Hari weekend seharusnya menjadi surga bagi para pekerja, karena pada hari itu para pekerja dapat libur dan beristirahat. Tapi tidak untuk Oliv dan Rahayu yang tetap bekerja di hari sabtu dan minggu.
Si bos dinginnya tak memberikan libur untuk mereka, minimal satu hari saja di hari minggu pun tidak. Benar-benar pelit!
"Bete gue!" keluh Rahayu.
"Kurang piknik," cibir Oliv meledek.
"Dih, kayak situ gak aja."
Dan Oliv pun meringis, "plus kurang belaian juga."
"Ishh! Jijik gue dengernya, frontal amat neng."
"Hahaha," Oliv tergelak mendengarnya.
Sejenak suasana kembali hening, Rahayu yang lebih memilih sibuk dengan ponsel androidnya sementara Oliv yang sibuk memperhatikan jari jemari tangannya.
Tatapan Oliv lekat memperhatikan kutil-kutil yang tumbuh merambat banyak di jari jemari lentiknya. Menghela nafas kasar Oliv kembali sedih kala memikirkan nasib jari jemarinya. Entah kapanlah kutil-kutil ini pergi menghilang.
"Eh, ya ampun! Jari-jari tangan lo kenapa Liv?!" pekik Rahayu yang ternyata tengah memperhatikan tangan temannya.
Tersenyum malu karena diperhatikan, Oliv pun menyembunyikan tangan kanannya. Karena tangan yang kanan lebih banyak kutilnya ketimbang tangan yang sebelah kiri.
"Enggak apa-apa kok," jawab Oliv berusaha bersikap santai.
"Itu tadi kutil ya?"
Oliv melotot mendengarnya, astaga. Jangan bilang jika temannya melihat kutil-kutil sialan itu.
"Kutil apaan?"
"Itu jari-jari tangan lo, coba sini gue lihat." Oliv menggeleng.
"Ih, siniin tangan kamu aku mau lihat Oliv!"
"Aku gak mau, apaan sih lo kok maksa gini."
Rahayu diam, tak lagi memaksa Oliv untuk menunjukkan kedua tangannya. Matanya menatap sendu Oliv, kenapa ia baru tau tentang keberadaan kutil-kutil itu di tangan temannya ini?
Benar-benar kawan yang sangat baik dan perhatian kamu Rahayu! dengus batin Rahayu mengejek dirinya sendiri.
"Sudah berapa lama?" bisik Rahayu pelan sembari menghitung harga beberapa buku yang di beli oleh salah satu pelanggan disini."
Beberapa kali menyikut lengan Oliv yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Total semuanya lima ratus ribu ya, Mas."
"Apa? Lima ratus ribu?!"
Rahayu berjengit kaget saat mendengar nada tinggi dalam suara pelanggan itu.
"Iya, Mas," bersikap sabar dan sopan Rahayu pun lantas menjawab seraya menganggukkan kepalanya.
"Kok bisa sih? Cuma harga tiga buku gini doang masa sampai lima ratus ribu?"
"Loh, kan memang udah patokan harganya segitu Mas." sahut Rahayu berdecak kesal. Lalu ia menoleh pada Oliv yang justru hanya diam saja sedari tadi.
"Liv, bantuin ngomong dong." rengek Rahayu. Karena ia tak akan menjamin jika dirinya akan tetap sabar menghadapi pelanggan satu ini sendirian.
Oliv mengangguk, "Mas, ini buku novel keluaran baru."
"Ya terus, karena buku novel keluaran baru makanya jadi mahal?"
Oliv dan Rahayu saling melemparkan pandangan, merasa bingung harus menjawab apa. Karena sepertinya pelanggan yang satu ini tak ingin mengalah, tentunya tak akan selesai jika mereka saling berdebat terus.
"Oh, atau karena penulisnya yang cukup terkenal makanya mahal?"
"Cukup terkenal?" pekik Rahayu merasa tak suka dengan kata yang pelanggan itu pilih. "Eh, Mas. Please banget ya, ini tuh karya-karyanya Ade Tiwi tau gak?"
"Tau, si penulis yang menulis cerita gak bagus kan? Mana alur ceritanya pada gak nyambung, genrenya juga gak jelas apa. Pokoknya benar-benar gaje deh, berantakan habis. Kek gitu pun jadi penulis."
Rahayu dan Oliv menganga tak percaya mendengarnya, pria di depan mereka ini sungguh sangat kurang ajar sekali mulutnya mengejek dan menghina salah satu penulis favorit mereka. Ck!
Menghela nafas sabar, Oliv mencoba untuk menyelesaikan semua perdebatan ini. "Sebenarnya Mas kesini mau beli buku atau hanya mau mengkritik karya-karya penulis sih?"
"Menurutmu?" sahut pria itu sewot. Kemudian ia berdecak, "aku kadang bingung. Apa yang membuat orang-orang memburu buku-buku novel karya si penulis ini, bahkan sampai menjadi yang terlaris nomor satu lagi."
Rahayu mengangguk, "karya beliau banyak yang bestseller loh!"
"Apa bagusnya coba?" dan dalam sekejap senyum Oliv dan Rahayu luntur.
Pria ini benar-benar sudah kelewatan. Dan mereka tidak akan tinggal diam, ini termasuk salah satu penghinaan terberat. Bagaimanapun mereka berdua sangat menyukai dan menikmati karya-karya penulis ini.
"Cukup ya, Mas! Kalau Mas gak mau beli buku-buku novel ini, ya sudah. Mas tinggal balikin lagi ke tempatnya dan silakan pergi." kata Oliv dengan suara lantang.
Persetan!
Oliv sudah tak peduli lagi pada kesopanan ataupun keramahan untuk pelanggan. Bagi dirinya dan Rahayu, pria ini tidak pantas mendapatkan sikap sopan santun dari mereka.
Kesabaran mereka sangat berharga bila di beri untuk pria menyebalkan ini. Sok mengkritik karya-karya bagus penulis favorit mereka. Dasar!
"Apa kalian pikir aku tidak punya uang? Sehingga kalian mengusirku seperti ini."
"Yaudah sih, Mas tinggal bayar doang udah deh selesai." sahut Rahayu sewot. Oliv mengangguk setuju.
Menatap sengit dan kesal pada Oliv dan Rahayu lantas pria itu pun mengeluarkan dompetnya. Membukanya dan mengeluarkan beberapa lembar uang merah.
"Nih, hitung." titahnya. Rahayu pun dengan sigap langsung menghitungnya.
"Oke, pas." kata Rahayu tersenyum senang.
"Terima kasih, Mas." ucap Oliv dan Rahayu setelah selesai memasukkan buku-buku novel yang dibeli pria itu ke dalam paper bag.
"Sialan!" umpat Rahayu setelah pria itu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan pria itu tidak membalas ucapan terima kasih mereka.
Oliv tepuk jidat saat teringat sesuatu. "Kenapa lo?" tanya Rahayu terlihat heran.
"Gue lupa jelasin tadi sama Mas-nya, kalau tebal halaman buku novel—"
"Halah, gak usah repot-repot jelasin. Tuh orang bisanya cuma menghina karya orang lain. Sebel ih!"
Apa yang diucapkan Rahayu ada benarnya juga. Pria itu memang sukanya mengejek dan menghina. Hal seperti ini bukanlah satu atau dua kali buat mereka, tapi hari ini adalah yang terparahnya. Malang sekali nasib si penulis yang dihina habis-habisan oleh pria itu.
***
Sedari tadi pria itu tak berhenti tersenyum geli, membuat seorang wanita cantik yang duduk di sampingnya kini menatap heran ke arahnya.
"Kamu kenapa?"
Lantas pria itu menoleh sekilas sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Entah kenapa aku suka sekali membuat keributan dengan mereka."
"Siapa?" tanya wanita itu dengan sebelah alis terangkat.
"Kedua wanita yang berkerja di toko buku."
"Kamu membuat ulah lagi?" Pria itu mengangguk bangga.
"Kali ini apalagi?" wanita itu berdecak kesal.
"Ya ... seperti biasa. Dan, oh ya, aku menemukan suatu fakta."
"Apa?"
"Mereka tidak menyukai karyamu."
Sepasang mata cokelat itu mengerjap sekali sebelum pada akhirnya melotot horor. "Kau serius?"
"Iya, aku mendengarnya dengan kedua telingaku langsung."
"Memang apa yang mereka katakan?"
"Mereka bilang ceritamu gak bagus. Alurnya gak nyambungnya lah, genrenya juga gak jelas lah. Pokoknya gaje deh, berantakan banget. Dan mereka juga bilang kalau kamu gak pantes jadi penulis seharusnya."
"Oh ya?"
"Iya, Ade Tiwi yang cantik."
"Hafal banget kamu ya sama kata-kata mereka beberapa saat yang lalu." cibir si wanita yang di panggil Ade Tiwi tersebut.
Pria itu nyengir lalu tertawa terbahak-bahak. "Sorry—awwh!" Dekan meringis di akhir kalimatnya.
"Kok lo pukul kepala gue?"
"Biar sadar."
Bukannya marah, Dekan justru tertawa kembali. Merasa puas karena sudah membuat kesal dan marah tiga orang wanita hari ini.
****
Olivia merasakan dadanya berdebar tak karuan. Bukan berdebar karena ungkapan cinta melainkan panggilan si kulkas berjalan yang ingin membicarakan sesuatu hal.Batin Oliv bertanya-tanya, ada apa gerangan bos dinginnya itu memanggil dirinya untuk bicara?Sejauh yang Oliv ingat, si kulkas berjalan itu jarang bicara alias irit bicara dan juga irit ekspresi. Bahkan sapaan semalam pun adalah yang pertama kalinya ia dan Rahayu dapatkan dari Devan, nama bos mereka yang super dingin.Oliv menarik nafas perlahan sebelum mengetuk pintu, dan membuka pintu itu perlahan setelah mendengar titah masuk dari bosnya."Saya mendapat komplen dari pelanggan.""Hah?" Oliv terhenyak kaget.Bosnya ini apa tidak bisa menyapa dulu apa? Baru juga Oliv masuk sudah main nyerocos saja.Untuk menghilangkan sikap begonya Oliv pun nyengir, namun nyatanya ternyata tindakan itu justru membua
Devan sadar sepenuhnya kalau hal itu bukanlah urusannya. Oliv mau bertemu dengan siapa saja itu bukanlah urusannya. Tapi, kenapa ia begitu sangat penasaran dan ingin tahu siapa pria yang tengah bersama Oliv saat ini?Keduanya juga terlihat asyik mengobrol dan tak berhenti saking menatap satu sama lain. Dan disaat yang bersamaan itu juga Devan merasakan dadanya sesak, serasa panas terbakar."Aneh!" gumamnya tersenyum geli.Mungkin Devan perhatian pada Oliv karena gadis itu bekerja di toko buku miliknya. Meskipun terkesan sombong, dingin dan juga cuek. Tapi bukan berarti Devan tidak memperhatikan para pekerjanya. Hanya saja ia tidak kelihatan terlalu mencolok menunjukkan sikap perhatiannya. Dan jujur saja, Devan memang lebih sering memperhatikan Oliv ketimbang Rahayu.Setiap satu minggu sekali Devan memang datang mengunjungi toko buku miliknya. Niatnya sih memang ingin melihat perkembangan usahanya, juga sekaligus melihat Oliv dan se
Oliv meringis karena tidak bisa keluar dari situasi ini. Bahkan bos dinginnya kini menuntut jawaban darinya.Menghela nafas sejenak akhirnya Oliv pasrah mengatakan semuanya pada Devan yang awalnya sempat syok. Namun kembali tenang sembari tetap mendengarkan ucapan Oliv."Jadi, hal apa yang membuat pria itu mundur?"Mila gelagapan, menelan kasar air liurnya sendiri. "I-itu karena....""Apa, Liv? Kok kamu dari tadi gugup dan ngomongnya gagap gitu?""E-enggak kok, Pak." Oliv menggeleng."Itu buktinya, k—" ucapan Devan terhenti begitu mendengar suara Adam Levine yang mengalun merdu.Lantas dengan cepat Devan merogoh saku celananya, menatap sebuah nama dilayar ponselnya."Sebentar ya," ucap Devan meminta waktu sebentar pada Oliv yang mengangguk.Devan memunggungi Oliv seraya mengangkat panggilan tersebut. Oliv menatap pun
Baik Oliv maupun Rahayu sama-sama merasa kaget dan juga bingung akan sikap bos dingin mereka yang akhir-akhir ini lebih sering datang ke toko buku. Berbeda dengan sebelumnya, bisa dihitung pakai jari dalam sebulan bosnya datang ke toko buku.Tapi ini? hebat! Dalam seminggu ini saja sudah tiga kali datang. Jadi, siapa yang tak kaget coba?Karena hal itulah membuat Rahayu dan Oliv menganga lebar saking tak percayanya. Bahkan keduanya sangat tidak menyangka sekali akan kedatangan Devan hari ini. Padahal tadinya kedua gadis itu tampak asyik mengobrol, ngobrolin banyaknya hal namun harus terhenti dan menyapa Devan yang lebih mengejutkannya lagi tersenyum dan membalas sapaan mereka berdua."Sumpah, demi apa tuh bos tampan nan super cool kita jadi datang kesini?" pekik Rahayu heboh.Oliv mengendikkan kedua bahunya, "kesambet kali.""Aduh! Orang ganteng bisa kesambet setan juga?"
Tubuh tak berdaya Rahayu dibaringkan ke atas ranjang. Tak sulit bagi Oliv untuk membawa teman sejawatnya yang tengah teler pulang, Rahayu yang memang tinggal sendirian di rumah sederhana ini memang terbiasa menaruh kunci di bawah pot bunganya.Dari cerita yang Oliv tau, kedua orang tua Rahayu sudah lama meninggal sejak Rahayu masih duduk di sekolah dasar. Kemudian Rahayu diasuh oleh bibi dan omnya sampai SMA. Setelah lulus SMA Rahayu memutuskan untuk merantau ke kota ini, banyak pengalaman pekerjaan yang telah di cobanya. Hingga pada akhirnya ia diterima bekerja di toko buku milik Devan sekaligus menjadi awal pertemuannya dengan Oliv. Selang tak lama Rahayu bekerja di toko buku itu Oliv melamar pekerjaan disana.Tidak terlalu sulit bagi keduanya untuk cepat akrab, sebab baik Oliv maupun Rahayu adalah wanita yang mudah berkomunikasi dengan orang-orang baru. Keduanya pun berteman baik sampai sekarang. Oliv bahkan sering membawa Rahayu ke rumahnya untuk ia ken
Ketika pagi tiba Oliv yang sudah terbangun dari tidurnya nyenyaknya langsung bangkit dari ranjang. Melangkah menuju dapur dan membuka lemari pendingin milik Rahayu."Wow!" satu hal yang membuat Oliv berdecak kagum adalah kebiasaan Rahayu yang pembersih dan rajin berbelanja untuk kebutuhan isi kulkasnya yang tak pernah kosong.Rahayu terlihat bar-bar dan berantakan diluar, tapi aslinya siapa yang menyangka? Oliv mengambil beberapa macam bahan makanan yang akan ia olah untuk sarapan ini.Semua bahan tersebut ia potong-potong sesuai selera. Yap, Oliv akan membuat sarapan yang simpel saja. Salad sayur, dan sandwich saja.Selesai membuat sarapan Oliv membersihkan peralatan masak yang kotor kemudian membangunkan si kebo yang tidur di sofa ruang tamu."Bangun!" Oliv membangunkan dengan cara menepuk-nepuk bahu abangnya.Namun sayangnya Olano sama sekali tak terusik tidurnya. Oliv
Devan sudah mempersiapkan dirinya untuk menjawab segala pertanyaan yang akan Oliv lontarkan. Bagaimanapun juga pastilah wanita di depannya ini merasa curiga soal insiden tadi malam.Begitu sigapnya Devan langsung membawa sang adik tercintanya dan juga sepupu gesreknya keluar dari club malam. Yang tentu saja itu menimbulkan kecurigaan bagi Oliv.Devan baru tahu jika pria yang bersama Rahayu adalah abangnya Oliv. Dan Devan juga baru tahu kalau Olano adalah kekasih dari adiknya, Adel alias Ade Tiwi.Aishh, betapa tak sukanya Devan dengan nama pena sang adik.Dekan yang memberitahukan informasi itu padanya. Hal itu pun Dekan dapatkan dari Adel yang sempat memarahinya karena Dekan yang suka sekali menjahili Oliv dan Rahayu. Tentu saja Adel marah jika Oliv ikut kena imbas kejahilan Dekan, padahal gadis yang Dekan sukai adalah Rahayu. Jadi Rahayu saja yang seharusnya Dekan jahili dan bukannya calon adik iparnya,
Diantara ketiga pria ini sepertinya yang paling heboh cuma pria menyebalkan ini. Oliv menggeram kesal, seheboh-hebohnya Olano tetapi tidak sebising Dekan. Ah iya, Oliv baru ingat namanya.Seakan tak merasa lelah mulut Dekan terus bicara, menyerocos tak jelas hingga membuat Oliv dan Rahayu merasa muak."Diamlah Dekan. Kau membuatku mereka berdua merasa bosan." titah Devan ikut kesal melihat tingkah sepupunya. Mulut bawelnya yang terlalu banyak bicara itu sedikit banyaknya membuat orang bosan dan muak."Loh, apa iya aku ngebosenin dan bikin kesal?" tanya Dekan begitu percaya dirinya. Lalu, ia mencolek lengan Rahayu yang kebetulan duduk di sampingnya. "Aku ngebosenin ya?" tanyanya pada Rahayu yang nyengir kemudian dengan terpaksa menggelengkan kepala."Nah, enggak tuh. Iya kan, Oliv?" Dekan meminta pendapat Oliv yang duduknya persis di samping Rahayu.Sama seperti Rahayu, Oliv pun masih menjaga perasaan dengan menghargai
Ekstra part.Beberapa bulan kemudian....Devan dan Oliv merasa pusing sekali dibuat sepasang kekasih yang tengah sibuk berdebat memilih konsep untuk acara pesta pernikahan mereka nanti.Siapa lagi kalau bukan Dekan dan Rahayu saling tak mau mengalah. Rahayu ingin pesta pernikahan yang paling mewah, berbanding terbalik dengan Dekan yang justru ingin pesta pernikahan yang sederhana."Pokoknya aku mau pesta pernikahan yang megah, pesta pernikahan yang besar-besaran." ucap Rahayu bersikeras."Iya sayang, aku ngerti. Tapi apa gak buang-buang duit banyak kalau pestanya terlalu mewah kali?""Loh, memangnya kenapa? Gak apa-apa dong uang kamu terkuras banyak untuk pesta pernikahan kita. Kan sekali seumur hidup, jadi apa ruginya? Toh, untuk acara kita berdua juga. Benar gak Van, Liv?" tanya Rahayu meminta persetujuan dari pasutri itu yang terlihat kelagapan menjawabnya.
"Oliv?" panggil Devan gemas, pasalnya gadis itu hanya diam saja. Tak memberi jawaban atas pertanyaannya.Padahal Devan sudah sangat berharap sekali gadis pujaan hatinya ini langsung memberikan jawaban untuknya.Apapun itu, mau diterima atau tidak. Devan sudah menyiapkan dirinya. Ya walaupun dia sangat berharap Oliv menjawab. Ya, aku mau.Tapi, kalaupun tidak, ya sudah tidak apa-apa. Devan akan berusaha berlapang dada menerimanya."Kamu tidak ingin menjawab lamaranku?" goda Devan menyentuh lembut pipi Oliv dan kembali mengecup punggung tangannya."Oliv, aku—""Kamu serius?" sela Oliv balik bertanya. "Devan, kamu serius dengan ucapan kamu ini?""Ya, tentu saja. Kenapa tidak?""Aku takut.""Takut kenapa?" tanya Devan dengan dahi berkerut."Aku takut kalau kamu bukan cinta sejatiku. Uhm, maksudnya, aku t
Devan kembali memikirkan ucapan si nenek misterius waktu itu. Dimana si nenek memberi saran baik untuknya dalam menjaga serta melindungi Oliv."Jaga dan tetap lindungilah dia, perasaan bimbang dan keragu-raguan itu masih terus membayanginya. Buatlah dirinya untuk terus berpikiran positif dan percaya, karena kedua itulah kunci untuknya bahagia.""Perasaan bimbang dan keragu-raguan?" gumam Devan sedikit bingung dengan dua kata itu.Memang apa sebenarnya yang tengah membebani pikiran Oliv sehingga gadis itu kerap merasa bimbang dan ragu? pikir Devan bertanya-tanya."Apa aku harus tanya langsung aja ya sama Oliv?" ujar Devan bermonolog."Mau tanya apa?"Devan langsung berbalik badan saat mendengar sebuah suara yang sangat dikenalnya. Kedua sudut bibirnya bergerak membentuk sebuah senyuman manis menyambut kedatangan Oliv yang secara
Devan kaget dan bingung dengan reaksi tiba-tiba dari Oliv yang menjerit histeris. Bahkan belum sempat baginya bertanya Oliv malah main nyelonong pergi begitu saja.Saat Devan bergerak hendak menyusul Oliv, si nenek mencekal lengannya. Devan menoleh dengan raut bingung."Jaga dan tetap lindungilah dia, perasaan bimbang dan keragu-raguan itu masih terus membayanginya. Buatlah dirinya untuk terus berpikiran positif dan percaya, karena kedua itulah kunci untuknya bahagia."Devan tak terlalu begitu mendengarkannya dengan jelas. Namun ia tetap menganggukkan kepalanya dan berpamitan pada sang nenek serta meminta maaf atas nama Oliv yang telah bertindak tak sopan."Oliv?!" jerit Devan memanggil Oliv yang entah sudah pergi kemana."Kemana sih dia perginya?" gumam Devan ngomel. Bukannya apa, Devan khawatir pada Oliv yang main kabur gitu aja di tempat baru seperti ini pula.Kan, ini
Dua minggu kemudian....Hari ini Devan menyempatkan diri untuk datang berkunjung ke rumah Oliv disela-sela kesibukannya yang lumayan padat. Rencananya, hari ini ia ingin mengajak Oliv ke suatu tempat.Namun Devan masih merahasiakan tujuannya, sehingga membuat Oliv menjadi sangat penasaran. Akan dibawa kemanakah fotonya oleh Devan?"Aku semakin penasaran," ucap Oliv menoleh pada Devan yang saat ini tengah fokus menyetir.Devan tersenyum menyeringai, "kenapa? Kamu berpikiran kalau aku ingin menyulik kamu gitu?""Bukan gitu...." elak Oliv memprotes asumsi Devan. "Saya cuma penasaran aja kemana Bapak akan membawa saya.""Hah, formal lagi." gantian kali ini Devan yang memprotes cara gaya bicara Oliv yang kembali formal padanya. "Dan apa itu? Bapak?"Oliv mengangguk, "lalu saya harus panggil anda apa?"Devan melirik kesal Oliv sekilas, "menyebalkan!" cibirnya tak suka. Sementara Oliv mati-mat
"Apa? Kutil?" pekik Devan kaget. Beberapa saat yang lalu Oliv sudah mengatakannya pada Devan mengenai rahasia yang selama ini ia tutupi."D-dimana?" tanya Devan ingin tahu pasti letak keberadaan kutil-kutil di tangan Oliv."Ini!" Oliv memperlihatkan telapak tangannya pada Devan serta menunjuk dimana saja letak kutil-kutilnya."Lumayan banyak ya," ucap Devan menatap lekat kutil-kutil di jari jemari tangan Oliv yang terlihat lebih menonjol daripada yang di telapak tangannya."Susah berapa lama ini?" tanya Devan antusias dan juga penasaran."Beberapa tahun yang lalu."Devan mengangguk, "memang apa saja yang kamu makan selama ini?""M-maksudnya? Ya, makan nasi sama sayur mayur dan juga lauk pauk." sahut Oliv sewot. "Memang Bapak mikirnya saya makan apa? Ya kali saya makan besi dan baja gitu?""Memang kalau makan besi dan baja beneran bisa jadi kutilan kayak gitu?" Devan balik bertanya dengan begi
Devan tak bisa mengalihkan perhatiannya ketika suara langkah-langkah kaki memasuki ruang tamu dan mendekat padanya. Matanya begitu terfokus menatap wajah cantik Oliv yang harusnya tersenyum menyambut kedatangannya, namun wajah Oliv justru cemberut seakan tak suka dengan kedatangannya.Mama Oliv tersenyum manis pada Devan seraya menarik sedikit Oliv agar lebih mendekat padanya."Kalian berdua mengobrolah, Tante mau ke dapur dulu buat minum." ucap mama Oliv berusaha mendudukkan sang anak agar duduk di sofa dekat Devan.Oliv ingin memprotes apa yang dilakukan mamanya, tapi dengan cepat sang mama mengedipkan sebelah matanya seraya tersenyum manis dan setelahnya berlalu pergi menuju dapur.Oliv berdeham sekali dan membuang pandangannya ke arah lain, kemana saja asalkan bukan ke arah Devan yang saat ini justru terlihat bingung.Ia tatap Oliv yang enggan menatapnya, Devan tau itu tapi ia memilih
Rahayu mengigit bibir bawahnya cukup kuat nyaris berdarah jika saja Dekan tak mengentikannya."Kamu tenang dulu ya, kita berdua akan menjelaskannya pelan-pelan sama Devan. Dia pasti ngerti kok."Rahayu menggeleng lemah, "gak akan bisa dimengerti untuk orang yang keceplosan beb.""Ya, tapi masa Devan akan marah-marah terus pecat kamu hanya gara-gara masalah ini." protes Dekan tak terima. Rahayu memang salah karena secara tak sengaja sudah keceplosan memberitahukan misi keduanya pada Oliv. Tapi, itu kan karena keceplosan yang tidak disengaja.Eh, terus kalau Rahayu yang bercerita padanya mengenai masalah ini termasuk keceplosan juga gak ya?"Kamu juga awalnya gak tau mengenai ini, tapi karena aku yang kelewat panik terus ngadu ke kamu pada akhirnya juga ceritain masalah ini ke kamu." Dekan mengangguk lemah, "itu artinya sudah dua orang yang tau rencana kami berdua ini. Kamu dan Oliv." Dekan kembali mengangguk lemah."Hu
Ternyata Oliv tidak main-main dengan ucapannya kemarin pada sang abang. Ia benar-benar Mengundurkan diri dari tempatnya bekerja."Kenapa tiba-tiba begini?" tanya Devan terlihat marah dan tak terima.Sebisa mungkin Oliv bersikap santai, tak mau sedikitpun terbawa suasana dan emosi. "Karena saya ingin membuka usaha sendiri, Pak.""Usaha sendiri?" Oliv mengangguk. "Usaha sendiri seperti apa?""Jualan online."Devan memijit pelipisnya, ini terlalu mendadak sekali untuknya. Kenapa tiba-tiba begini Oliv mengundurkan diri."Saya ada salah ya sama kamu?""Tidak sama sekali, Pak.""Lalu kenapa kamu mendadak mengundurkan diri seperti ini, Liv?""Maaf Pak. Tadi saya sudah menjelaskan alasan saya berhenti bekerja. Jadi, saya tidak akan mengulanginya lagi.""Baik," Devan menganggukkan kepalanya. "Saya terima surat peng