"Jantungku berdegup kencang, Airin, rasanya sulit menahan hasrat ini," ucap Mas Firman membuat darah ini mendidih. Aku mengelus dada supaya tidak terbakar api cemburu. "Iya, Mas, aku juga rasanya sulit kuungkapkan," balas Airin. Bodohnya aku malah tidak mematikan penyadap suara itu setelah keduanya bercakap mesra, aku terbawa emosi sampai harus mendengarkan sepasang kekasih itu melakukan adegan ranjang. Suara desahan semakin kedengaran tajam di telinga ini. Keduanya saling bersahut-sahutan. Akhirnya jari lentik ini mematikan sambungan penyadap suara pada telepon genggam yang kupegang. Kemudian berdiri dengan dada bergemuruh. "Tenang, Nurma, kamu harus pura-pura santai, supaya berhasil mendapatkan tanda tangan dari suamimu itu," tuturku menenangkan diri sendiri. Aku ambil kertas yang akan ditandatangani Mas Firman, lalu langkah kaki ini melangkah ke kamar Mbak Giska dengan pelan. Ya, supaya Mbok Tuti tidak tahu aku masuk ke kamarnya juga. Mata ini meneliti ke setiap sudut ruanga
"Ya ampun, Non Nurma yang meleng, tapi malah saya yang disalahkan," celetuk Mbok Tuti. Namun, mataku tetap tertuju pada kertas yang ada di dalamnya. Sebab, surat ini adalah berkas penting yang harus kulindungi.Beruntungnya tas yang kupakai kali ini cukup besar, ada resleting juga dan tahan air tentunya. Aku menurunkan bahu sambil tersenyum. "Syukurlah, aman," celetukku keceplosan. Aku menghela napas sambil tersenyum. Mbok Tuti memperhatikanku secara diam-diam. "Apanya yang aman sih? Kok kayaknya bahagia banget?" Mata-mata Mas Firman menyorotiku penuh. "Jangan kepo urusan majikan! Kapan sih kamu bersikap dan bertindak sesuai kodratmu? Yaitu sebagai pembantu!" Aku sengaja bicara seperti itu dengan nada penekanan. "Non Nurma jangan bicara seolah-olah orang kaya raya, ya, Non Nurma tidak tahu kalau saya ini bukan pembantu sembarangan, jangan sampai mulutmu itu saya sumpal dengan kain basah," ancam Mbok Tuti berani. Aku terkekeh mendengar ucapannya. Pembantu berlagak majikan, punya sa
"Saya tidak terlalu dekat sih dengan Firman, bisa dibilang saudara jauh. Makanya tadi agak lupa-lupa ingat wajahmu, terakhir ketemu Firman, Giska, itu pas nikah denganmu," ucapnya sedikit membuat napas ini lega. "Oh gitu, Bapak di sini ketemu siapa?" tanyaku hanya basa-basi. "Abis kumpul sama teman, karena besok saya berangkat ke Yogyakarta, rencananya akan tinggal di sana," jawabnya. Napas ini berhembus begitu saja, bahuku pun sontak menurun karena ucapannya tambah membuatku hilang kekhawatiran. Mataku melirik ke arah Adnan yang berada di dekat notaris. Kami memohon izin pamit pada semuanya, ini supaya tidak banyak yang dibicarakan atau dipertanyakan lagi. Aku pikir kepergok dengan salah seorang sanak keluarga Mas Firman adalah akhir dari segalanya. Cerita yang kusimpan rapat akan meluap begitu saja, namun ternyata perkiraan dan dugaanku salah. Di parkiran, aku pastikan pada Adnan untuk mempercepat semuanya. Sebab, khawatir Mas Firman akan tahu sebelum surat kuasa itu diproses
Aku menelan saliva, rasanya jantung ini benar-benar tak bisa diatur degupannya. Namun, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar sangat keras. Ia bahkan menggedor pintu seperti ingin menggerebek. "Buka nggak!" Aku tahu itu Airin, ia pasti takut kehilangan Mas Firman. Tubuh laki-laki yang sudah wangi itu kembali berdiri, padahal tadi ia sempat menindihku kasar. Namun, setelah mendengar teriakan calon istrinya, suamiku itu begitu takut dan berdiri tegak sempurna sambil mendengus kesal. "Sial," umpat Mas Firman sambil meraih jas dan kemejanya. "Kancingin piyamamu," suruhnya. Aku terduduk sambil merapikan piyama dan rambut yang sedikit berantakan. Sedangkan Mas Firman merapikan kemeja dan jas nya. Setelah itu ia beranjak membuka pintu yang terkunci. Dibukanya daun pintu lebar-lebar, ada Airin yang tengah melipat kedua tangan di atas dada. "Hm, asik ya berduaan di kamar, ngapain aja kalian?" Mata Airin menyorot Mas Firman dengan tatapan sinis. Padahal kami suami istri, justru masih pas
"Nurma! Nurma!" Suara melengking suamiku terdengar memekikkan telinga. Aku segera keluar kamar dan menghampirinya yang tengah sarapan. Langkahku sengaja berlari, sebab ingat pesan Adnan bahwa hari ini aku diperintahkan untuk mencegah Mas Firman ke mana-mana. "Ya, Mas," ucapku dengan napas tersengal-sengal. "Aku mau berangkat, kamu ikut aku ya, kita akan ke pengacara," timpalnya membuatku terdiam lalu menyorot Airin yang tumben tidak marah. "Sudah sana ikut! Mau pemindahan aset tahu. Lagian udah lebih dari seminggu, bahkan hampir satu bulan kan Giska si bisu dan lumpuh itu tidak ada kabarnya, bisa lah minta pengacara langsung pembagian aset warisan, wanita itu kan tidak punya sanak saudara," papar Airin sambil mengunyah sepotong roti yang tengah ia pegang. "Aku sarapan dulu," jawabku sambil melihat jam yang melingkar di tangan ini. "Lima menit," celetuk Mas Firman. "Sepuluh ya, aku ingin minum susu," jawabku agak sedikit manja. Mas Firman langsung duduk pertanda setuju dengan p
"Kenapa tampar aku, Om? Bukankah kita bukan saudara dekat?" tanya Mas Firman, ia memegang pipi yang merah akibat dari tamparan Om nya. Om Candra menghela napasnya, kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Om laki-laki, tahu betul kondisimu dulu seperti apa sebelum menikah dengan Giska, lantas sekarang istrimu menghilang malah menyumpahi ia telah meninggal. Mengatakan ia bisu dan lumpuh dan ...."Om Candra memegang dada sebelah kirinya. Lalu Mas Firman sedikit panik dan membantu melatihnya. Ia menuntun Om Candra ke sofa. Lalu duduk berjejer. "Om Candra baik-baik saja, kan? Apa jantungnya sakit lagi?" tanya Mas Firman sepertinya khawatir sungguhan. "Tolong bawa Om ke rumah sakit, dokter spesialis jantung langganan Om di Jakarta ini, sekitar pukul dua siang nanti beliau praktek," pintanya. Mas Firman menyoroti jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sesekali matanya melirik ke arah Airin sambil mendongak seraya meminta saran. Aku melihat Airin pun menaikkan bahunya, wanita itu me
Aku tidak mengenal wanita itu, parasnya begitu cantik meskipun terlihat sudah berumur, tatanan rambut yang keriting gantung disemir coklat, membuatnya terlihat anggun. Aku menyorotnya dengan tatapan tajam, meneliti dari atas hingga ke bawah sambil berpikir kenapa wanita ini ada di kantor? "Tante Soraya?" Seketika aku menoleh ke arah sumber suara, di mana Mas Firman yang nyeletuk nama tersebut. Soraya? Kenapa Mas Firman kenal sedangkan aku tidak mengenalnya. Mata ini sontak tertuju pada Adnan yang tengah tersenyum bahagia. "Ya, saya datang, Firman," ucapnya seketika itu juga kudengar helaan napas kasar dari mulut Mas Firman. "Kenapa tidak bilang padaku Tante Soraya sudah berada di Jakarta lagi? Aku pikir Tante tidak akan pernah ke Indonesia lagi, bagaimana keluarga? Sehat, kan?" Aku semakin tidak paham dengan apa yang dibicarakan mereka. Siapa Tante Soraya ini? Aku memotong pembicaraan, tanganku menghadang Mas Firman supaya bisa menjelaskan padaku. "Kita bicara di dalam," ajak M
"Ini fitnah, Mas Firman memfitnahku," sanggahku lagi. "Tante Soraya, lebih baik kita singkirkan dulu Nurma dari rumah, bukankah wanita ini tidak ada gunanya?" usul Mas Firman membuatku mengernyitkan dahi."Aku masih ada hak untuk mengelola semuanya ya!" tekanku kasar. Brak! Tante Soraya menggebrak meja kembali. Kemudian, wajahnya dimiringkan fokus ke arahku. "Meeting pagi ini selesai. Kantor ini akan saya tutup untuk sementara, selama saya menyelidiki semuanya, ya tujuh hari lamanya, kalian harus berada di rumah." Keputusan di luar dugaanku. Ternyata ini adalah hal baik. Sekelebat pikiran melintas bahwa semua ini adalah termasuk bagian dari rencana Adnan. Mas Firman menatap Tante Soraya curiga, sesekali ia melirik ke arah Adnan. Lalu terakhir berpindah menatapku. "Apa Tante tidak mau usir Nurma dulu?" tanya Mas Firman. Tante Soraya menggelengkan kepalanya. Kemudian melirik ke arahku. "Jangan sampai wanita ini pergi jauh, kalau ia pelakunya, justru harus dihukum seadil-adilnya,
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya