Silakan Atur Sendiri Uangmu, Mas!
Part 3Alarm ponselku berbunyi, tanpa membuka mata tanganku meraba-raba guna meraih ponsel tersebut.Saat kulihat layar ponsel, ternyata jam menunjukkan pukul setengah lima pagi. Seketika aku teringat oleh pesan Ibu, jika Mas Rudi akan berangkat kerja lebih pagi.Aku menghembuskan napas berat, setelahnya kuusapkan kedua tanganku pada wajahku lalu kusibak selimut yang bertengger di atas tubuhku.Aku tersenyum begitu melihat sisi sampingku tak kutemukan keberadaan Mas Rudi. Itu artinya lelaki itu tak bisa masuk ke dalam kamar. Padahal jelas-jelas kamar ini dilengkapi dua kunci, dan satu kuncinya selalu aku gantung di atas televisi.Aku beringsut dari ranjang lalu berjalan keluar kamar. Kali ini langkahku tertuju ke kamar mandi, tentu untuk membasuh wajahku dan juga mengambil air wudhu.Saat aku melewati ruang keluarga, kulihat Mas Rudi masih berbaring di atas kasur lantai yang ada di depan televisi. Dengkuran halus keluar dari mulutnya.Setelah kulakukan dua rakaat sholat subuh, kuangkat kedua tanganku sebatas dada. Berdoa dan berharap semoga Tuhan berkenan membuka hati suamiku. Menyadarkannya jika sikapnya selama ini sungguh benar-benar keterlaluan.Kuusapkan kedua tanganku pada wajahku setelah sebait doa kuucapkan.Setelah semua kewajibanku selesai, bergegas aku berjalan menuju dapur.Sesuai permintaan suamiku, pagi ini aku membuat menu nasi goreng seafood pesanannya. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan pekerjaanku, kini aku tinggal membuat kopi pahit kesukaan Mas Rudi dan segelas teh hangat untuk ibu mertuaku.Ya, seperti inilah aku. Meskipun dalam keadaan bertengkar dengan suamiku, aku tak pernah melalaikan tugasku. Pun juga dengan mertua."Mana ibu, Nik?" tanya Mas Rudi setelah ia menggeser ke belakang kursi lalu menghenyakkan tubuhnya di sana."Masih mandi, Mas," jawabku."Nasi goreng seafoodnya sudah siap, makanlah. Bukankah kamu harus berangkat pagi?" tanyaku.Kubawa secangkir kopi untuk Mas Rudi dan kuletakkan di depannya.Begitu kopi itu mendarat, ia langsung meraihnya setelah membuka tutup gelasnya.Dengan perlahan ia langsung menyesap kopi pahit itu. Seoalah-olah sedang menikmati rasa pahit yang ia rasa."Aku tuh kerja keras, Nik. Jadi tiap hari kasih makanlah yang enak. Biar sehat, kuat dalam bekerja, jangan tiap hari cuma tempe, tahu, tumis kangkung kayak gitu."Aku mencebikkan bibir. Bagaimana bisa ia meminta makanan enak jika uang yang diberikannya hanyalah sepuluh lembar uang pecahan seratus ribuan?Bukannya aku meremehkan uang segitu, tapi lihatlah, di jaman sekarang semua serba mahal! Bagaimana bisa aku memutar uang satu juta untuk makan enak? Apa dia pikir harga bawang sekilo cuma lima ribu? Apa dia pikir harga daging ayam sekilo cuma tujuh ribu?Entahlah.Pusing kepalaku jika memikirkan sikap suamiku itu.Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan. Aku bergegas bangkit lalu kubuka tudung saji saat kulihat Mas Rudi tengah terfokus pada layar ponselnya.Kupindahkan beberapa centong nasi goreng seafood itu ke piring milik Mas Rudi. Aku tersenyum sinis, entah gimana terkejutnya dia nanti saat melihat isi piringnya yang dipenuhi oleh nasi goreng seafood buatanku pagi ini."Makan, Mas. Jangan hape mulu!" ucapku.Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, setelahnya pandangannya langsung tertuju ke arah piring yang ada di hadapannya.Aku terkikik begitu melihat ekspresi wajahnya. Bagaimana tidak, kedua bola mata itu membelalak sempurna. Bisa tertangkap dengan kedua mataku saat lelaki itu menelan saliva dengan susah payah. Wajahnya seperti terperangah dan tak percaya.Tangan Mas Rudi terulur, meraih salah satu seafood yang ada di piringnya lalu diangkatnya hingga sebatas wajahnya."Kamu nggak salah, Nik? Apa ini?" tanya Mas Rudi dengan nada heran."Apanya yang salah, Mas?""Ini? Kok isi nasi gorengnya kayak gini? Mana seafoodnya?" tanya Mas Rudi sembari menatap ke arahku."Lah itu seafoodnya!""Ini? Ini? Dan ini?" ucapnya sembari menunjukkan ke arahku satu per satu udang rebon, ikan teri dan suwiran ikan asin.Aku terkikik lalu mengangguk."Anggap saja udang rebon itu udang yang gede-gede, ikan teri anggap aja ikan tuna, suwiran ikan asin anggap saja daging gurita," ucapku enteng sembari menahan tawa yang sebenarnya ingin sekali diledakkan.Apalagi saat melihat ekspresi wajah suamiku, rasanya gemes sekali, hingga ingin sekali kutampol wajah itu dengan parutan kelapa."Nik?""Kenapa? Makanlah itu nasi goreng seafoodnya, Mas. Bukankah kamu kerja harus mendapatkan gizi dan nutrisi yang bagus?"Tawa yang sedari tadi kutahan, kini meledak sudah. Bahkan gelak tawaku memenuhi ruangan dapur yang menjadi satu dengan meja makan.Aku terus tertawa dan terkikik hingga membuat perutku terasa kram karena tertawa yang berlebihan."Katanya kemarin kan bikin nasi goreng seafood? Kok isinya cuma ikan teri, udang rebon sama ikan asin sih?" protes Mas Rudi memasang wajah masam."Mas! Kamu pikir harga udang, ikan, dan daging itu sekilo lima ribu?! Enak banget tinggal minta makan ini itu tapi kasih duit cuma segitu. Buat masak nggak cuma butuh bahan lauknya doang, tapi juga bumbu-bumbunya. Mas nggak mungkin kalau nggak tau dong, jika harga cabe saja hampir kayak sekilo harga daging. Syukur-syukur uang segitu cukup buat makan sebulan meskipun sederhana!" ketusku.Terdengar Mas Rudi mendes*h pelan. Ia beralih menatap ke arah piring yang ada di hadapannya."Kalau mau ya makan itu, kalau nggak ya yaudah. Nggak usah dimakan!" lanjutku lagi dengan kesal."Ini masih pagi, kenapa pada ribut? Nggak malu didenger sama tetangga?" Tiba-tiba suara ibu terdengar.Wah, bisa gawat!Semakin ramai lah pagi ini.Aku diserang sama dua orang."Lihatlah, Bu. Masa iya Rudi dikasih sarapan kayak gini?" Mas Rudi menunjukkan piringnya pada Ibu."Katanya kemarin bilangnya bikin nasi goreng seafood, lah, ternyata isinya udah rebon, ikan teri sama suwiran ikan asin!" adu Mas Rudi.Tertangkap dengan mataku sepertinya ibu ingin sekali untuk tertawa. Tetapi ia tahan kuat-kuat, tentu agar tak menyinggung anaknya."Nika? Kamu kasih sarapan kayak gini sama suamimu?""Memangnya ada yang salah dengan apa yang Nika katakan?"Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan."Ikan asin, ikan teri, udang rebon itu hidupnya juga di laut, Mas, Bu. Bukankah itu juga namannya seafood? Makanan dari laut kan artinya? Nggak ada kan yang bilang yang namanya seafood itu cuma udang gede-gede, ikan salmon, tuna, kepiting, sotong atau pun gurita. Jadi nggak salah dong yang Nika semalam tawarkan?" lanjutku yang membuat Mas Rudi semakin terlihat kesal."Harga udang aja sekilo enam puluh ribu. Ya kali kalau uang belanjaku sehari seratus ribu. Kalau mau makan enak, kasih lebih dong!"Aku pun bergegas bangkit dari tempat dudukku lalu melangkah pergi meninggalkan sepasang ibu dan anak itu."Sudahlah, makan itu saja dulu. Besok kan kamu gajian, biar ibuk saja yang atur semuanya. Kalau ibu yang atur, tiap hari kita bisa makan enak, nggak kayak gini." Masih terdengar suara Ibu mertua. Aku hanya mencebikkan bibir lalu melanjutkan langkah kakiku.Silakan Atur Sendiri Uangmu, Mas!Part 4"Masak apa kamu, Nik?" tanya Ibu mertua. Aku tak menolehkan kepala, pendanganku masih tertuju pada sayur yang sedang kumasak di atas kompor. "Masak sayur sop, Bu," sahutku tanpa menoleh. Derap langkah mendekat. "Masak sayur sop, sambal teri sama goreng ikan enak kayaknya, Nik." Kali ini suara Ibu terdengar dari sampingku. Aku melirik sekilas lalu kembali fokus mengaduk sayur sop yang sebentar lagi siap diangkat. "Iya, Bu. Enak banget pastinya. Tapi sayangnya bahannya nggak ada sama sekali. Habis!" ucapku penuh penekanan pada akhir kalimat. "Habis gimana maksud kamu, Nik? Jadi untuk makan siang hanya nasi sama sayur sop aja?" Aku menganggukkan kepala. Membenarkan setiap kata yang diucapkan oleh ibu mertua. "Mana bisa ketelen, Nikaa ...." Ibu menyebut namaku dengan nada panjang dan penuh kegeraman."Kamu tau sendiri kan kalau ibu nggak bisa makan kalau nggak pedes? Kamu ini gimana sih?!" sungut Ibu. Dari nada suaranya, terdengar sekali seda
Silakan Atur Sendiri Uangmu, Mas!Part 5"Nika! Nika! Dimana kamu?" Karena terlalu kerasnya teriakan ibu mertua, hingga aku yang sedang di toilet kamar mandi bisa mendengar suaranya. Bergegas kuselesaikan ritualku di toilet lalu berjalan keluar. "Ada apa sih, Bu? Masih pagi ini," ucapku menemui Ibu mertua yang saat ini sedang berdiri di teras rumah, mungkin tadi ibu mencariku ke luar. Ibu menolehkan kepalanya ke belakang, menghadapku. "Kok belum ada masakan? Kamu nggak masak?" tanya Ibu dengan nada yang sedikit menurun. Aku menggelengkan kepala."Kok nggak masak? Terus suamimu mau berangkat kerja dalam kondisi perut lapar? Istri yang baik itu ....""Istri yang baik, istri yang baik, istri yang baik! Begitu aja terus yang ibu katakan. Kapan ibu bilang ke Mas Rudi suami yang baik itu seperti apa?" Aku memotong ucapan Ibu. Ibu memelototkan kedua bola matanya, ngeri sekali melihatnya. Seolah-olah bola mata itu ingin lepas dari tempatnya. "Bu, kalau Nika masih pegang uang belanja, y
"Nggak, Mas. Makasih. Mas atur sendiri saja nanti, aku tinggal masak." Aku menunjukkan senyum termanisku. Mendengar jawabanku tentu membuat kening Mas Rudi berkerut. "Serius nggak mau?" Binar kebahagiaan terpancar dengan jelas pada wajah itu. Ah, emang benar-benar langka suamiku yang satu ini. Kupikir ia akan membujukku agar menerima uang pemberiannya, akan tetapi di luar prediksiku. Aku menganggukkan kepala dengan yakin, tak lupa pula kutunjukkan senyum termanisku walau sebenarnya gemas sekali pada lelaki itu. Ingin kuuyel-uyel, kubejek-bejek kepalanya hingga menjadi bentuk persegi panjang. "Oh, oke." Mas Rudi memasukkan kembali uang seratus lima puluh ribu itu ke dalam dompetnya. Terlihat gurat kelegaan terpancar dari wajah itu. Lihat saja, Mas, setelah ini kamu akan pusing sendiri mikirin kebutuhan dapur dan sumur. ****Siang ini aku merebahkan tubuhku di depan televisi sembari menyalakan kipas angin. Kali ini aku bisa bertingkah sesuka hatiku. Bagaimana tidak, ibu mertua y
"Begini, Nik. Apa benar kalau kamu ...."Ucapan Mbak Reni terhenti, mungkin ia ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Akan tetapi aku memiliki firasat jika ibu telah mengadu banyak hal padanya. Termasuk soal uang belanja yang diberikan oleh Mas Rudi setiap bulannya. "Apa benar kalau Nika selama ini boros?" sahutku melanjutkan pertanyaan yang sepertinya ingin dilontarkan oleh Mbak Reni. Hening. Beberapa detik terjadi keheningan di antara kami, tak ada jawaban dari seberang sana, hingga akhirnya suara Mbak Reni kembali terdengar menelusup gendang telinga. "Hm, iya. Maaf, bukan maksud Mbak mencampuri urusan kamu, hanya saja Mbak merasa ragu saja dengan apa yang ibu katakan." Tuh, kan!Benar apa yang aku firasatkan. Pasti ibu mengadu yang bukan-bukan. "Kalau boleh tau, Mbak Reni setiap bulannya dikasih uang belanja berapa, Mbak, sama suami Mbak Reni?" tanyaku balik sebelum aku menjawab apa yang ditanyakan oleh Mbak Reni. "Mbak?""Iya." Singkat aku menjawab ucapan Mbak Reni. "Lima j
"Nik, ini tadi udah gajian. Ini jatah buat kamu seperti biasanya." Mas Rudi menyerahkan sebuah amplop coklat berbentuk persegi panjang ke arahku. Aku yang sedang berbaring dengan punggung bersandar di kepala ranjang membenarkan posisi. Aku duduk dengan kedua kaki bersila dan menghadap ke arah Mas Rudi. "Kan aku sudah bilang, biar kamu atur sendiri uangnya, Mas. Ucapanku kemarin bukan hanya untuk uang seratus lima puluh ribu itu saja, tapi untuk bulan-bulan berikutnya," ucapku tanpa sedikitpun rasa ragu. Bahkan sengaja kubuat setenang mungkin. "Tapi Mas malu, Nik, kalau tiap hari harus belanja ke warung itu. Apalagi selalu barengan sama ibu-ibu lainnya. Saat Mas sedang belanja, mereka saling bisik-bisik tau nggak sih. Mas ngerasa risih, Mas rasa mereka seperti membicarakan Mas loh," ucap Mas Rudi. Aku tersenyum samar. Ya jelas ditertawakan lah, Mas. Urusan dapur itu pekerjaan seorang istri, lah ini malah suaminya yang mengambil alih. "Memangnya kamu ada yang nanyain kenapa jadi
Hari yang kutunggu-tunggu telah tiba. Yaitu tanggal empat. Tanggal di mana aku setiap bulannya menerima gaji dari hasilku menulis. Bulan-bulan sebelumnya, setiap bulan aku hanya mendapatkan lima ratus ribu, berbeda dengan bulan ini. Kali ini aku mendapatkan lebih banyak trasnferan yaitu satu juta dua ratus. Bukan hanya nominal yang semakin banyak yang membuatku girang, tetapi uang sebanyak ini bisa kugunakan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Ya, tekadku sudah bulat. Aku tak mau menggunakan uang ini untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, tapi kugunakan untuk diriku sendiri. Rasanya aku sudah rindu sekali makan sate ayam, minum jus alpukat dingin dan juga membeli aneka cemilan di aprilmart. Kali ini aku akan membeli makanan apapun yang sejak dulu hanya bisa kubayangkan. Kupikir setelah semua keuangan diambil alih oleh Mas Rudi, maka aku bisa makan enak setiap harinya. Ternyata nggak jauh beda. Hanya saja, beban berat yang sempat menindih pundakku kini lenyap tak bersisa. Aku men
"Kamu ini loh, Nik, kok bisa-bisanya bikin malu! Minta traktir sama tetangga. Kayak-kayak kamu tuh nggak pernah dikasih makan enak aja sama suamimu! Malu-maluin!"Kedua bola mataku membulat sempurna begitu mendengar ucapan ibu. Bisa-bisanya ia mengucapkan kalimat seperti itu. "Lah, emang Ibu pernah lihat Nika makan enak? Jangankan untuk makan enak, Bu. Bisa makan sehari tiga kali sampai perut kenyang aja jarang-jarang," celetukku yang seketika membuat langkah ibu yang ada di depanku terhenti. Perempuan paruh baya itu memutar tubuh hingga akhirnya kami saling berhadapan. "Kamu ini kalau dibilangin jawab aja mulu, Nik!" sungut Ibu. Tanpa menjawab ucapannya, bergegas aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti menuju ke arah dapur. Kubuang semua bekas-bekas makanan tadi, tak lupa aku membawa sekantong cemilan itu menuju ke kamar. "Nika, tunggu!" Suara Ibu kembali membuat tanganku yang akan membuka pintu terhenti. Aku menolehkan kepala lalu berkata,"Ada apa, Bu?" Kulihat ibu melang
"Nggak usah, Mas. Aku tak akan ambil seribu rupiah pun uang di dalam laci. Jadi, jangan khawatir," ucapku penuh dengan nada kecewa."Halah, kebiasaan! Gitu aja marah. Udah, aku mau kerja dulu, hati-hati perginya, jangan lama-lama di sana," ucap Mas Rudi. "Hm ...."Panggilan akhirnya kumatikan. Setelahnya aku kembali memasukkan ponsel di dalam tas sandang milikku. Begitu kurasa semua sudah masuk, aku melangkah keluar dengan tas sandang kutenteng di tangan kananku. Aku melangkah menuju ke kamar ibu, sebab aku yakin jika saat ini Ibu tengah mengistirahatkan tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan lumayan jauh. Tok!Tok!Tok!"Bu ...," panggilku. "Ada apa?" teriak Ibu dari dalam sana, hingga tak berselang lama terdengar suara derap langkah, hingga sepersekian detik kemudian pintu kamar terbuka. Saat pintu terbuka dan kini ibu sudah berdiri di depanku. Terlihat manik hitam milik Ibu tertuju pada tas yang kubawa lalu beralih menatapku dengan kening yang berkerut. "Bu, Nika mau pu