Aku angkat atau tidak telepon dari wanita itu? Ingin angkat tapi terbayang selalu perlakuannya terhadap kami berdua. Tidak diangkat rasa penasaran pun semakin menjadi."Halo," ucapku akhirnya mengangkat teleponnya."Lama banget angkat teleponnya, nunggu aba-aba dari Helen? Atau Giska? Ah kalian semua itu orang munafik yang sok suci, padahal semuanya sama," umpat Airin membuatku ingin menutup teleponnya."Kamu itu bisa sopan sedikit nggak?" Aku mencoba meredam emosi."Kamu pikir kami nggak tahu?" tanya Airin."Nggak usah banyak bicara, jadi apa maumu hubungi aku?" "Tidak ada, aku cuma mau bilang, stop memperkenalkan Helen pada Mas Firman, aku dengar kamu lah dalangnya," timpal Airin membuatku terperangah. "Aku dalang? Aku memperkenalkan Helen? Dari mana kamu bisa berpikir seperti itu?" tanyaku karena benar-benar penasaran.Sementara itu, mata Mbak Giska dan Tante Soraya menyorotiku. Ia seakan menyuruhku berhenti bicara dengan Airin."Iya, aku ini tahu dari Helen, dia tengah bicara de
Bertanya pada penjaga bukan cara efektif untuk mengetahui pasien yang baru saja masuk. Orang administrasi yang lebih tahu akan hal ini. Jadi, kami memutuskan untuk masuk ke dalam."Kalau begitu, kami masuk dulu ya, Pak," ucapku sambil menundukkan kepala sebagai rasa hormat terhadap yang lebih tua.Kemudian kami melangkah ke dalam. Mencari di mana administrasi yang menangani pasien. "Kita ini kayak detektif, mau liburan jadi seperti ini. Aduh kapan ya longgar nih pikiran?" Tante Soraya mengeluhkan masalah ini."Iya, aku ini heran kok kita mau aja ya disuruh datang ke sini sama Helen?" Aku menyambung obrolan Tante Soraya. Sedangkan Mbak Giska, menghentikan ayunan kakinya. Ia menoleh ke arah kami berdua secara bergantian."Adnan nggak ikut ya?" tanya Mbak Giska tiba-tiba. Ia teringat orang'kepercayaannya itu. "Seharusnya kita ke sini minta pendapat Adnan dulu, kan dia yang selalu beri pendapat," sambung Mbak Giska.Padahal dari awal yang antar kami memang Pak Heru, sebab Adnan akan bera
Aku melangkah maju ke arah wanita berdagu lancip itu. Ia menoleh dan memperhatikan kami dengan pandangan kosong. Manik matanya berpindah dari arah Mbak Giska ke arahku lalu sampai pada Tante Soraya. Bibir seksi wanita itu basah saat melihat kami semakin mendekatinya."Kalian siapa? Mau kalian ini apa?" Aku mencerna pertanyaan darinya.Tidak ada satu pun dari kami yang menyahutinya, kami semua sibuk menyorot wajah cantik wanita yang nasibnya lebih buruk dari aku dan Mbak Giska."Sella ini tenang, ia hanya ingin mengulang kembali ke masa lalu. Dia butuh teman untuk meyakinkan bahwa ini semua adalah takdir Tuhan yang tidak dapat dicegah," ungkap Bu Tira saat mengantarkan kami ke kamar Sella."Oh, tapi dia tidak takut orang?" tanyaku penasaran. Sebab, biasanya rasa trauma membuat orang lain tidak ingin melihat siapa pun.Bu Tira menggelengkan kepalanya, lalu ia tersenyum. "Ya, menurut adik kandungnya, beliau tidak takut orang, hanya saja selalu menginginkan papanya kembali," tuturnya.Aku
Sella membelai pipi Mbak Giska, ia terus menatap wajah Mbak Giska dengan disertai mata yang berair."Kamu pakai hijab, pantas saja Mas Firman bersikeras mempertahankanmu," ucap Sella.Aku terkesiap mendengar penuturannya. Ini tidak salah dengar? Artinya hubungan itu terjadi saat Mbak Giska sudah bersama Mas Firman. Benar-benar gila laki-laki itu. Suka sekali bermain dengan perasaan wanita. Ia menjelajahi semua wanita, lalu Airin, apakah ia tahu tentang hal ini? Wanita itu terlalu percaya diri, menurut Airin, Mas Firman sangat mencintainya dan tidak akan bisa lepas darinya, tapi kenyataan yang kulihat justru laki-laki itu memang buaya darat.Mbak Giska meraih tangannya. Lalu membawa wanita itu duduk di sofa yang berwarna merah.Ia duduk di sebelah Mbak Giska, sedangkan aku dan Bu Tira tetap berdiri di hadapan mereka berdua."Aku ini baru berhijab, selama tiga tahun aku lumpuh dan bisu, jadi mungkin yang dimaksud oleh Mas Firman terhadap kamu adalah Airin," ungkap Mbak Giska."Airin, wa
Wanita itu balik badan, terlihat dokter itu adalah benar Yunna, temanku yang bertunangan dengan Eric. Aku benar-benar tidak menyangka bertemu dengannya di sini. Sebelumnya memang ia menghubungi dan bilang akan nyusul tunangannya ke Jogjakarta, tapi aku tidak menyangka ia ke sini bersama sepupunya yaitu Sella.Bukan hanya aku yang terkejut, Mbak Giska, Tante Soraya pun sama. Mereka terperangah melihat kedatangan Yunna. Aku melihat mata keduanya membuka lebar saat melihat kedatangan Yunna."Wah, Nurma, kalian di sini?" Yunna pun terkejut melihatku ia melangkah dan memelukku. "Dunia sempit amat, aku ini mau nyusul kalian tapi malah ketemu di sini," tambahnya lagi.Aku tersenyum, masih shock karena ternyata Yunna sepupunya Helen dan Sella. Tante Soraya juga terlihat menyorotku dan Yunna yang tengah bicara akrab. Aku rasa hal yang wajar kalau kami kaget dengan menyaksikan kejadian ini."Eh kalian ini kenal dengan Mbak Sella dan Mbak Helen?" tanya Yunna. Ternyata ia sepupu tapi mungkin ora
"Ya, kami pulang duluan ya, sampai ketemu kapan-kapan," ucap Mbak Giska sambil menepuk bahu Eric.Kemudian, kami bergegas meninggalkan rumah sakit kecil yang dikhususkan untuk para penderita gangguan jiwa. Sejujurnya melihat Sella bicara tadi, aku rasa ia hanya tertekan dan sebenarnya bisa sembuh asalkan sabar dalam merawatnya. Mungkin selama ini Helen langsung membawanya ke rehabilitasi khusus penderita gangguan jiwa. Jadi, ia terbawa pasien yang lain dan aku rasa itu yang menyebabkan Sella tidak ada perkembangan. Atau kalau tidak, ia masih ada beban pada Mbak Giska, sehingga saat bertemu dengannya, beban itu terasa berkurang."Kenapa bengong?" Tante Soraya mendadak mengejutkan Mbak Giska yang hampir jatuh karena tidak lihat lubang di depannya."Nggak apa-apa, Tante. Aku kepikiran Sella," jawab Mbak Giska sambil kembali jalan."Lubang sampai nggak tahu gitu, cuma gara-gara mikirin Sella, kan kamu bilang kita tidak ada lagi urusan dengannya," timpal Tante Soraya.Kemudian, Mbak Giska
"Jadi kita mau ke mana? Bandara atau ke rumah sakit?" Aku bertanya pada Mbak Giska."Kita ke Bandara juga percuma, kalau Adnan nggak ada mau nganter siapa?" Mbak Giska bicara dengan wajah gelisah, kelihatan sekali saat ia menggigit bibirnya seraya mencemaskan seseorang. Apa kakak maduku mencintai Adnan?Sopir diperintahkan untuk melaju dengan kecepatan sedang. Sebab, kami masih ragu mau ke mana saat ini. Sementara aku terus mencari Adnan melalui sosial media. Khawatir juga terjadi sesuatu dengannya.Menit jam terus berlalu, arah tujuan pun jadi tak jelas. Tiba-tiba ponsel Mbak Giska berdering kembali. Saat itulah wajahnya berubah menjadi bersinar. "Adnan nih telepon. Akhirnya," ucap Mbak Giska seraya lega.Aku dan Tante Soraya pun sama, menghela napas sambil tersenyum karena sudah tenang perihal Adnan yang sudah menghubungi balik Mbak Giska."Speaker aktifin, Giska, mungkin Nurma mau dengar," ledek Tante Soraya.Mbak Giska mengindahkan ucapan tantenya. Aku menautkan kedua alis karena
"Memang ini keluarga Ibu ya?" tanya polisi menginterogasi."Sepertinya iya, wajahnya tadi mirip dengan mantan pembantu saya yang di Jakarta." Mbak Giska menjawab pertanyaan polisi."Wah sayangnya KTP dan lainnya tidak ada, Bu. Jadi korban kecelakaan dikabarkan kecopetan dan ketabrak mobil saat mengejar copet," terang polisi.Itu artinya kami tidak bisa mengenal apakah itu Mbok Tuti atau bukan kecuali proses visum."Tapi kalau mau lihat wajahnya silakan, siapa tahu kelihatan ciri-cirinya dan kami akan meminta tambahan bukti foto yang kalian miliki," tambah petugas kepolisian.Kemudian, kami membuka wajah yang masih dipenuhi darah, Tante Soraya dan Mbak Giska terkejut bahwa yang dilihat kami ternyata wajahnya nyaris tak kelihatan.Helaan napas terdengar dari arah Mbak Giska. "Kita tidak bisa memastikan ini Tuti atau bukan. Wajahnya hampir tak terkenali," kata Mbak Giska."Darahnya bisa lap sedikit nggak ya, Pak? Biar kami bisa memastikan," tanya Tante Soraya.Polisi saling menoleh, tapi
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya