalau sekiranya kamu dan Soni tidak mampu untuk melayani pelanggan, kamu cari orang buat kerja bantu-bantu kalian.""Enggak, ah Pak. Keuntungannya masih sedikit, tidak akan cukup untuk ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 75

    Beberapa menit tidak aku lihat tanda-tanda kepulangan Soni, aku pun mengambil ponsel, lalu turun ke bawah untuk mengunci pintu ruko seraya menghubungi Soni. Panggilan pertama tidak diangkat. Aku mengulanginya lagi untuk yang kedua kali. Masih tidak diangkatnya juga. Aku duduk di kursi plastik, lalu mengetik pesan untuk Soni. [Pulang jam berapa? Pintu mau dikunci.]Satu menit, dua menit, sampai lima belas menit, tapi masih tidak ada jawaban. "Apa mungkin Soni pulang ke rumah Mama, ya?" ucapku berujar seorang diri. Kulirik jam yang ada pada layar ponsel. Sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi Soni masih belum pulang. Pesan yang kukirim pun masih tidak dibalasnya. Saat hendak menelpon Mama, terdengar deru motor yang berhenti di depan ruko. "Apa itu motor Soni?" tanyaku pada diri sendiri. Aku berdiri, kemudian menghampiri pintu, tapi tidak berani membukanya. "Son, Soni! Kamu di luar?" ujarku seraya mengetuk folding gate. "Iya, Mbak. Ini aku!" Aku bisa bernapas

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 76

    "Bunda, sekarang aku ke sekolah pakai apa? Masa, jalan kaki?" Aku yang tengah menuliskan nota belanjaan pengunjung, seketika menoleh pada Shanum yang berdiri di sampingku dengan seragam lengkapnya. Benar yang dikatakan putriku itu. Kini aku sudah tidak punya kendaraan, otomatis Shanum tidak ada yang antar. Dari kemarin, aku mengandalkan Soni. Tapi, entah kenapa sekarang dia sudah pergi sejak subuh. Memangnya ada, kuliah yang dimulainya pagi-pagi buta? "Bunda ...," panggil Shanum lagi seraya merengek. "Bentar, ya Sayang. Bunda bereskan ini dulu, nanti telepon kakek buat antar Shanum ke sekolah," ujarku menenangkan putriku itu. Shanum mengangguk meskipun wajahnya merengut. Aku pun segera menuliskan belanjaan yang sudah menumpuk di mejaku. Di belakang, sudah ada beberapa ibu-ibu lainnya yang antre mau membayar belanjaannya. Masya Allah .... Pagi-pagi aku sudah dibuat sibuk dengan pekerjaan dan permasalahan. "Shanum! Ayo, berangkat sekolah!"Seperti ada angin segar yang menyejukk

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 77

    "Mas ....""Lain kali, lebih hati-hati lagi, yah? Mau di bawa ke depan? Biar aku bawakan sekalian. Butuh berapa dus? Dua, tiga, atau lima?" Aku menggelengkan kepala, lalu mengambil kardus dari tangan Mas Sandi, dan membawanya ke depan. Laki-laki itu pun mengikuti dari belakang dan kini dia duduk di kursi plastik yang ada di depan mejaku. "Kamu kerja sendirian, Num? Di mana anak begajulan itu?" Aku melirik Mas Sandi sebentar, lalu kembali fokus pada buku nota tanpa ingin menjawab pertanyaan Mas Sandi. Anak begajulan, dia menyebut adiknya sendiri. Sungguh tidak enak didengar, dan tidak pantas terucap dari bibir seorang kakak. "Num—""Untuk apa datang ke sini, Mas?" tanyaku tanpa ingin tahu kata yang belum selesai dia ucapkan. "Ah ... aku hanya ingin main saja, Num.""Main? Bukannya ini masih jam kantor?"Mas Sandi melihatku, kemudian pandangannya lurus ke depan. "Ngapain kerja keras, tapi tidak ada yang habisin uangku. Kalau dulu, kerja keras pun ada tujuannya. Untuk anak, istri

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 78

    Dasar modus. Awas saja jika nanti sudah tidak ada Mas Sandi, akan aku balas perbuatan lancang Soni. Aku mengusap punggung tangan dia yang betumpu pada meja, lalu mencubitnya hingga matanya melotot dengan bibir yang tersenyum kaku. "Kenapa harus maen ciam-cium, hem ...?" ujarku pelan dengan mengeratkan gigi."Kelepasan, Mbak."Aku berdehem dan mencoba bersikap setenang mungkin saat Mas Sandi masuk. Di berjalan santai, lalu mengucapkan kata yang membuatku semakin naik darah. "Silahkan nikmati, Soni. Bekasku."Mas Sandi berlalu pergi ke lantai atas, dan aku menjauhkan tubuh dari Soni. Melihat perubahan rona wajahku, Soni menenangkan dengan menepuk-nepuk pundak seraya berbicara seolah tak peduli dengan ucapan yang dilontarkan kakaknya itu. "Biarin bekas, yang penting berkelas. Iya, kan Mbak?" ujarnya santai. Aku tidak menjawab. Memilih melayani pelanggan yang kembali datang. Soni pun demikian. Dia pergi ke belakang untuk mengambil beberapa kardus mie instan. Setelah beberapa saat

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 79

    "Mbak, aku pergi dulu, ya? Pintu akan aku kunci dari luar, biar Mbak tidak harus membukakan pintu jika aku pulang malam lagi," ujar Soni seraya menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Sudah biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan dia pun pergi hingga nanti pulang tengah malam. Aku tidak bicara. Hanya mengangguk karena percuma bertanya, dia pun tidak akan menjawab. Hal seperti ini terus terulang hingga tak terasa aku dan dia sudah tinggal satu bulan di tempat ini. Namun, aku belum juga tahu pekerjaan Soni. "Om Soni, mau ke mana? Kerja kelompok lagi?" tebak Shanum yang langsung dijawab Soni seraya mengacak rambut putriku. Dia pun turun dari lantai dua dengan membawa tasnya. Ke mana pun, di mana pun, Soni tidak pernah meninggalkan tas itu. Ransel hitam yang selalu menjadi teman dalam keadaan apa pun. Yang aku tahu, ransel itu berisikan laptop dan buku-buku kuliahnya. Namun, sekarang ini aku sedang mencurigai ada barang lain di sana. Dia sangat tidak mengizinkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 80

    Jadi ini jawaban dari pertanyaanku tentang uang recehan itu? "Soni ...." Kembali aku mengucapkan nama itu. Mataku fokus tertuju pada pria yang mengucapkan alhamdulillah setelah diberikan upah. Tidak berhenti di satu mobil, Soni pun menghampiri mobil lainnya dan melakukan hal yang sama. Memang tidak hanya ada Soni di sana. Ada pria lainnya yang menjadi kuli panggul untuk mendapatkan upah bagi keluarganya. "Eh." Aku hampir berteriak ketika melihat Soni tersandung dengan beban berat di pundaknya. Namun, tidak dengan pria itu. Dia malah tertawa lebar bersama pria lain merutuki diri yang hampir jatuh tersungkur ke tanah. Tidak tahan menyaksikan dia yang bekerja keras untuk suatu pembuktian, aku kembali pulang dengan perasaan bersalah. Bersalah karena telah berpikiran buruk pada dia tentang uang yang didapatkannya. Rasa kasihan juga hadir ketika membayangkan beban yang begitu berat, dia pikul sendiri. Sesampainya di rumah, aku duduk merenung di kursi belakang meja. Menyangga dagu d

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 81

    Soni langsung berdiri, lalu pergi tanpa ada niat untuk berkata jujur padaku. Aku gemas sendiri dibuatnya, ingin menarik bajunya dan memintanya berkata jujur. Namun, itu hanya ada dalam khayalan. Meskipun sudah tahu pekerjaan dia, rasanya belum puas jika tidak mendengarnya langsung. Dan aku belum berhasil membuatnya berkata jujur. Hari semakin siang, aku sudah kembali melakukan aktivitas rutin di setiap harinya. Shanum dan Soni sudah tidak ada di rumah, mereka pergi ke sekolahnya masing-masing. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam. Eh, Ibu? Sini, masuk, Bu." Wanita yang telah melahirkanku itu masuk. Aku menyuruhnya duduk di kursi plastik yang ada di sampingku. "Gimana dengan tokomu, Num?" tanya Ibu."Alhamdulillah, Bu. Semakin hari semakin rame.""Soni masih kuliah?" tanya Ibu lagi. Ada yang tidak biasa dari Ibu. Tidak kulihat wajah masam dan kata-kata pedas yang kudengar dari bibirnya saat mengatakan nama suamiku. Apa sekarang hati Ibu sudah luluh? "Kuliah, Bu. Setiap pagi dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-01

Bab terbaru

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 145

    "Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 144

    "Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 143

    "Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 142

    Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 141

    Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 140

    "Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 139

    "Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 138

    "Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 137

    Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status