Termangu Falisha dengan mulut membisu saat ini, dia duduk di kursi besi dengan mata yang menatap kosong pintu ganda berwarna putih di hadapannya.
Kepala disandarkan Falisha pada tembok tanpa peduli akan penampilannya, pusat perhatian wanita ini hanya pada anaknya yang tengah menjalani operasi.Tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir Falisha sejak kedatangannya yang ditemani Matteo kemari, ia seolah bisu karena dirundung perasaan bersalah.Ya, jelas Falisha menyalahkan dirinya sendiri dalam hal ini. Falisha merasa sumber permasalahan yang sebenarnya adalah berasal dari dirinya.Dalam keterdiamannya, Falisha memutar ulang untuk kesekian kali di kepalanya apa yang Bramantyo lakukan juga ucapkan kepadanya. Pengulangan yang bukan disengaja itu kini seolah berputar dan menjadi pembenaran semu.“Sha …,” tegur Matteo pelan, dia tidak tahan lagi dengan keterdiaman Falisha yang seperti orang kehilangan jiwanya itu.Memang, di dalam peristiwa kecelakaan ini Matteo juga memiliki kesalahan. Maka dari itu dia menunjukkan respek lebih terhadap Falisha terlebih yang ditabraknya ini merupakan sahabat lamanya.Matteo sendiri rela membatalkan semua jadwalnya hari ini hanya demi memberikan dukungan moral pada Falisha, bentuk pertanggungjawabannya. Padahal, sejujurnya ada meeting penting yang harus dihadiri oleh CEO Taslim Grup itu, berkenaan dengan tender besar bernilai miliaran dolar.Beruntung, kolega Matteo mengerti dan bersedia menunda meeting mereka.“Hmm?”“Aku tadi lupa kasih tahu … kalau barang-barang pribadi Kamu … tas selempang, itu ada sama Aku. Akan Aku suruh sopirku mengantarkannya padamu nanti," ucap Matteo mengungkapkan apa yang sempat dia lupakan sejak Falisha sadar pasca kecelakaan.Sejujurnya, bukan itu saja alasan Matteo sebab pria ini ingin membuka pembicaraan agar Falisha tidak larut dalam kebisuan.Karena rasa simpatinya yang besar terhadap Falisha, Matteo lebih suka melihat wanita itu marah-marah atau mengumbar kebencian terhadap mereka atas kesalahan yang dilakukan ketimbang tenggelam dalam nestapanya."Ok!" sahut Falisha singkat dan padat, seakan secara tidak langsung memberitahukan kepada Matteo jika ia tidak berminat untuk bercakap-cakap sekarang, bahkan ia tidak memalingkan tatapan mata dari si pintu ganda.Akan tetapi, Matteo seolah tidak peka dengan keinginan terpendam Falisha sebab ia kembali angkat bicara."Jangan tersinggung … tapi untuk biaya pengobatan rumah sakit ini Kamu tidak perlu khawatir. Semuanya Aku yang akan menanggungnya, ini salah satu bentuk tanggung jawabku terhadap Kalian berdua karena kecelakaan ini. Motormu juga sudah dibawa ke bengkel untuk diperbaiki. Jika seandainya nanti kerusakannya parah, akan ku ganti dengan yang baru," ucap Matteo lagi, berusaha ia menjelaskan dengan kalimat yang dipilihnya dengan kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan Falisha.Kembali, Falisha tidak melirik Matteo sedikitpun ketika kalimat-kalimat itu ia dengar."Baik, makasih Mat," sahut Falisha datar, tanpa ada ekspresi yang berarti.Matteo menghela napas panjang tidak kentara karena sikap Falisha, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasinya. Falisha yang sekarang dikenal Matteo bukan lagi Falisha kecil yang kurus kerempeng tapi ceria penuh tawa seperti dulu melainkan menjelma menjadi sosok yang amat sangat berbeda.Sebenarnya wajar saja, manusia memang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Apalagi mereka tidak pernah berjumpa lagi sejak bertahun-tahun yang lalu.Pun jika bukan karena kartu identitas juga tahi lalat kecil yang ada di bibir bawah Falisha, Matteo juga yakin tidak akan mengenali kawan lamanya itu di pandangan pertama.Hening yang terasa berat bercampur canggung kembali menyelimuti dua orang itu, padahal di sekitaran mereka ada kesibukan yang seolah tidak terhenti tapi hiruk pikuknya tidak menyentuh mereka sama sekali.Untuk beberapa menit yang terasa sangat lama, baik Matteo dan Falisha yang terdiam sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.Terutama Falisha tentu saja, hari ini di mulai dengan kebahagiaan yang melambung karena Ameera berulang tahun yang ke tujuh tapi setelah itu ia bagaikan dihempas ke dasar bumi.Sudah jatuh ditimpa tangga, nasib benar-benar tidak ada yang bisa memprediksinya.Falisha sendiri tidak pernah menyangka bahwa rumah tangganya yang terlihat baik-baik saja itu ternyata telah tersusupi bara. Bara bernama Hera Iswari, yang awalnya ia remehkan tidak dikira akan membakar dirinya sedemikian rupa.Pernikahan siri terjadi di balik punggungnya, bahkan pengkhianatan itu Falisha lihat dengan mata kepalanya sendiri siang ini hingga berujung pada tindak kekerasan terhadap Putri semata wayangnya dan perceraian secara lisan.Berat, sungguh berat hari Falisha. Yang seharusnya dijalani dengan tawa bahagia dan mengumandangkan lagu ulang tahun layaknya keluarga kecil hangat harmonis ternyata yang terjadi malah sangat jauh keluar jalur.Tanpa sadar, berkumpul kembali bening di rongga mata Falisha. Netra kecokelatan wanita itu berselimut bening tanpa sepengetahuan siapapun."Sha … maaf, Aku menempatkan Kamu di posisi seperti ini. Kamu terluka, anakmu juga ikut terluka," ujar Matteo memecah keheningan karena rasa bersalah dan simpatinya pada Falisha.Isakan samar yang tertangkap telinga kontan membuat Matteo berpaling dan mendapati Falisha kini tengah berlinang air mata dalam diamnya. Matteo tidak tahu jika bukan hanya keberadaan Ameera yang tengah operasi yang membuat Falisha jadi seperti ini.Falisha menggeleng-geleng kecil, bening yang terus luruh dibiarkannya saja membasahi pipi tanpa ada niatan untuk mengusapnya."Bukan … bukan salah mu, Mat …," desis Falisha parau, "ini bukan salahmu … Aku juga bawa motor nggak hati-hati … nggak memperhatikan jalan."Falisha bukanlah tipe seorang wanita yang kerap mengumbar masalah, terlebih masalah kehidupan pribadinya. Semua yang menimpanya seharian ini tidak satupun ia ungkap kepada Matteo, pahit perih menyayat hati itu ditelan seutuhnya oleh Falisha."Tapi, Sha …," Matteo ingin membantah tapi gelengan kepala yang diberikan Falisha dan netra basah yang sedang bertatapan dengannya ini membuatnya bungkam."Bukan … bukan sepenuhnya salah Kamu, Mamat …," lirih Falisha tetap pada pendiriannya, "Aku juga salah. Aku lagi kacau banget soalnya tapi malah tetap naik motor, bawa anak pula. It's okay, nggak usah minta maaf terus," sambungnya seraya mengusap asal basah di pipi. Tidak lupa, senyum semampunya Falisha ukir demi meyakinkan Matteo.Oleh Falisha, dia sudah merasa cukup terbantu dengan kehadiran Matteo yang memberikan dukungan moral dan pembiayaan dari pria itu. Setidaknya untuk hal biaya rumah sakit yang pastinya tidak sedikit itu tidak perlu ia pusingkan.Sungguh, ingin rasanya Matteo mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Namun, tidak ada satupun yang mampu ia ucapkan, semuanya hanya menggantung di ujung lidah.Alih-alih membalas kata Falisha, Matteo pun mengangguk kecil menerima ucapan wanita itu.Belum sempat ada kata yang terucap lagi antara mereka berdua, tiba-tiba dering nyaring ponsel Matteo menyela pembicaraan.Perhatian Matteo teralih untuk sesaat. Tanpa melihat, sebenarnya Matteo tahu siapa yang menelponnya. Ada nada dering khusus yang ia sematkan untuk nama-nama tertentu di daftar kontaknya.Baru jemari pria itu menyentuh gawainya, dari arah berlawanan dengan posisi duduknya bersama Falisha, menggema suara nyaring yang memanggil."Lisha!"####"Lisha!!"Merasa dipanggil namanya membuat Falisha menoleh ke arah sumber suara, demikian pula dengan Matteo yang penasaran juga ikut memalingkan wajah dan mengabaikan dering ponselnya sebentar untuk memenuhi keingintahuan.Adalah seorang wanita muda berambut diikat kuncir kuda dan sedang berlari kecil menghampiri posisi Falisha.Falisha mengembuskan napas panjang tapi tetap mengulas senyum di wajahnya untuk wanita itu dan tentu saja ia mengenalinya sebab yang datang ini merupakan salah satu dari seorang sahabat dekatnya, Lina Fayyola Wijaya.Wanita yang bersahabat dengan Falisha sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu terlihat sekali penuh dengan urgensi, ia bahkan melewati Matteo begitu saja tanpa meliriknya sedikitpun.Belum sempat ada sepatah kat
“Siapa kerabat pasien?”Tidak perlu ditanya dua kali dan tanpa mengindahkan rasa sakit yang mencuat di sekujur tubuhnya Falisha langsung beranjak dari posisinya detik itu juga.Apa yang dilakukan oleh Falisha kontan ditiru oleh Lina dan juga Matteo, keduanya tanpa kata bergerak mendekat mengikuti wanita bertubuh tambun itu dari belakang.“Bagaimana keadaan anak Saya, Dok?” tanya Falisha to the points pada seorang pria paruh baya bersneli putih, kecemasan tampak nyata karena tidak lagi mampu tertutupi.Sang Dokter menerbitkan senyum tipis untuk Falisha, “Operasinya berjalan dengan baik dan lancar, tidak ada masalah lagi pada patahan tulang anak Ibu,” ucapnya penuh keyakinan, “anak Ibu sekarang masih belum sadar karena pengaruh biu
“Lisha!”Panggilan ini membuat Falisha menoleh untuk kesekian kalinya dan kontan tersenyum karena sosok wanita yang merupakan sahabat dekatnya.“Ririn!” ucap Falisha sumringah, senang dengan kehadiran wanita yang bernama lengkap Riana Cantika Guzalim, yang biasa ia panggil dengan nama Ririn.Riana melebarkan langkah, dia menyongsong Falisha dengan kedua tangannya yang merentang lalu memeluk hangat sang Sahabat.“Sorry, Aku telat. Si Kulkas itu baru ngebolehin Aku pergi keluar setelah kerjaan selesai semua, makanya nggak bisa datang cepet begitu terima kabar dari Lina,” kata Riana dengan rasa bersalahnya yang cukup besar, “gimana Ameera, Sha?” tanyanya kemudian saat pelukan mereka terurai.Falisha menerbitkan senyum untuk dua orang wanita terdekatnya itu, dia merasa senang karena di saat seperti ini kawan-kawannya selalu ada menemani.“Patah tulang … operasinya berhasil kok. Ini masih dalam pengaruh bius, Meera akan sadar dalam beberapa jam lagi,” balas Falisha sendu, bening berkumpul
Matteo melajukan mobilnya keluar dari Rumah Sakit Glory, dia menyetir seorang diri sebab Satrio atau yang kerap ia panggil dengan nama Rio, yang juga merupakan sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu sudah pulang terlebih dahulu atas perintahnya guna mengurus beberapa pekerjaan.Matteo sendiri tidak kembali ke kantor karena panggilan telepon yang ia terima saat berada di rumah sakit tadi. Panggilan telepon itu jelas lebih mendesak, lebih diprioritaskan daripada sekedar meneruskan pekerjaan mencari pundi-pundi rupiah.Pria berdarah campuran Inggris-Indonesia itu menyusuri jalan raya padat merayap ibukota menuju sebuah kediaman mewah yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.Pintu gerbang langsung dibukakan oleh sang Penjaga Gerbang yang telah mengenali mobil hitam Matteo hingga kendaraan itu melenggang masuk dengan mudahnya menembus keamanan yang cukup ketat tersebut.Matteo memarkirkan mobilnya di sembarang tempat pada halaman rumah yang luas ini, kunc
“Teo … Kamu sadar kan seberapa mendesak hal ini?” ujar Kaisar langsung pada Matteo alih-alih menengahi perdebatan dengan suara pelan dari Yunita dan Heri.Kontan, Matteo menelan salivanya kasar. Dia sadar desakan dari Kakek Kaisarnya tidak terhindarkan lagi.“Aku tahu …,” lirih Matteo menjawab sang Kakek penuh keterpaksaan, intimidasi dari seluruh anggota keluarga inti Kaisar Taslim juga membebaninya.“Gimana? Kamu ada calon?” seloroh Gisella bertanya dengan nada lembut. Tentu dia sangat ingin tahu, pandangan matanya condong ke arah Matteo sekarang.“Pasti tidak ada!” ceplos Yunita tanpa sungkan, nadanya masih arogan meski perdebatan kecilnya dengan Heri tadi sudah berakhir, “halah, gampang aja Teo, Kamu tinggal tunjuk … semua wanita pasti bertekuk lutut sama Kamu. Kurangnya Kamu apa coba? Kamu tampan, kaya, punya segalanya. Tapi, jangankan calon istri, pacar aja pasti nggak punya. Apa jangan-jangan Kamu belok lagi? Kamu gay?” sambungnya lancar tapi pedas dengan kalimat-kalimat sarkas
Matteo mengendarai mobil mewahnya dengan kecepatan sedang, di bagian belakang mobil itu sudah ada beberapa paper bag berisikan pakaian ganti juga makanan. Tujuan pria bernetra biru ini hanya satu sekarang, menuju Rumah Sakit Glory tempat dimana tanggung jawabnya dituntut untuk dituntaskan.Usai rapat keluarga dadakan yang berlangsung panas hingga membuat Matteo mencetuskan kebohongannya, pria itu tidak langsung pulang ke apartemen.Tas selempang milik Falisha yang masih tersimpan di mobilnya sukses mengalihkan pikiran Matteo yang sempat penuh dengan berbagai masalah itu. Rasa tanggung jawabnya mendorong pria itu membeli beberapa barang untuk Falisha, padahal dia bisa menyuruh orang untuk melakukannya.“Bisa banget ya si Tante Yunita itu sepemikiran denganku,” desis Matteo seorang diri saat mobilnya berbelok masuk ke area parkir rumah sakit, “memang, tinggal tunjuk tapi untuk membangun hubungan dengan orang baru itu nggak mudah! Licik sih tapi ya mau gimana lagi dengan waktu yang sudah
Gadis kecil itu membeku dengan tatapan nanar lantas kemudian ia menjerit sekuat tenaga.“Aaarrgghh!!” pekik Ameera yang kontan mengejutkan Falisha juga Matteo.Tidak ada yang tahu jika Ameera mengalami trauma mendalam karena kekasaran yang ia terima dari ayah kandungnya, Bramantyo. Trauma itu ditambah lagi dengan kecelakaan yang menimpanya hingga harus mengalami patah tulang. Akumulasi dari semua itu memberikan efek yang tidak disangka oleh siapapun.Tawa dan senyum bahagia Ameera seketika berubah menjadi panik dan ketakutan sebab kehadiran pria asing yang ia kira akan menyakitinya dan dia tidak mampu mengungkapkannya dengan baik hingga jeritan itulah yang timbul sebagai ekspresi perasaannya.Disaat yang sama, teriakan itu membuat langkah Matteo sontak terhenti. Heran dan kaget menjadi rasa yang paling mendominasi hingga ia tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun.“Gyaa! Gyaa! Ma, Ma, Ma!” seru Ameera meracau, sebelah tangannya yang sehat langsung meraup lengan Falisha untuk mencari
"Mau Ku bantu balas dendam? Aku yakin, pasti ada udang dibalik batu karena perceraian ini," ucap Matteo memberikan tawaran gilanya.Tertegun sesaat Falisha akan tawaran yang baru saja ia dengar, ia sendiri tidak menyangka jika sebaris kalimat itu akan keluar dari bibir Matteo.Tidak mampu Falisha merangkai kata untuk membalas ucapan Matteo, kepalanya mendadak kosong sekarang.Namun, bukan berarti Matteo menyerah begitu saja karena reaksi yang ditunjukkan Falisha. Diamnya Falisha justru dimanfaatkan oleh Matteo untuk melancarkan serangan bujukan sebab mungkin saja rencana yang ada di kepalanya bisa terwujud bersama wanita itu."Ku bantu … bagaimana?" ucap Matteo lagi mengulangi tawarannya, kali ini dengan nada yang lebih lembut serta penuh bujukan, "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada rumah tangga mu, tapi ku tebak … perceraianmu itu pasti mendadak, ‘kan?” sambungnya telak, kalimatnya tajam menusuk tepat di relung hati Falisha.Semakin Falisha tidak bisa berkata-kata karena Matteo, te
“Bagaimana para saksi? Sah?”Pertanyaan sederhana tapi sarat makna ini terdengar sedikit keras dari seorang pria berkacamata di ruangan yang terisikan kurang lebih sekitar dua puluhan orang tersebut.Gema kata sah yang mengiyakan balik pertanyaan itu pun segera menggaung memenuhi ruangan berdekorasi putih, semua orang yang ada di sana sepakat seiya sekata dengan si Pria berkacamata yang berprofesi sebagai seorang penghulu ini dan puji-pujian terhadap Tuhan yang Maha Esa pun terlantun kemudian.Benar, apa yang tengah berlangsung adalah pernikahan antara Falisha dan Matteo. Disaksikan langsung oleh keluarga inti masing-masing dan kerabat dekat saja, akad nikah keduanya berlangsung lancar tanpa kendala apapun.Oleh Falisha, ada selaput bening yang menyelimuti netranya. Yang mana, setengah mati Falisha tahan agar tidak jatuh bersama gelombang gejolak rasa. Falisha sama sekali tidak pernah menyangka jika ia akan menikah sampai dua kali bahkan suaminya seorang Matteo Saguna Taslim, teman ma
Sungguh, sekian tahun malang melintang di dunia bisnis, Matteo hampir tidak pernah kehilangan ketenangannya seperti sekarang ini.Bukannya sombong, akan tetapi di bawah tempaan langsung sang Kakek yang merupakan raja bisnis, Matteo memang sepiawai itu. Matteo sedari kecil selalu bisa mengendalikan diri, terutama emosi dan raut wajah hingga tidak bisa terbaca lawan bicaranya.Namun, sekarang semua jerih payahnya menmbentangkan pengendalian terasa sia-sia sebab segalanya dengan mudah digoyahkan oleh Teddy.Memang, keterkejutan yang dialami Matteo hanya sepersekian detik sebelum kemudian pria itu mampu mengontrol kembali emosinya tapi tetap saja dia merasa kecolongan.Kembali, Matteo menelan lagi salivanya demi mengusir gersang yang melanda tenggorokannya walau tak seberapa berguna dan dengan satu tarikan napas panjang tidak kentara diiringi dengan turunnya tangan Teddy yang menunjuknya ia pun berkata.“Apapun yang Saya rencanakan dengan Sasha, kesepakatan apapun yang terjadi antara kami
“Jadi … apa yang ingin Kamu bicarakan? Sampai-sampai mengganggu waktu istirahat Saya seperti ini!”Kalimat langsung yang begitu to the point dan tanpa basa-basi sedikitpun dari Teddy itu membuat Matteo merasa punggungnya kian berkeringat meski berada di ruangan berpendingin ini. Setelah kedatangannya diterima keduanya bertemu dan duduk bersama berhadapan, tapi di lima menit pertama mereka hanya duduk diam saling memandang satu dengan yang lainnya.Keterdiaman yang ada nyata sangat bisa menyebabkan suasana menjadi tegang hingga Matteo tidak berani buka suara terlebih dahulu untuk memulai percakapan.Tersentak Matteo tidak kentara ditegur demikian oleh Teddy, dia sangat jelas jika ayah dari Falisha itu pasti memiliki penilaian tertentu mengenai kehadirannya.“Begini Om …,” ujar Matteo menjawab pelan setelah sebelumnya terlebih dahulu menelan Saliva guna menentramkan ketegangan diri. Sungguh, Matteo rasanya membutuhkan sedikit ruang untuk meredam rasa dan terbersit setitik penyesalan men
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 116 Jalur Keinginan Matteo“Kamu tahu, Mat … sudah Aku putuskan, percepat saja pernikahan kita. Biar semuanya jadi lebih terkendali aja. Aku nggak apa kok, nggak perlu resepsi atau akad atau apapun yang mewah-mewah, tinggal tanda tangan tanpa apapun juga Aku bersedia. Beneran, Aku bersedia dan Papa juga telah merestui ini!”Tidak bisa Matteo tidak tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar, terutama kalimat terakhir yang terlontar dari bibir wanita yang ia pilih sebagai istri itu nantinya.Memang, pernikahan yang ingin dilakukan itu hanyalah pernikahan sebatas di atas kertas pun berjangka waktu tertentu meski belum ada pembicaraan mendetail dengan Falisha mengenai hal ini. Akan tetapi, bukan berarti Matteo ingin melangsungkannya dengan cara yang salah sebab dasar untuk menikah itu sendiri saja sudah tidak benar.Matteo ingin melalui jalur yang baik meski melewatkan momen lamaran dan sekelumit cinta yang seharusnya ada. Walau, ada banyak faktor yang harus
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 115 Percepatan“Kamu nangis? Matamu bengkak gini! Katakan, siapa yang bikin Kamu nangis?”Sungguh, beberapa tahun terakhir ini Falisha jarang sekali menerima perhatian dari orang yang ada disekelilingnya termasuk dari suaminya sekalipun. Koreksi, mantan suami si Bramantyo Satya. Selalunya, Falisha yang menjadi pemberi bukan penerima. Kasus ini tentu dikecualikan untuk putri semata wayangnya Ameera.Kalau pun mendapatkan perhatian kecil, selalu ada embel-embel entah apapun itu juga penghinaan yang mengikuti di belakang. Contoh kecil, saat itu Falisha dalam keadaan sakit. Falisha dikira sengaja berpura-pura sakit karena malas atau manja serta tidak ingin membereskan pekerjaan rumah, tuduhan ini selalu disematkan kepada setiap kali wanita itu menderita flu atau demam. Ujung-ujungnya Falisha tidak dibawa ke dokter dan cuma diberikan obat murah yang beredar di pasaran.Oleh karena itu, apa yang baru saja dilakukan Matteo pada Falisha tak pelak membuat hati wani
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 114 Restu Orang Tua (2)Teddy membalas pelukan Falisha erat, hatinya jelas menghangat atas perlakuan buah hatinya saat ini. Sungguh, Teddy merindukan saat-saat seperti sekarang, saat Falisha bermanja pada dirinya.“Sudah jadi seorang Ibu dan akan menjadi seorang istri lagi … Sasha harus lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab lagi ya.”Kalimat yang baru saja digaungkan Teddy disertai dengan usapan lembut di bagian punggung sukses membuat mata Falisha kian memanas.Falisha tidak mampu menjawab Teddy, sebagai gantinya ia menganggukkan kepala dan bening pun tumpah tanpa bisa dicegah.“Papa nggak tahu ada apa sebenarnya antara Kamu dan Matteo, Nak … tapi, Papa sangat berharap jika pernikahan ini akan menjadi pernikahan terakhir untukmu …,” ujar Teddy lagi tanpa menjeda usapannya dan kembali pria paruh baya itu menghela napas berat.Kalimat yang terlontar dari mulut Teddy
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 113 Restu Orang TuaDalam diamnya Falisha menilai ekspresi kedua orang tuanya. Mudah saja membaca raut wajah Miranda karena keterkejutan nyata tergurat serta tidak ada kemarahan atau keengganan sedikitpun di sana. Akan tetapi, tidak sedemikian mudah menilai ekspresi Teddy.Berbekal pengalaman Teddy di dunia bisnis selama puluhan tahun, pria paruh baya itu mampu mengontrol garis wajahnya sedatar mungkin, dia juga bisa mengendalikan emosi di balik topeng tanpa ekspresinya.Tidak ada yang bisa Falisha nilai pada Teddy kecuali wajah kaku seperti papan dan aura dingin kentara yang kian menciutkan nyalinya.Hanya Teddy sendiri dan Tuhan saja yang tahu keputusan apa yang telah diambil oleh Ayah kandung Falisha itu.Sampai pada akhirnya, Falisha tidak tahan lagi dan memecah kesunyian dengan berkata “Papa … Mama … maukah merestui pernikahan Sasha dengan Mamat?”Sungguh, menunggu jawaban seperti s
Si Gendut Penakluk Bos - Bab 112 Meminta RestuBerbeda dari rasa yang dialami di awal memasuki ruangan ini, Falisha sedikit menemukan keyakinan di dalam nada bicaranya meski tetap diselimuti oleh keragu-raguan.Kalimat telah terlanjur menggaung, keinginan Falisha juga semakin meneguh sehingga ia memantapkan hati untuk tetap memberitahukan keputusannya kepada Miranda dan Teddy.Dengan mata memerah dan wajah yang masih dirubung haru, Teddy memandang Falisha penuh arti. Begitu pula dengan Miranda yang langsung memberikan perhatiannya untuk Falisha. Pasangan suami istri ini mengkode jika mereka siap mendengarkan sang Anak.Falisha menelan salivanya kasar, berusaha dia sekuat tenaga menekan kegugupan yang melanda lalu angkat bicara di detik berikutnya.“Sasha ingin minta restu Papa dan Mama untuk menikah dengan Mamat.”Lancar jaya sebaris kalimat itu meluncur dari bibir Falisha, seakan apa yang baru saja ia sampaikan adalah hal yang remeh.Terdiam Teddy tanpa ada sepatah katapun yang teruc
Si Gendut - Bab 111 Permintaan Maaf (2)Tertegun Teddy dan Miranda saat mendengarkan apa yang baru saja diucapkan oleh putri kesayangan mereka.Sungguh, tidak terlintas di kepala mereka jika Falisha akan melayangkan permintaan maaf juga sedikit menyinggung masa lalu di situasi seperti sekarang ini.Bukan pasangan paruh baya ini tidak mengerti dengan maksud Falisha, tapi bukankah jika mereka telah bertemu kembali setelah sekian lama itu artinya semua sudah dianggap berlalu.Oleh Falisha, wanita yang telah berstatus janda dengan satu anak itu hanya mampu menundukkan kepala dengan air mata yang terus menitik jatuh. Tidak berani sedikit pun ia mengangkat wajah karena dirundung penyesalan dan rasa bersalah yang begitu kental sebab karena kesalahan yang diperbuatnya berujung pada rentetan masalah berbuntut panjang yang hampir saja mengoyak segala kerja keras orang tuanya.“Sasha … minta maaf … Ma, Pa ….”Bergetar bahu Falisha saat mengucapkan kembali sebaris kalimat tersebut. Ketakutan mulai