“Orang-orang pasar telah bersaksi, Paduko,” kata si Balam Putiah. “Memang mereka mengakui, mereka telah memukuli kesebelas orang itu, tapi mereka tidak mengetahui apakah ketika itu kesebelasnya sudah mati atau hanya pingsan belaka.”“Begitu, ya?” Paling tidak, Rajo Bungsu sudah dapat menerka ke mana arah pembicaraan tersebut.“Mereka juga mengatakan,” ujar si Balam Putiah. “Bahwa pada peristiwa beberapa hari yang lalu itu, Talago dan gadis yang bersamanya itu sengaja membuat orang-orang itu terkapar setelah tidak dapat membuktikan tuduhan atas perilaku hina keduanya.”“Lorana!” si Kumbang Janti sudah tidak dapat lagi membendung kekesalannya. “Ada dendam apa kau kepadaku, hah?!”“Talago!” Rajo Bungsu bahkan sampai terlonjak dari singgasananya. “Jaga sikapmu!”“Tapi, Paduko—”“Kubilang jaga sikapmu!”Tatapan berkuasa sang raja seolah tak mampu dibantah oleh siapa pun di sana, tidak pula oleh Puti Bungo Satangkai sendiri. Aura sang raja seolah maujud, memperlihatkan kewibawaannya di hada
“Mayatnya kami temukan ribuan depa ke arah barat laut, Paduko,” ujar si Balam Putiah. “Di dekat sebuah rumah tua bersama mayat tiga lainnya.”Si Kumbang Janti dan Puti Bungo Satangkai saling pandang. Bagaimanapun, mereka berdua tidak mengenal siapa itu si Dambi.“Si Dambi ini,” si Balam Putiah melirik si Kumbang Janti. “Adalah pemimpin dari penjahat-penjahat yang tadi patik sampaikan kepada Paduko. Dengan demikian, kelima belas penjahat itu tidak mungkin dapat kami mintai keterangan sebab kesemuanya telah mati. Terkhusus bagi si Dambi ini, mayatnya terputus-putus, Paduko.”“Siapa yang membunuh si Dambi ini?” tanya Rajo Bungsu. “Adakah saksi mata?”“Tidak sama sekali, Paduko,” si Balam Putiah menundukkan kepalanya. “Hanya saja,” kembali lirikan matanya tertuju kepada si Kumbang Janti dan Bungo. “Ada beberapa orang yang sempat kami temui di kawasan Gunung Masurai yang memberikan kesaksian lain.”“Dan apa kesaksian itu?”Untuk kesekian kalinya si Kumbang Janti dan Bungo saling pandang. T
Rajo Bungsu mendesah panjang. Ia yakin bahwa si Kumbang Janti tidak melakukan hal-hal hina yang dituduhkan kepadanya itu. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan saja bukti-bukti yang telah ditemukan oleh si Balam Putiah bersama enam prajurit yang telah ia utus untuk itu. Juga, tentang dugaan upaya pembungkaman si Dambi yang cukup masuk akal tersebut.“Ini sangat disayangkan,” ujar sang raja. Lalu tatapannya tertuju pada sang gadis. “Bagaimana denganmu? Adakah sesuatu yang hendak kau katakan kepada kami?”Puti Bungo Satangkai menyeringai halus, ia menuliskan sesuatu pada lembaran dari sari pati bambu di pangkuannya.“Paduko,” ujar si prajurit di samping sang gadis. “Gadis ini berkata bahwa dia tidak peduli sama sekali dengan apa yang dituduhkan dan apa pandangan orang lain kepadanya.”“Lancang…!” ujar si Balam Putiah demi mendengar pernyataan sang gadis.Rajo Bungsu mendelik pada Hulubalang Kerajaannya itu.“Maaf, Paduko,” si Balam Putiah menundukkan kepalanya.“Tidak ada yang bol
“Dari siapa kau mendapatkan kelopak kedua ini?” tanya Rajo Bungsu pada sang gadis. “Apa kau tahu benda apa ini?”Puti Bungo Satangkai kembali meraih alat-alat tulisnya, dan menuliskan sesuatu yang dibaca oleh si prajurit.“Tentu saja saya tahu,” ujar si prajurit yang mewakili suara sang gadis. “Saiyo Sakato adalah aksara yang tertulis pada kelopak itu. Benda itu diberikan oleh Inyiak Mudo kepada saya.”Sembilan Cadiak Pandai saling pandang, begitu juga dengan dua Hulubalang Kerajaan, juga si Balam Putiah dengan sang raja sendiri.Sementara itu, si Kumbang Janti mengernyit memandangi sang gadis di samping kananya. Lebih kepada bagaimana gadis itu begitu bebas menyampaikan apa yang ia pikirkan.Tidak terikat dengan aturan kerajaan mana pun, sepertinya ini gagasan yang menarik, pikirnya.“Inyiak Mudo?” ujar si Balam Putiah yang tentu saja belum mendengar tentang hubungan pria sepuh nan sakti itu dengan gadis tersebut sebelumnya sebab ia baru datang setelah hal tersebt disampaikan.Rajo B
Pemegang awal kelopak kedua Teratai Abadi yang ternyata bertuliskan aksara Saiyo Sakato itu adalah Sialang Babega. Dan Sialang Babega adalah sahabat baik bagi Rajo Bungsu alias si Kuciang Ameh.Benda itu menjadi penyebab kematian Sialang Babega dengan mengenaskan di tangan Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak, tiga puluh tahun yang lalu. Bersamaan dengan itu pula, Zuraya yang tengah hamil besar dan merupakan istri dari Sialang Babega bunuh diri dengan melompat ke lembah Ngarai Sianok.Ditambah pula dengan penderitaan Rajo Bungsu ketika itu yang dituduh sengaja memberikan kelopak Teratai Abadi kedua yang palsu kepada Paduko Rajo hingga Paduko Rajo sebelumnya itu wafat, dan digantikan oleh putri satu-satunya, Ratu Mudo alias Puti Pandan Sahalai.Tentu saja, dengan kehadiran Puti Bungo Satangkai di hadapannya kini itu, yang nyata-nyata adalah anak yang terlahir dari rahim jasad Zuraya, membuat Rajo Bungsu tidak dapat mengawal perasaannya, yang berujung dengan berkecamuknya aliran
Di mata yang lainnya, gerakan ketiga Benteng Halimunan dan Puti Bungo Satangkai itu mungkin memang tidak terlihat, kecuali bagi enam Benteng Halimunan yang masih berdiri di sekeliling Rajo Bungsu.Mereka hanya bisa mendengar sesiuran angin yang berkelabat di dekat mereka, atau pada sudut-sudut tertentu balai pertemuan itu yang bergetar seolah seseorang terhempas ke titik tersebut.Bungo bertarung satu lawan tiga, dan sama-sama memiliki kecepatan gerak yang luar biasa, harus mengerahkan seluruh kemampuannya.Di satu kesempatan ia mampu menghantam seorang lawannya hingga lawannya itu terpental dan terhempas ke dinding, di kesempatan lainnya, justru dia lah yang terhempas akibat serangan lawannya.Sebab dia tidak mengenal orang-orang yang disebut sebagai Benteng Halimunan itu, konsentrasinya menjadi terpecah. Tiga lawan yang jelas-jelas kini saling baku hantam dengannya dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh mata yang lainnya. Juga, lantaran ia berpikir mungkin saja enam Benteng Halimun
“Tapi Paduko sepertinya terkena racun jahat si betina itu!” ujar si Balam Putiah.“Hentikan ucapan kasarmu itu,” ujar Rajo Bungsu, ia menyeka sisa lelehan darah di mulutnya. “Lorana!”“Duli Paduko,” si Balam Putiah menundukkan pandangannya.“Benteng Halimunan,” sahut sang raja, “bawa rekan kalian yang cidera itu menjauh!” ia melirik ke arah si Benteng Halimunan yang tadi dibanting oleh Puti Bungo Satangkai. “Pergilah, gadis itu tidak berniat mencelakaiku.”Enam Benteng Halimunan di dekat sang raja membungkukkan badan mereka, dua lainnya segera mendekati rekan mereka yang cidera, dan dalam sekedipan mata, kesembilannya telah menghilang dari pandangan semua orang.“Paduko,” ujar Datuk Sukat yang berusia sekitar 47 tahun. “Paduko sampai mutah darah seperti itu tadi, kami khawatir—”Rajo Bungsu mengangkat tangannya, dan itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat Datuk Sukat diam, juga yang lainnya. Kini tatapannya tertuju kepada Bungo, ia masih di papah oleh dua dari Sembilan Cadiak Pan
“Dengarkan titahku!” ujar Rajo Bungsu yang akhirnya berdiri lagi dengan dibantu oleh Puti Bungo Satangkai.Semua kepala langsung menunduk mendengar ucapan sang raja. Kecuali, yah, sang gadis seorang yang tidak terbiasa dengan segala tata krama dalam istana.“Talago!”“Duli Paduko,” si Kumbang Janti menjatuhkan keningnya ke lantai.“Tidak akan ada asap jikalau tidak ada api,” ujar Rajo Bungsu. “Bagaimanapun, kabar burung telah merebak di tengah-tengah masyarakat. Meskipun aku percaya dan yakin bahwa engkau tidak melakukan hal yang dituduhkan itu, akan tetapi, demi untuk meredam gunjingan-gunjingan yang hanya akan merugikan kerajaan. Dengan ini, aku menjatuhkan hukuman kurungan selama tujuh purnama kepadamu.”Si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam. Itu lebih baik daripada segala sesuatu menjadi semakin kusut, pikirnya.“Bagaimana tanggapanmu?”“Duli Paduko,” ujar si Kumbang Janti tanpa mengangkat keningnya dari lantai. “Patik siap menjalankan hukuman demi marwah kerajaan.”“Bagus!”