“Sha?” panggil Matteo dengan sengaja beberapa menit setelah ia mencuri lihat kelakuan Falisha di dapur.Matteo memanggil dari jarak yang cukup jauh untuk menghindari kecurigaan Falisha dan berada dalam lakonnya.“Eh, Micin! Kamu dimana? Katanya mau ngomong? Kalau nggak jadi, Aku balik kerja nih mumpung Pak Ali belum datang ngerecokin!” sambungnya sambil melangkah mendekat tapi tetap memberikan jeda jarak untuk tidak sampai ke dapur.Mendengar suara Matteo yang memanggil namanya langsung membuat kesadaran Falisha ditarik paksa ke dunia nyata untuk lepas dari sisi menyedihkan itu sementara waktu.Cepat-cepat Falisha mengelap pipinya yang basah dengan lengan pakaiannya lalu kemudian berseru, “Dapur!”Menyadari suaranya yang sedikit serak, segera Falisha meneguk sisa air yang ada di gelas lalu memasang wajah seolah tidak terjadi apapun sembari membereskan obat-obatannya.Padahal sesungguhnya apa yang dilakukan itu sia-sia karena Matteo sudah mengetahui perihal tersebut lebih dulu.“Ngapai
“Menurut Satrio yang berusaha mengorek keterangan dari mereka kemarin, mereka sengaja datang pagi-pagi untuk menghindari petugas medis dan melarikan Ameera agar tidak keluar uang untuk biaya perawatan!” papar Matteo sedikit menggebu.Tercengang Falisha tidak mampu mengendalikan ekspresi keterkejutannya karena apa yang baru saja Matteo katakan. Alasan uang menjadi latar belakang dari tindakan keji keluarga kecil itu yang bahkan tanpa sungkan melukai.Luka yang berada di kepala Falisha adalah bukti paling nyata. Luka ini masih menganga, masih berdenyut nyeri ketika efek obatnya hilang.Sungguh, Falisha tidak ingin percaya tapi sama sekali tidak melihat kebohongan dari sorot mata Matteo yang kini tengah menatapnya lekat.Keterdiaman Falisha bukannya membuat Matteo bungkam justru pria itu malah mengutarakan opini yang ada di kepalanya."Come on, Sha … apalagi yang Kamu harapkan dari pria brengsek seperti itu? Perselingkuhan di depan mata, sudah! Dia mengusir Kamu serta Ameera dan memilih
Beberapa puluh kilometer dari Alton Tower, apartemen di mana Falisha dan Ameera sekarang tinggal, sesuatu yang tidak biasa terjadi di rumah lama mereka.Berbeda dengan suasana apartemen yang adem ayem, tenang dan damai, keributan yang terasa semakin lama semakin panas berlangsung di kediaman Bramantyo.“Ini semua gara-gara Kamu, Bram! Pokoknya Mama nggak mau tahu, Kamu cari cara biar Papamu segera bebas!” sembur Reni berapi-api dengan sebelah tangan menuding ke arah putra kesayangannya.Bukan tanpa alasan Reni mendadak murka seperti ini, semua karena Bramantyo pulang seorang diri dan tidak membawa serta ayahnya. Padahal mereka ditangkap polisi secara bersamaan."Nggak semudah itu, Ma! Bram bukannya nggak mau ngeluarin Papa, tapi nggak bisa!" sahut Bramantyo mencoba untuk membela diri dengan tidak menaikkan nada bicaranya, "kasus Bram dan kasus Papa dua hal yang berbeda. Bram dituntut oleh pihak rumah sakit sementara Papa terjerat karena melakukan penganiayaan terhadap Lisha. Ada bukti
Detik itu juga Reni memelototkan matanya karena mendengar penolakan Bramantyo.Bukan Bramantyo ingin bersikap durhaka dengan tidak menolong ayahnya sendiri tetapi memang sudah karakter pria itu seperti ini. Jika sudah berurusan dengan yang namanya uang, Bramantyo pelitnya luar biasa. Dia tidak sembarangan ingin mengeluarkan uang pribadinya, meskipun itu untuk orang tuanya sendiri.Untuk menghidupi Falisha dan Ameera saja, selama ini ia menjatah uang bulanan kepada mereka. Cukup tidak cukup harus dicukup-cukupkan, Bramantyo tidak pernah memberikan lebih kecuali dalam keadaan yang memang benar-benar mendesak.Apa yang dikatakan Bramantyo mengenai uangnya tinggal sedikit dan cukup untuk biaya bulanan saja sebenarnya hanya merupakan alibi saja untuk mengelak dari keinginan Reni. Tabungan pribadi Bramantyo masih di angka ratusan juga, belum termasuk rumah, mobil dan aset lainnya yang cukup untuk menyewa lima pengacara sekaligus untuk Benny bahkan membayar uang jaminannya. “Bisa-bisanya Ka
“Ibu, ada lagi yang bisa Bibik bantu? Semuanya sudah beres,” tegur seorang wanita paruh baya yang dikenal Falisha dengan nama Juminten itu.Falisha yang tengah sibuk dengan ponselnya langsung menolehkan kepala ke arah sumber suara.“Nggak ada, Bik … Bik Jum istirahat aja, nanti kalau butuh sesuatu akan Aku panggil kok!” jawab Falisha cepat sambil melemparkan senyumnya.“Ya sudah, Bibik ke kamar dulu ya, Bu …,” balas Juminten lalu bergerak menuju kamar samping dapur yang telah di tempatinya selama tiga terakhir ini.Waktu berlalu bagaikan kedipan mata, hari ini genap tiga hari Falisha dan Ameera tinggal di apartemen milik Matteo di temani dengan Juminten yang datang di sore hari pertama mereka keluar dari Rumah Sakit Glory Falisha tidak mampu menolak kehadiran Juminten karena paksaan Matteo, alasan kesehatan ibu dan anak itu menjadi dasar kuat agar ia menerimanya.Selama ini pun, Falisha tidak pernah menggunakan jasa asisten rumah tangga meskipun sebenarnya Bramantyo mampu untuk memba
"Boleh, Aku memang lapar soalnya dari kantor langsung buru-buru ke sini," balas Matteo ringan, "sekalian Aku nginap ya, besok pagi-pagi Aku ada pertemuan sama klien. Kalau balik ke apartemen ku yang lain, kejauhan. Disini aja, lebih dekat," lanjutnya santai tanpa beban tanpa sadar jika Falisha membatu mendengar kata 'nginap'.Meski ada kesepakatan pra nikah di antara mereka, meski Falisha sangat yakin jika dirinya yang penuh timbunan lemak ini bukan tipe wanita idaman Matteo, tapi mendengar ada pria yang bukan suaminya ingin menginap tetap saja menyemburkan gundah di hati Falisha.“Nginap? Kamu yakin, Mat?” tanya Falisha memastikan kembali jika dirinya tidak salah mendengar setelah berhasil menguasai diri dalam tempo sepersekian detik.Matteo yang sudah beranjak lebih dulu itu sama sekali tidak menyadari adanya perubahan pada ekspresi wajah Falisha karena memang posisinya sudah memunggungi wanita itu sekarang.“Yakin, biar besok nggak terlambat mau ketemu klien. Nanti Aku tidur di kam
“Kamis besok, Kamu jadi ke pengadilan, Mas?” tanya Hera sambil mengoleskan selai srikaya kemasan ke roti tawar milik Bramantyo.Lain wanita tentu lain pula caranya mereka melayani Bramantyo. Falisha setiap hari selalu memberikan Bramantyo apa yang pria itu inginkan untuk mengisi perut dengan kepiawaiannya di dapur walaupun uang belanja diberikan pas-pasan sementara tidak demikian dengan Hera.Hera yang sama sekali tidak bisa memasak bahkan mendadar telur saja gosong memilih melayani Bramantyo dengan caranya yaitu membeli.Seperti sekarang ini, Hera lebih memilih membeli roti dan selai kemasan untuk sarapan mereka berdua. Padahal Hera sudah tinggal menetap di rumah berlantai dua itu sejak Falisha keluar dari rumah.Bramantyo yang sudah tertimpa masalah hukum dan mulai sibuk dengan perceraiannya memilih untuk tidak ambil pusing apa yang Hera sajikan.“Jadi … daripada harus keluar uang lagi buat bayar pengacara untuk ngurusin begituan, lebih baik pergi sendiri,” jawab Bramantyo sekeda
Ting!Denting khas sebagai tanda jika pintu besi telah membuka itu terdengar familiar di telinga Bramantyo. Pria itu keluar dari lift dengan perasaan yang sedikit lebih baik dari sebelumnya, meskipun keanehan akan pandangan ganjil rekan-rekan kerjanya tidak sepenuhnya menghilang dari pikiran.Beberapa hari cuti kerja membuat Bramantyo sedikit merindukan suasana kerja, apalagi kesibukan saat mengejar deadline proyek di waktu yang cukup mepet, adrenalinnya bagai terpacu.Bramantyo jelas cukup nyaman bekerja di PT. Gema Sentosa ini, bukan hanya jabatan serta gajinya yang tinggi tapi juga karena cocok dengan rekan sejawat apalagi ada Hera yang setahun belakangan bisa diajaknya bermain api.Bramantyo melangkah mantap menuju ruang kerjanya dan lagi-lagi mendapatkan tatapan mata yang begitu intens dari para karyawan yang dilewatinya.“Pagi …,” tegur Bramantyo dengan penuh kesengajaan pada Sintia, wanita yang selama ini menjabat sebagai sekretarisnya.Gugup langsung menyergap wanita yang ramb
“Bagaimana para saksi? Sah?”Pertanyaan sederhana tapi sarat makna ini terdengar sedikit keras dari seorang pria berkacamata di ruangan yang terisikan kurang lebih sekitar dua puluhan orang tersebut.Gema kata sah yang mengiyakan balik pertanyaan itu pun segera menggaung memenuhi ruangan berdekorasi putih, semua orang yang ada di sana sepakat seiya sekata dengan si Pria berkacamata yang berprofesi sebagai seorang penghulu ini dan puji-pujian terhadap Tuhan yang Maha Esa pun terlantun kemudian.Benar, apa yang tengah berlangsung adalah pernikahan antara Falisha dan Matteo. Disaksikan langsung oleh keluarga inti masing-masing dan kerabat dekat saja, akad nikah keduanya berlangsung lancar tanpa kendala apapun.Oleh Falisha, ada selaput bening yang menyelimuti netranya. Yang mana, setengah mati Falisha tahan agar tidak jatuh bersama gelombang gejolak rasa. Falisha sama sekali tidak pernah menyangka jika ia akan menikah sampai dua kali bahkan suaminya seorang Matteo Saguna Taslim, teman ma
Sungguh, sekian tahun malang melintang di dunia bisnis, Matteo hampir tidak pernah kehilangan ketenangannya seperti sekarang ini.Bukannya sombong, akan tetapi di bawah tempaan langsung sang Kakek yang merupakan raja bisnis, Matteo memang sepiawai itu. Matteo sedari kecil selalu bisa mengendalikan diri, terutama emosi dan raut wajah hingga tidak bisa terbaca lawan bicaranya.Namun, sekarang semua jerih payahnya menmbentangkan pengendalian terasa sia-sia sebab segalanya dengan mudah digoyahkan oleh Teddy.Memang, keterkejutan yang dialami Matteo hanya sepersekian detik sebelum kemudian pria itu mampu mengontrol kembali emosinya tapi tetap saja dia merasa kecolongan.Kembali, Matteo menelan lagi salivanya demi mengusir gersang yang melanda tenggorokannya walau tak seberapa berguna dan dengan satu tarikan napas panjang tidak kentara diiringi dengan turunnya tangan Teddy yang menunjuknya ia pun berkata.“Apapun yang Saya rencanakan dengan Sasha, kesepakatan apapun yang terjadi antara kami
“Jadi … apa yang ingin Kamu bicarakan? Sampai-sampai mengganggu waktu istirahat Saya seperti ini!”Kalimat langsung yang begitu to the point dan tanpa basa-basi sedikitpun dari Teddy itu membuat Matteo merasa punggungnya kian berkeringat meski berada di ruangan berpendingin ini. Setelah kedatangannya diterima keduanya bertemu dan duduk bersama berhadapan, tapi di lima menit pertama mereka hanya duduk diam saling memandang satu dengan yang lainnya.Keterdiaman yang ada nyata sangat bisa menyebabkan suasana menjadi tegang hingga Matteo tidak berani buka suara terlebih dahulu untuk memulai percakapan.Tersentak Matteo tidak kentara ditegur demikian oleh Teddy, dia sangat jelas jika ayah dari Falisha itu pasti memiliki penilaian tertentu mengenai kehadirannya.“Begini Om …,” ujar Matteo menjawab pelan setelah sebelumnya terlebih dahulu menelan Saliva guna menentramkan ketegangan diri. Sungguh, Matteo rasanya membutuhkan sedikit ruang untuk meredam rasa dan terbersit setitik penyesalan men
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 116 Jalur Keinginan Matteo“Kamu tahu, Mat … sudah Aku putuskan, percepat saja pernikahan kita. Biar semuanya jadi lebih terkendali aja. Aku nggak apa kok, nggak perlu resepsi atau akad atau apapun yang mewah-mewah, tinggal tanda tangan tanpa apapun juga Aku bersedia. Beneran, Aku bersedia dan Papa juga telah merestui ini!”Tidak bisa Matteo tidak tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar, terutama kalimat terakhir yang terlontar dari bibir wanita yang ia pilih sebagai istri itu nantinya.Memang, pernikahan yang ingin dilakukan itu hanyalah pernikahan sebatas di atas kertas pun berjangka waktu tertentu meski belum ada pembicaraan mendetail dengan Falisha mengenai hal ini. Akan tetapi, bukan berarti Matteo ingin melangsungkannya dengan cara yang salah sebab dasar untuk menikah itu sendiri saja sudah tidak benar.Matteo ingin melalui jalur yang baik meski melewatkan momen lamaran dan sekelumit cinta yang seharusnya ada. Walau, ada banyak faktor yang harus
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 115 Percepatan“Kamu nangis? Matamu bengkak gini! Katakan, siapa yang bikin Kamu nangis?”Sungguh, beberapa tahun terakhir ini Falisha jarang sekali menerima perhatian dari orang yang ada disekelilingnya termasuk dari suaminya sekalipun. Koreksi, mantan suami si Bramantyo Satya. Selalunya, Falisha yang menjadi pemberi bukan penerima. Kasus ini tentu dikecualikan untuk putri semata wayangnya Ameera.Kalau pun mendapatkan perhatian kecil, selalu ada embel-embel entah apapun itu juga penghinaan yang mengikuti di belakang. Contoh kecil, saat itu Falisha dalam keadaan sakit. Falisha dikira sengaja berpura-pura sakit karena malas atau manja serta tidak ingin membereskan pekerjaan rumah, tuduhan ini selalu disematkan kepada setiap kali wanita itu menderita flu atau demam. Ujung-ujungnya Falisha tidak dibawa ke dokter dan cuma diberikan obat murah yang beredar di pasaran.Oleh karena itu, apa yang baru saja dilakukan Matteo pada Falisha tak pelak membuat hati wani
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 114 Restu Orang Tua (2)Teddy membalas pelukan Falisha erat, hatinya jelas menghangat atas perlakuan buah hatinya saat ini. Sungguh, Teddy merindukan saat-saat seperti sekarang, saat Falisha bermanja pada dirinya.“Sudah jadi seorang Ibu dan akan menjadi seorang istri lagi … Sasha harus lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab lagi ya.”Kalimat yang baru saja digaungkan Teddy disertai dengan usapan lembut di bagian punggung sukses membuat mata Falisha kian memanas.Falisha tidak mampu menjawab Teddy, sebagai gantinya ia menganggukkan kepala dan bening pun tumpah tanpa bisa dicegah.“Papa nggak tahu ada apa sebenarnya antara Kamu dan Matteo, Nak … tapi, Papa sangat berharap jika pernikahan ini akan menjadi pernikahan terakhir untukmu …,” ujar Teddy lagi tanpa menjeda usapannya dan kembali pria paruh baya itu menghela napas berat.Kalimat yang terlontar dari mulut Teddy
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 113 Restu Orang TuaDalam diamnya Falisha menilai ekspresi kedua orang tuanya. Mudah saja membaca raut wajah Miranda karena keterkejutan nyata tergurat serta tidak ada kemarahan atau keengganan sedikitpun di sana. Akan tetapi, tidak sedemikian mudah menilai ekspresi Teddy.Berbekal pengalaman Teddy di dunia bisnis selama puluhan tahun, pria paruh baya itu mampu mengontrol garis wajahnya sedatar mungkin, dia juga bisa mengendalikan emosi di balik topeng tanpa ekspresinya.Tidak ada yang bisa Falisha nilai pada Teddy kecuali wajah kaku seperti papan dan aura dingin kentara yang kian menciutkan nyalinya.Hanya Teddy sendiri dan Tuhan saja yang tahu keputusan apa yang telah diambil oleh Ayah kandung Falisha itu.Sampai pada akhirnya, Falisha tidak tahan lagi dan memecah kesunyian dengan berkata “Papa … Mama … maukah merestui pernikahan Sasha dengan Mamat?”Sungguh, menunggu jawaban seperti s
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 112 Meminta RestuBerbeda dari rasa yang dialami di awal memasuki ruangan ini, Falisha sedikit menemukan keyakinan di dalam nada bicaranya meski tetap diselimuti oleh keragu-raguan.Kalimat telah terlanjur menggaung, keinginan Falisha juga semakin meneguh sehingga ia memantapkan hati untuk tetap memberitahukan keputusannya kepada Miranda dan Teddy.Dengan mata memerah dan wajah yang masih dirubung haru, Teddy memandang Falisha penuh arti. Begitu pula dengan Miranda yang langsung memberikan perhatiannya untuk Falisha. Pasangan suami istri ini mengkode jika mereka siap mendengarkan sang Anak.Falisha menelan salivanya kasar, berusaha dia sekuat tenaga menekan kegugupan yang melanda lalu angkat bicara di detik berikutnya.“Sasha ingin minta restu Papa dan Mama untuk menikah dengan Mamat.”Lancar jaya sebaris kalimat itu meluncur dari bibir Falisha, seakan apa yang baru saja ia sampaikan adalah hal yang remeh.Terdiam Teddy tanpa ada sepatah katapun yang teruc
Si Gendut - Bab 111 Permintaan Maaf (2)Tertegun Teddy dan Miranda saat mendengarkan apa yang baru saja diucapkan oleh putri kesayangan mereka.Sungguh, tidak terlintas di kepala mereka jika Falisha akan melayangkan permintaan maaf juga sedikit menyinggung masa lalu di situasi seperti sekarang ini.Bukan pasangan paruh baya ini tidak mengerti dengan maksud Falisha, tapi bukankah jika mereka telah bertemu kembali setelah sekian lama itu artinya semua sudah dianggap berlalu.Oleh Falisha, wanita yang telah berstatus janda dengan satu anak itu hanya mampu menundukkan kepala dengan air mata yang terus menitik jatuh. Tidak berani sedikit pun ia mengangkat wajah karena dirundung penyesalan dan rasa bersalah yang begitu kental sebab karena kesalahan yang diperbuatnya berujung pada rentetan masalah berbuntut panjang yang hampir saja mengoyak segala kerja keras orang tuanya.“Sasha … minta maaf … Ma, Pa ….”Bergetar bahu Falisha saat mengucapkan kembali sebaris kalimat tersebut. Ketakutan mulai