Esok harinya, aku pergi ke ruko. Meskipun tatapan tidak mengenakan aku dapat dari beberapa orang yang aku temui, tapi tidak menyurutkan niatku untuk tetap melanjutkan apa yang telah aku mulai. Aku harus punya usaha, untukku dan Shanum ke depannya. Nafkah dari Soni? Ah, aku tidak menganggap itu nafkah. Itu sekedar hadiah dari seorang paman pada keponakannya. Uang yang semalam Soni berikan padaku, aku simpan di celengan Shanum. Jumlahnya memang lumayan, meskipun recehan. "Ranum, mau lanjut buka toko?" Aku menoleh ke arah pintu ruko. Di sana seorang pria dengan perut buncit berdiri berkacak pinggang. "Iya, Pak Aji. Bismillah saja, mudah-mudahan masih ada yang percaya sama saya," ujarku dengan senyum hambar. "Iyalah, Num. Anggap saja kecelakaan waktu itu, sebagai ujian yang akan menaikan derajatmu. Dan Pak Aji, sebagai teman bapakmu yang sudah mengenal kamu lama, percaya sama kamu. Kamu bukan wanita murahan. Kalau dipikir pake logika, kenapa harus di sini, di ruko yang masih kotor
"Iya, Umi," jawabku pasti, tapi yang ditunjuk menunduk dalam. "Biarkan Tiara di sini, yang lainnya kembali ke belakang." Umi Marwah memberikan perintah. Pemilik toko kue itu menyuruh karyawannya duduk, dan menceritakan apa yang terjadi sebelum kejadian penggerebekan itu. "Saya, memang memberikan brownies itu pada Mbak ini, Umi. Tapi ... disuruh orang," ucap wanita muda itu sambil menunduk. "Jangan takut, Mbak. Saya, tidak akan menuntut Mbak, asalkan Mbak mau bicara jujur sama saya. Silahkan, ceritakan." Aku mengusap pundak wanita yang terlihat ketakutan itu. Dalam rekaman CCTV pun, aku melihat jika dia hanyalah disuruh. Tapi, aku ingin mendengarnya langsung dan merekam kata-kata dia untuk dijadikan bukti. "Waktu itu, saya melayani pelanggan laki-laki muda. Dia membeli dua brownies lumer cokelat. Transaksi terjadi seperti biasanya. Dia pun pergi, setelah menerima dua wadah kue, beserta uang kembalian. Tidak berapa lama, dia kembali lagi ke sini dan menyuruh saya memberikan satu w
"Ranum, sekarang semuanya sudah jelas. Jelas siapa yang salah, jelas pelakunya, dan jelas-jelas kamu dijebak. Jadi, akhiri pernikahan kalian," ujar Ibu seraya melihatku dan Soni bergantian. Setelah dari kantor polisi, aku kembali ke ruko yang ternyata sudah beres dibersihkan. Sudah dicat dengan warna yang kuinginkan, meskipun hanya bagian bawahnya saja. Dan sekarang, lagi-lagi Ibu memintaku memutuskan pernikahan yang terjadi antara aku dan Soni. Aku diam. Tidak bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. "Bu .... Astaghfirullahaladzim, Ibu!" ujar Bapak seraya menyimpan sendok dengan lumayan kasar pada kotak nasi yang berada di depannya. Saat ini, kami memang sedang makan siang. Namun, suasana menjadi tidak nyaman ketika Ibu berucap demikian. Apalagi wajah Soni yang berubah murung dengan tidak lagi melanjutkan suapannya. Rasa bersalah menyelusup ke dalam sanubari pada lelaki itu. Pasalnya, tadi dia terlihat begitu lahap makan setelah bekerja keras membantu Bapak mengecat ulang di
"Soni ... kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Aku yakin, di luaran sana banyak wanita yang mau dijadikan istri olehmu.""Tapi, aku maunya kamu, Mbak. Kalau aku mau sama yang lain, mungkin sudah aku lakukan sejak dulu. Ini bukan tentang mau atau tidak mau, tapi ini tentang perasaan. Hatiku memilihmu, Mbak. Kamu, yang aku inginkan," ujar Soni. Tidak ada keraguan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Dia yakin, tapi aku yang ragu. Bisakah Soni menjadi imamku? Bisakah dia menjadi pemimpin yang membawaku dalam kebahagian? Bukan hanya dunia, tapi juga akhirat?Aku memalingkan wajah saat sorot netranya tak lepas dariku. Keningnya berkerut menyimpan sejuta angan dalam benak. "Aku gak cinta sama kamu, Son.""Enggak apa-apa. Aku tidak keberatan tidak dicintai. Ya, emang terdengar bodoh, tapi aku nikmatin kebodohan ini. Aku mohon, Mbak ... kita jangan pisah. Aku janji, aku akan kerja keras untuk bisa menghidupi Mbak dan Shanum. Kerja apa pun aku mau, asal kamu tetap jadi istriku, M
Aku bergeming dengan pikiran yang bercabang. Pergi menenangkan Ibu, atau mengejar Bapak untuk meminta penjelasan? Setelah diam seperti patung, akhirnya aku memilih menenangkan Ibu terlebih dahulu. Kulangkahkan kaki masuk ke dapur dan langsung mengambil panci yang tadi dilemparkan Ibu. Sedangkan orang yang tadi ngamuk, kini duduk di kursi meja makan dengan dada yang kembang kempis. "Minum dulu, Bu." Aku memberikan satu gelas air putih pada wanitaku itu. "Sudah lama kamu di sini?" tanya Ibu kemudian. Aku mengangguk. Dan suasana hening saat aku dan Ibu tidak mengucapkan satu patah kata pun. Aku bingung untuk bicara apa, takut juga akan membuat perasaan Ibu semakin terluka jika membicarakan tentang pernikahanku. Kata-kata Bapak terngiang di telinga. Kata ancaman itu sungguh mengganggu, membuatku ingin tahu alasan Bapak dengan mengatakan itu padaku. "Ranum.""Iya, Bu?" "Kamu tahu, apa yang Ibu, dan Bapakmu perdebatkan?" "Pernikahan Ranum dengan Soni.""Semua keputusan ada padamu,
Aku mengangguk. "Bismillah," ucapku. "Yasudahlah, jika pilihanmu laki-laki seperti dia, Ibu bisa apa? Mudah-mudahan kali ini pilihanmu benar, Ranum."Aku mengaminkan dalam hati. Sebenarnya aku pun ragu, tapi sudah terlanjur. Apalagi ucapan Bapak masih begitu terdengar ambigu. Aku harus tahu kenapa Bapak kekeh untuk aku tidak boleh berpisah dari Soni. Dia benar-benar malu karena anaknya ini kawin cerai, atau ada hal lain? "Bapakmu pasti senang, karena menang dari Ibu."Aku sedikit melebarkan mata menatap Ibu. Wanita memang tidak mau kalah dari para lelaki.Setelah mendapatkan restu dari Ibu, kini aku mencari Bapak untuk mendapatkan jawaban darinya tentang ucapan yang mencengangkan. Ancaman yang tidak pernah kusangkakan akan terlontar dari bibir Bapak. Saat aku keluar, sudah tidak ada mobil Bapak di halaman. Itu artinya, Bapak sudah pergi. Ke mana? Toko? Mungkin. Tapi, rasanya hatiku belum tenang jika belum mendapat jawaban dari pertanyaan yang ada dalam benak. Aku pun pamit pad
Di balik punggung seorang pria, aku duduk dengan angan terbang melayang tinggi. Hatiku kembali perih oleh tajamnya belati yang menggores hati. Lidah Mas Sandi laksana pedang yang menikam sanubari. Sakit dan perihnya menjalar sampai ke ulu hati. Kenapa harus sekarang dia mengambil fasilitas yang dulu dia berikan dengan sesuka hati. Bukankah aku pernah menawarkannya sejak saat dia mengucapkan kata talak? Kenapa waktu itu mengatakan untuk Shanum, jika sekarang menariknya kembali? Aku mengusap dada seraya berucap istighfar di dalam hati. Mungkin sudah bukan rezeki. Memang seharusnya aku tidak lagi memakai apa pun yang berkaitan dengannya. Ah, tololnya aku masih saja merasa sakit hati dengan perlakuan pria itu. "Hujan, Mbak. Mau neduh dulu?" ujar Soni dengan sedikit berteriak. Air dari langit mulai berjatuhan menerpa kulit tangan. Jejaknya jelas terlihat di jaket milik Soni yang melekat pada tubuhku. "Lanjut saja, Son. Aku ingin segera sampai rumah.""Oke. Pegangan, ya?" ujar Soni
Tidak ingin terus mendengar mereka bertengkar seraya menikmati teh di bale-bale, aku menyuruh Soni untuk masuk ke rumah dan berganti pakaian. Sesuai perintah Bapak. Aku pun mengambil kaus serta celana training yang biasa Bapak pakai. Lalu memberikannya pada Soni yang hendak pergi ke kamar mandi. Selagi Soni mandi, aku berganti pakaian di kamar. Karena memang hanya ada satu kamar mandi di rumah ini. Setelah selesai, aku ke dapur untuk membuat minuman hangat. Satu gelas susu jahe sudah terhidang di atas meja. Dan ... satu kopi hitam pun tak luput dari perhatianku. Aku mengangkat sebelah bibir dengan pandangan lurus pada kopi hitam yang masih mengepul. Baik hati sekali aku yang ingat akan kopi kegemaran Soni? Ah, hanya bentuk rasa terima kasih. "Num, cucu Ibu gak ikut pulang?" tanya Ibu seraya menghenyakkan bokong pada kursi."Tidak, Bu. Katanya mau nginap di sana.""Tumben sekali? Kenapa kamu biarin? Kalau si Sandi mencuci otak Shanum, gimana? Nanti dia jadi gak pulang ke sini da
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism