Wanita itu meletakkan ponselnya ke telinga, lalu ia diam beberapa detik."Nggak ada jawaban," kata Airin sambil berdecak kesal. "Pelakor itu sengaja nggak angkat telepon dariku, biarin aja, aku akan balas nanti jika Mas Firman udah sembuh," celetuk Airin membuatku gemas. Rasanya ingin menghampiri orang itu, wanita yang menyebut Mbak Giska pelakor, padahal jelas-jelas ia sendiri orangnya.Namun, karena kami tengah bersembunyi, jadi emosi memuncak pun harus ditahan. Aku menoleh sebentar, melihat Mbak Giska yang tengah memegang handphone. Baru ingat kalau tadi tidak ada nada dering yang terdengar saat Airin menghubungi. Mbak Giska menunjuk ke arah layar dengan jari telunjuknya, ternyata sudah disilent. Pantas saja tidak ada nada dering yang masuk saat kedua wanita itu berniat meminta uang."Ya udah yuk! Aku mau jual emas yang Mas Firman berikan tiga tahun lalu, sebagai pelangkah," ucap Airin lagi membuatku bertambah panas. Ia bilang sebagai pelangkah? Memang dia siapa sampai minta jatah
"Loh ternyata kalian!" Akhirnya ketahuan juga, padahal dari rumah sakit, kami sudah waspada. Aku bangkit dari duduk, tapi tangan Mbak Giska mencekal pergelangan tanganku. Matanya dikedipkan seakan menyuruhku untuk tetap duduk. Akhirnya aku menahan emosi yang sudah meledak. Mbak Giska tersenyum padaku membuat dahi ini sedikit mengerut.Kemudian, tangannya mempersilakan Airin duduk, Mbak Giska melakukan itu. Ya, meminta selingkuhan suami kami duduk bersama di satu meja makan."Duduklah, biar tidak ada suara keras lagi, ngobrol-ngobrol santai," suruh Mbak Giska.Aku beradu pandang dengan wanita paruh baya, yaitu Tante Soraya. Dagu ini sedikit mendongak seakan bertanya padanya. Namun, Tante Soraya hanya menaikkan bahunya.Airin terdengar berdecak, ia duduk dengan wajah sombong. "Pantas saja aku hubungi kamu tapi tidak ada jawaban," tutur Airin. "Ya, aku belum lihat handphone, ada apa?" tanya Mbak Giska. Aku semakin keheranan dibuatnya, ada apa gerangan hingga ia menurunkan egonya di de
Setelah Mbak Giska menutup panggilan telepon, ia menyorotku dengan senyum. Manik matanya seolah tidak ada beban dan masalah, Mbak Giska terlihat baik-baik saja."Bingung?" Mbak Giska mengusap pipi ini dengan lembut. "Kamu nggak usah bingung. Adnan ke sini itu sebenarnya sudah kasih info dari semalam, walaupun dia tidak bilang bahwa Mas Firman berada di rumah sakit yang sama dengan Pak Heru, tapi aku tahu kalau hari ini ia melakukan operasi. Ada yang kamu tidak tahu juga, bahwa ada seorang wanita di Jakarta yang berutang budi pada Mas Firman, ia mengirimkan sejumlah uang pada Adnan, dan itu alasannya aku memberikan dua puluh juta pada Airin. Itu murni uang dari wanita itu," terang Mbak Giska.Aku sedikit terkejut, sebab Mbak Giska tidak bicara soal ini sebelumnya, apa ia sudah tak percaya lagi padaku dan Tante Soraya? "Rasanya aku ingin pulang lagi aja ke kampung, Mbak," timpalku padanya."Loh kenapa? Kamu marah? Kecewa atas tindakan Mbak? Iya?" Wanita yang pernah lumpuh selama tiga t
Kami semua menghampiri wanita tersebut. Kemudian setelah mendekat, Adnan memperkenalkan kami semua. Itu artinya murni perkenalan pertama, tidak ada yang ditutup-tutupi. Ya, mungkin hanya prasangka burukku saja."Ini Bu Giska, dan ini Bu Nurma," ucap Adnan memperkenalkan."Halo, wah dua wanita cantik yang berada di depanku ini sungguh jauh lebih cantik dari foto," pujinya membuat kami saling beradu pandangan."Hm, Tante nggak cantik, ya?" Tante Soraya ikut berkomentar saat pujian itu terlontar. Wanita itu terkekeh sambil menepuk keningnya sendiri. Kemudian, ia menyodorkan tangan untuk berkenalan satu persatu.Kami menyambut tangan mulus wanita yang sepertinya berdarah blasteran. Hidung mancung dan kulit bule membuatku semakin yakin kalau dia bukan wanita asli Indonesia."Saya Helen, kalian duduk dulu dong, makan sebentar, setelah itu kita temui Firman. Sudah dua tahun saya mencari keberadaannya, akhirnya ketemu juga. Ternyata memiliki istri cantik," ungkap wanita itu sekali lagi.Aku
"Sudahlah, lupakan," timpal wanita cantik itu."Bukan main apa, Helen? Bukan main feelingku benar, kan?" Tante Soraya memaksa Helen untuk jujur. Namun, tangan wanita itu dikibaskan sambil tersenyum. "Suatu saat kalian akan tahu ceritanya, dan akan merasa beruntung bertemu denganku." Helen meraih minuman yang ada di dekatnya, lalu menghabiskan jus jeruk yang ada di meja. "Sekali lagi aku katakan, kalian dan aku itu saling menguntungkan, sekarang kita ke kamar inap Firman, sudah di ruangan pasien kan?" Mbak Giska menyorot penuh ke arah Helen, ia terdiam seketika."Jadi benar bukan balas budi?" Mbak Giska memandang dengan tatapan serius.Alis Helen ditautkan, bahunya naik ke atas. "Giska, ayolah, kamu kan tadi sudah sangat berantusias nganterin ke ruangan Firman, kenapa sekarang ragu setelah mendengar tudingan tantemu?" "Ya, aku hanya ingin tahu, Helen, tidak lebih, jika kamu memang mau balas dendam, silakan! Aku tidak pernah mau ikut campur, karena setiap orang punya hak untuk membua
"Kalian!?" Airin berdiri tegak. Posisinya seperti terkejut menatap kami. Matanya berkeliling mengitari wajah yang datang, satu persatu ia tatap dengan mata menyipit.Kamu melangkah lebih maju lagi, menghampiri Mas Firman yang tengah berbaring, kemudian Adnan yang lebih dulu bicara padanya."Bagaimana kondisi Pak Firman?" Adnan membuat lelaki yang sudah menikah dua kali dan rencana menikahi Airin juga itu terperangah."Kamu, Adnan. Kalian bisa sampai sini?" Mas Firman malah bertanya balik."Kami ingin menjenguk, apa tidak boleh?" sambung Tante Soraya."Aneh saja, bukankah kalian ….." Ia belum melanjutkan bicara tapi sudah dipotong oleh Tante Soraya. "Kalian sudah disakiti masih datang peduli?" Tante Soraya bicara dengan alis terangkat.Airin malah tertawa saat Tante Soraya memotong ucapan Mas Firman. "Alah, paling mau ngetawain ya karena tadi aku minta uang? Ya kan?" Airin melipat kedua tangan di atas dada, ia masih kelihatan sombong meskipun sudah kalah."Diam kamu! Saya bicara denga
Namun, ponsel Mbak Giska tiba-tiba berdering. Ia langsung menoleh ke arahku saat melihat layar ponsel."Eric, ngapain nih nelepon aku?" tanyanya seperti enggan menjawab."Angkat aja, Mbak. Siapa tahu penting ngobrolin tentang Pak Heru, yang sempat sakit, kan dia yang nganter pulang," timpalku.Kemudian, Mbak Giska mengangguk, lalu mengusap layar ponselnya. Setelah itu, ia bicara dengan Eric, tunangan temanku, yaitu Yunna.Ia angkat telepon hanya dua menit, setelah itu mematikan kembali sambungan teleponnya dan bicara denganku."Kalian yang ke lobi hotel ya, Eric nunggu di sana," suruh Mbak Giska."Aku, Tante Soraya dan Adnan?" tanyaku heran."Iya, kalian," ucap Mbak Giska. "Aku ngobrol dulu sama Helen, lagian males ketemu Eric," tambah Mbak Giska."Tapi, Bu. Sendirian di rumah sakit, apa nanti nggak bahaya? Ada Tuti dan Airin di sini," celetuk Adnan khawatir."Nggak apa-apa, ada Helen dan ajudannya. Aku ingin bicara serius juga dengannya," jawab Mbak Giska lagi."Emang Eric mau ketemu
"Ini jam tangan kesayangan Mbak Giska, kamu nemu di mana?" tanyaku padanya."Oh, kesayangan ya?" Eric mengangguk dengan disertai senyuman.Aku memalingkan muka, lalu berdecak kesal sambil meraih jam tangan tersebut.Laki-laki yang sebenarnya sudah tunangan dengan temanku sendiri itu agak aneh. Ia malah sibuk dengan kami, sementara wanita yang berada di Jakarta justru ditinggalkan olehnya."Gini doang mau ketemu hanya untuk jam tangan ini?" Aku keberatan dengan ulah yang dilakukan oleh Eric."Maaf ya, Nurma, jadi ngerepotin kalian. Ya udah, setidaknya aku tahu bahwa Giska masih menyimpan hadiah yang aku kasih, kamu pun bilang ini adalah jam kesayangan. Terima kasih Nurma," timpal Eric membuat kedua alisku tertautkan. Bukan hanya aku, Tante Soraya dan Adnan pun memberikan respon yang sama.Kemudian, ia berlalu pergi begitu saja. Setelah tak terlihat lagi raganya, aku dan Tante Soraya saling beradu pandang."Ternyata itu jam pemberian Eric? Hm, pantesan dia sampai mau ketemu, kepedean ka
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya