“Dari siapa kau mendapatkan kelopak kedua ini?” tanya Rajo Bungsu pada sang gadis. “Apa kau tahu benda apa ini?”Puti Bungo Satangkai kembali meraih alat-alat tulisnya, dan menuliskan sesuatu yang dibaca oleh si prajurit.“Tentu saja saya tahu,” ujar si prajurit yang mewakili suara sang gadis. “Saiyo Sakato adalah aksara yang tertulis pada kelopak itu. Benda itu diberikan oleh Inyiak Mudo kepada saya.”Sembilan Cadiak Pandai saling pandang, begitu juga dengan dua Hulubalang Kerajaan, juga si Balam Putiah dengan sang raja sendiri.Sementara itu, si Kumbang Janti mengernyit memandangi sang gadis di samping kananya. Lebih kepada bagaimana gadis itu begitu bebas menyampaikan apa yang ia pikirkan.Tidak terikat dengan aturan kerajaan mana pun, sepertinya ini gagasan yang menarik, pikirnya.“Inyiak Mudo?” ujar si Balam Putiah yang tentu saja belum mendengar tentang hubungan pria sepuh nan sakti itu dengan gadis tersebut sebelumnya sebab ia baru datang setelah hal tersebt disampaikan.Rajo B
Pemegang awal kelopak kedua Teratai Abadi yang ternyata bertuliskan aksara Saiyo Sakato itu adalah Sialang Babega. Dan Sialang Babega adalah sahabat baik bagi Rajo Bungsu alias si Kuciang Ameh.Benda itu menjadi penyebab kematian Sialang Babega dengan mengenaskan di tangan Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak, tiga puluh tahun yang lalu. Bersamaan dengan itu pula, Zuraya yang tengah hamil besar dan merupakan istri dari Sialang Babega bunuh diri dengan melompat ke lembah Ngarai Sianok.Ditambah pula dengan penderitaan Rajo Bungsu ketika itu yang dituduh sengaja memberikan kelopak Teratai Abadi kedua yang palsu kepada Paduko Rajo hingga Paduko Rajo sebelumnya itu wafat, dan digantikan oleh putri satu-satunya, Ratu Mudo alias Puti Pandan Sahalai.Tentu saja, dengan kehadiran Puti Bungo Satangkai di hadapannya kini itu, yang nyata-nyata adalah anak yang terlahir dari rahim jasad Zuraya, membuat Rajo Bungsu tidak dapat mengawal perasaannya, yang berujung dengan berkecamuknya aliran
Di mata yang lainnya, gerakan ketiga Benteng Halimunan dan Puti Bungo Satangkai itu mungkin memang tidak terlihat, kecuali bagi enam Benteng Halimunan yang masih berdiri di sekeliling Rajo Bungsu.Mereka hanya bisa mendengar sesiuran angin yang berkelabat di dekat mereka, atau pada sudut-sudut tertentu balai pertemuan itu yang bergetar seolah seseorang terhempas ke titik tersebut.Bungo bertarung satu lawan tiga, dan sama-sama memiliki kecepatan gerak yang luar biasa, harus mengerahkan seluruh kemampuannya.Di satu kesempatan ia mampu menghantam seorang lawannya hingga lawannya itu terpental dan terhempas ke dinding, di kesempatan lainnya, justru dia lah yang terhempas akibat serangan lawannya.Sebab dia tidak mengenal orang-orang yang disebut sebagai Benteng Halimunan itu, konsentrasinya menjadi terpecah. Tiga lawan yang jelas-jelas kini saling baku hantam dengannya dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh mata yang lainnya. Juga, lantaran ia berpikir mungkin saja enam Benteng Halimun
“Tapi Paduko sepertinya terkena racun jahat si betina itu!” ujar si Balam Putiah.“Hentikan ucapan kasarmu itu,” ujar Rajo Bungsu, ia menyeka sisa lelehan darah di mulutnya. “Lorana!”“Duli Paduko,” si Balam Putiah menundukkan pandangannya.“Benteng Halimunan,” sahut sang raja, “bawa rekan kalian yang cidera itu menjauh!” ia melirik ke arah si Benteng Halimunan yang tadi dibanting oleh Puti Bungo Satangkai. “Pergilah, gadis itu tidak berniat mencelakaiku.”Enam Benteng Halimunan di dekat sang raja membungkukkan badan mereka, dua lainnya segera mendekati rekan mereka yang cidera, dan dalam sekedipan mata, kesembilannya telah menghilang dari pandangan semua orang.“Paduko,” ujar Datuk Sukat yang berusia sekitar 47 tahun. “Paduko sampai mutah darah seperti itu tadi, kami khawatir—”Rajo Bungsu mengangkat tangannya, dan itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat Datuk Sukat diam, juga yang lainnya. Kini tatapannya tertuju kepada Bungo, ia masih di papah oleh dua dari Sembilan Cadiak Pan
“Dengarkan titahku!” ujar Rajo Bungsu yang akhirnya berdiri lagi dengan dibantu oleh Puti Bungo Satangkai.Semua kepala langsung menunduk mendengar ucapan sang raja. Kecuali, yah, sang gadis seorang yang tidak terbiasa dengan segala tata krama dalam istana.“Talago!”“Duli Paduko,” si Kumbang Janti menjatuhkan keningnya ke lantai.“Tidak akan ada asap jikalau tidak ada api,” ujar Rajo Bungsu. “Bagaimanapun, kabar burung telah merebak di tengah-tengah masyarakat. Meskipun aku percaya dan yakin bahwa engkau tidak melakukan hal yang dituduhkan itu, akan tetapi, demi untuk meredam gunjingan-gunjingan yang hanya akan merugikan kerajaan. Dengan ini, aku menjatuhkan hukuman kurungan selama tujuh purnama kepadamu.”Si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam. Itu lebih baik daripada segala sesuatu menjadi semakin kusut, pikirnya.“Bagaimana tanggapanmu?”“Duli Paduko,” ujar si Kumbang Janti tanpa mengangkat keningnya dari lantai. “Patik siap menjalankan hukuman demi marwah kerajaan.”“Bagus!”
Sang ratu seakan terlonjak dari posisi duduknya di tepi ranjang, ia mendekati Puti Bungo Satangkai. Tidak ada lagi sorot kecemburuan ataupun perasaan risih sang ratu terhadap gadis tersebut seperti sebelumnya.“B—Benarkah?” tanya sang ratu seraya memegang kedua bahu sang gadis.Bungo yang tentu saja belum mengetahui siapa sesungguhnya sang ratu hanya mengangguk dengan mencoba tersenyum.“Oh, Dewi Yang Mulia!”Sang ratu langsung memeluk Bungo, dan Bungo menjadi ragu-ragu untuk membalas pelukan sang ratu, lebih kepada rasa canggung.Namun lama kelamaan, ia mendengar sang ratu yang tiba-tiba terisak, juga lantaran getaran tubuh sang ratu sendiri yang ia rasakan.“Oh, Dewa Yang Agung,” sang ratu menangkup pipi sang gadis dengan telapak tangannya, menatapinya dengan mata yang berlinangan, serta ada senyum dan kebahagiaan yang terlihat di wajahnya. “Kau anak Zuraya, oh, Dewa…”Kembali sang ratu memeluk sang gadis.“Sayang,” ujar Rajo Bungsu. “Bungo bisu sedari lahir sebab Zuraya yang jatuh
Meskipun kondisi malam ini bukanlah malam bulan purnama, namun setidaknya, langit yang bersih membuat cahaya sang rembulan cukup mampu menerangi halaman di belakang istana. Taman bunga dengan sebuah kolam besar dan airnya yang mengalir itu terlihat cukup indah.Rajo Bungsu sendiri telah kembali membaik, ia menemani Puti Bungo Satangkai di taman belakang tersebut. Hanya mereka bedua saja di sana, ditemani oleh beberapa prajurit dan dayang-dayang yang berdiri di dekat dinding belakang istana, siap menerima perintah kapan saja dibutuhkan.Sama saat kejadian di kamarnya sore tadi, Rajo Bungsu tidak membutuhkan penerjemah bahasa isyarat sebab ia memahami setiap isyarat yang diberikan oleh gadis itu kepadanya.Satu-satunya alasan ia membutuhkan penerjemah ketika bertanya ini dan itu kepada Bungo saat di balai pertemuan sebelumnya itu, adalah disebabkan itu bukan hanya tentang dirinya saja, tapi tentang orang banyak ketika itu yang tidak semua dari mereka mampu memahami bahasa isyarat sang g
Ya, itu sudah pasti, pikir Puti Bungo Satangkai. Tujuh kelopak Teratai Abadi bila digabungkan, maka akan muncul petunjuk tentang kemunculan sebuah kerajaan baru yang akan menggantikan Kerajaan Minanga itu sendiri di masa mendatang.Hanya itu, tidak akan ada kesaktian ini dan itu yang akan didapat oleh siapa pun yang berhasil menyatukan ketujuh kelopak Teratai Abadi tersebut. Konon pula mengubah manusia menjadi abadi seperti para dewa dan dewi.“Kau juga pasti mengetahui,” ujar Rajo Bungsu. “Telah banyak nyawa melayang sia-sia hanya karena kabar burung yang ditambahkan orang-orang terhadap Teratai Abadi.”Ya, itulah alasan yang sangat disayangkan, pikir Bungo. Tidak saja oleh dirinya, tapi juga oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih. Terlebih lagi, keluarganya sendiri telah menjadi korban dari kabar burung itu sendiri.“Inilah alasanku memintamu untuk mengumpulkan empat kelopak Teratai Abadi lainnya, Bungo,” ujar sang raja. “Juga,” ia melirik lagi sang gadis. “Sekaligus mengembalikan kelopa
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau