"Sini!" Mbak Giska menggenggam jam tangan itu. "Makasih ya," ucap Mbak Giska, kemudian memasukkan kembali jam tersebut ke dalam tasnya. Tangannya begitu cepat meraih benda yang disebut-sebut pemberian dari Eric."Kita pulang yuk! Sore nanti ke Malioboro," ajak Mbak Giska. Ia melambaikan tangan ke arah di mana Adnan muncul. Aku terdiam seketika, tidak berani menyecarnya, Mbak Giska merahasiakannya dariku, mungkin memang ingin hal ini menjadi privasinya.Kami berjalan menuju parkiran. Mbak Giska tidak banyak bicara, ia lebih sering diam dan fokus menuju mobil. "Kenapa jadi diem-dieman gini?" tanya Adnan saat membukakan pintu mobil."Ah nggak apa-apa, karena tidak ada yang perlu dibahas aja," celetuk Mbak Giska.Ternyata kebiasaannya saat bisu dulu kini terbawa, ia merahasiakan sesuatu hal yang besar selama tiga tahun, dan masalah itu akhirnya ia ungkapkan setelah hampir hancur. Akankah Mbak Giska kembali melakukan hal itu? Ia akan menceritakan semua tentang Eric setelah menjadi masala
Aku terkesiap saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Mbak Giska datang sambil menggosok rambutnya yang basah dengan menggunakan handuk putih. Aku tersenyum saat melihat wanita yang sebenarnya sudah hijrah, berhubung kami hanya bertiga, jadi ia tidak malu membuka hijabnya."Kenapa handphoneku ada di situ?" Mbak Giska kelihatan sangat curiga."Tadi Eric telepon, tuh ada beberapa kali panggilan tak terjawab," sahut Tante Soraya."Iya, Mbak. Betul kata Tante Soraya," sambungku.Mbak Giska sontak meraih ponselnya dengan cepat, lalu membuka pesan dari Eric. Namun, aku tidak melihatnya membalas chat darinya."Hm, sering gitu Eric, telepon dan kirim pesan nggak jelas," cetus Mbak Giska. Ia kembali melempar ponselnya, kemudian bersolek di depan kaca, Mbak Giska bersikap biasa saat kulihat tangannya menghapus isi pesannya.Sedangkan Tante Soraya, ia meraih punggung tangan ini, lalu bangkit dan menyeretku. "Mandi kamu, Nurma, malah bengong!" perintahnya membuatku tertawa."Nggak tahan dengan
"Helen, angkat nggak ya? Aku sudah tidak ingin ikut campur dalam urusan balas dendamnya dengan Mas Firman," ungkap Mbak Giska. Ternyata penelepon barusan adalah Helen, wanita yang mau membalas rasa sakit hati sang kakak."Urusan kita memang sudah selesai, mengantarkan beliau ke Pak Firman, jadi saran saja tidak usah diangkat," timpal Adnan.Akhirnya Mbak Giska mematikan panggilan masuk dari Helen. Aku dan Tante Soraya sempat saling beradu pandang. Apa mungkin perasaanku dan beliau itu sama? Ya, dalam hatiku sangat mengkhawatirkan jika Mbak Giska menjauh, akan menjadi ancaman untuk dirinya sendiri. Helen, wanita yang penuh dendam itu bakal kecewa berat atas sikap yang dilakukan Mbak Giska saat ini."Giska, kenapa nggak angkat lalu bilang lagi jalan-jalan gitu, dengan begitu Helen tidak berprasangka buruk. Ketimbang dimatikan seperti yang kamu lakukan, Tante rasa itu lebih menyakitkan," jelas Tante Soraya.Mbak Giska terdiam. Ia merapikan hijabnya yang sedikit berantakan, ia berusaha me
"Airin kenapa? Aku tidak ada urusan lagi dengannya," jawab Mbak Giska dengan penuh ketegasan."Ya, aku paham, tapi tadi dia membuntutiku bersama wanita yang ada di ruangan itu," terang Helen. Mungkin yang dimaksud adalah Tuti. Mereka memang selalu berdua dalam melakukan apa pun."Terus? Maaf Helen, aku rasa tugas kami semua sudah selesai, mempertemukan kamu dengan Mas Firman, lantas untuk kelanjutannya, aku rasa tidak perlu ada laporan lagi," kecam Mbak Giska.Meskipun speaker diaktifkan, tapi kami berusaha untuk tidak bicara. Sebab, tidak ingin ketahuan juga bahwa kami tengah mendengarkan cerita dari Helen."Oh, jadi begini ya sikapmu? Padahal aku ini pahlawan loh untuk kamu, Giska," timpal Helen.Mbak Giska mengelus keningnya, ia tampak tidak bersemangat meladeni Helen."Astaghfirullah, Helen, sebelumnya aku minta maaf, tapi tidak ada yang meminta kamu untuk membantuku balas dendam, bukankah ini semua keinginanmu? Lantas haruskah aku ikut serta dan terlibat dalam hal ini? Nggak kan!
"Hm, kan sebelum tidur Mbak Giska cerita kalau kamu marah karena Airin, makanya aku sebagai adik memohon maaf karena semalam mungkin Mbak Giska kelelahan," sahutku saat ia bertanya detail."Kenapa nggak Giska aja yang minta maaf?" tanya Helen. "Gini aja deh, aku maafin, tapi dengan syarat ke rumah sakit jiwa di mana tempat kakakku mendapatkan perawatan, setelah ini akan aku share lokasinya," sambung Helen. Aku terdiam sejenak, sebab belum ada obrolan mengenai ini. Jika aku menyetujui dan sepakat akan syarat yang ia lontarkan. Maka itu artinya Mbak Giska harus mau ikut ke rumah sakit. "Kok diam?" Helen menegurku lagi."Aku tanya Mbak Giska dan Tante Soraya dulu ya," jawabku."Terserah sih, kalau nggak mau, artinya kalian juga akan masuk ke barisan Firman," ancamnya. Benar dugaanku, orang yang diselimuti dendam,akan selalu kotor hatinya, ia bakal membalas siapa saja yang menyakitinya."Aku tetap harus minta pendapat Mbak Giska dulu," jawabku kemudian mematikan sambungan telepon dariny
Aku angkat atau tidak telepon dari wanita itu? Ingin angkat tapi terbayang selalu perlakuannya terhadap kami berdua. Tidak diangkat rasa penasaran pun semakin menjadi."Halo," ucapku akhirnya mengangkat teleponnya."Lama banget angkat teleponnya, nunggu aba-aba dari Helen? Atau Giska? Ah kalian semua itu orang munafik yang sok suci, padahal semuanya sama," umpat Airin membuatku ingin menutup teleponnya."Kamu itu bisa sopan sedikit nggak?" Aku mencoba meredam emosi."Kamu pikir kami nggak tahu?" tanya Airin."Nggak usah banyak bicara, jadi apa maumu hubungi aku?" "Tidak ada, aku cuma mau bilang, stop memperkenalkan Helen pada Mas Firman, aku dengar kamu lah dalangnya," timpal Airin membuatku terperangah. "Aku dalang? Aku memperkenalkan Helen? Dari mana kamu bisa berpikir seperti itu?" tanyaku karena benar-benar penasaran.Sementara itu, mata Mbak Giska dan Tante Soraya menyorotiku. Ia seakan menyuruhku berhenti bicara dengan Airin."Iya, aku ini tahu dari Helen, dia tengah bicara de
Bertanya pada penjaga bukan cara efektif untuk mengetahui pasien yang baru saja masuk. Orang administrasi yang lebih tahu akan hal ini. Jadi, kami memutuskan untuk masuk ke dalam."Kalau begitu, kami masuk dulu ya, Pak," ucapku sambil menundukkan kepala sebagai rasa hormat terhadap yang lebih tua.Kemudian kami melangkah ke dalam. Mencari di mana administrasi yang menangani pasien. "Kita ini kayak detektif, mau liburan jadi seperti ini. Aduh kapan ya longgar nih pikiran?" Tante Soraya mengeluhkan masalah ini."Iya, aku ini heran kok kita mau aja ya disuruh datang ke sini sama Helen?" Aku menyambung obrolan Tante Soraya. Sedangkan Mbak Giska, menghentikan ayunan kakinya. Ia menoleh ke arah kami berdua secara bergantian."Adnan nggak ikut ya?" tanya Mbak Giska tiba-tiba. Ia teringat orang'kepercayaannya itu. "Seharusnya kita ke sini minta pendapat Adnan dulu, kan dia yang selalu beri pendapat," sambung Mbak Giska.Padahal dari awal yang antar kami memang Pak Heru, sebab Adnan akan bera
Aku melangkah maju ke arah wanita berdagu lancip itu. Ia menoleh dan memperhatikan kami dengan pandangan kosong. Manik matanya berpindah dari arah Mbak Giska ke arahku lalu sampai pada Tante Soraya. Bibir seksi wanita itu basah saat melihat kami semakin mendekatinya."Kalian siapa? Mau kalian ini apa?" Aku mencerna pertanyaan darinya.Tidak ada satu pun dari kami yang menyahutinya, kami semua sibuk menyorot wajah cantik wanita yang nasibnya lebih buruk dari aku dan Mbak Giska."Sella ini tenang, ia hanya ingin mengulang kembali ke masa lalu. Dia butuh teman untuk meyakinkan bahwa ini semua adalah takdir Tuhan yang tidak dapat dicegah," ungkap Bu Tira saat mengantarkan kami ke kamar Sella."Oh, tapi dia tidak takut orang?" tanyaku penasaran. Sebab, biasanya rasa trauma membuat orang lain tidak ingin melihat siapa pun.Bu Tira menggelengkan kepalanya, lalu ia tersenyum. "Ya, menurut adik kandungnya, beliau tidak takut orang, hanya saja selalu menginginkan papanya kembali," tuturnya.Aku
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya