Raden Bantar Gading tertegun meihat ibunya tengah duduk dikelilingi tujuh orang dayang di taman kaputren. Pemuda itu ingin berbalik, tapi ibunya sudah keburu melihat dan memanggil. Raden Bantar Gading melangkah menghampiri. Kemurungan di wajahnya sulit untuk disembunyikan.
Permaisuri Pramita Wardani memandangi wajah anaknya yang kelihatan murung. Tangannya menggapai lembut dan menggamit jari-jari tangan pemuda itu, lalu membawanya duduk di sampingnya. Raden Bantar Gading tidak tahu harus berkata apa lagi. Semula dia ingin mengatakan adegan yang disaksikan di kamar peristirahatan pribadi ayahnya. Tapi, saat melihat keanggunan dan senyum ibunya, hatinya langsung luluh. Rasanya tidak sanggup untuk menghancurkan hati wanita yang lembut dan anggun ini.
“Ada apa, Anakku? Kau kelihatan murung sekali,” lembut suara Permaisuri Pramita Wardani.
“Tidak apa-apa, Bunda. Nanda hanya ingin bertemu saja,” jawab Raden Bantar Gading pelan. Disembunyikannya
“Maafkan Nanda, Bunda. Bukan maksud Nanda ingin menggurui. Tapi Nanda tidak bisa terus menerus melihat Bunda begini. Nanda hanya ingin melihat Bunda tersenyum bahagia,” kata Raden Sangga Alam.“Bunda sudah bahagia, Anakku. Bunda selalu tersenyum bila bersamamu. Hanya kau yang bisa membuat Bunda bahagia, Anakku.”“Hhh… kalau saja Gusti Ratu Kunti Boga tidak tergulingkan…” desah Raden Sangga Alam bergumam lirih.“Untuk apa kau berkata demikian?” tegur Permaisuri Pramita Wardani.“Bunda! Apakah keadaan ini bisa berubah jika Gusti Ratu Kunti Boga keluar dari kamar tahanan bawah tanah?” tanya Raden Sangga Alam.“Entahlah…” desah Permaisuri Pramita Wardani.“Kerajaan Gantar Angin bakal runtuh kalau keadaannya seperti ini terus.”“Sudahlah, Anakku. Kau tidak perlu memikirkan kerajaan. Aku tak mau kehilanganmu. Penderitaanku sudah cu
Prabu Abiyasa memutar kudanya, lalu menggebahnya meninggalkan Bukit Batu. Patih Luminta berbalik memandang Raden Bantar Gading. Pemuda itu masih menghunus pedangnya di depan dada. Tatapan matanya tetap tajam menusuk. Sementara dua jago dari sebrang melangkah mendekati Patih Luminta.“Sarungkan kembali peedangmu, Raden. Hamba bersedia mendengar semua keluhan Raden,” bujuk Patih Luminta lagi.Trek!Raden Bantar Gading menyarungkan pedangnya. Raut wajahnya masih merah meyimpan amarah. Dia berbalik dan melangkah tanpa bicara sedikitpun. Patih Luminta bergegas mengikuti dari belakang. Sempat diperintahkan pada para prajurit untuk kembali menyuruh orang-orang bekerja.“Raden…!” panggil Patih Luminta terus melangkah cepat membuntuti.Raden Bantar Gading tidak menyahut. Dia terus saja melangkah menghampiri kudanya, kemudian melompat naik ke atasnya. Sekali gebah saja, kuda putih itu berlari cepat membelah angin. Patih Luminta
Seruni hanya mengangguk saja, kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Ki Maruta bergegas kembali menemui dua orang pemuda yang bertugas mengamati keadaan di sekitar Bukit Batu. Dia ingin mengajak dua orang pemuda itu untuk kembali ke Hutan Danaraja, tempat mereka berkumpul menyusun kekuatan untuk menggulingkan tahta Prabu Abiyasa.Saat itu, matahari sudah condong ke barat. Dan rakyat yang bekerja paksa memecah batu di Bukit Batu mulai berbenah diri untuk kembali ke barak.Sementara sebagian prajurit juga sudah kembali ke tenda masing-masing. Tak terlihat wajah ceria di antara sekian banyak orang itu. Bahkan para prajurit pun tidak menampakkan wajah yang menyenangkan. Mungkin mereka jenuh, karena seharian hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di atas bukit yang gersang dan panas ini.-o0o-Susah payah Patih Luminta membujuk, dan pada akhirnya Raden Bantar Gading bersedia kembali ke istana. Tapi Raden Bantar Gading tetap tidak ingin bertemu a
PAGI-PAGI sekali sebelum matahari terbit, Raden Bantar Gading telah memacu kudanya keluar dari Istana Gantar Angin. Keputusannya mantap untuk meninggalkan segala yang dimiliki dan dinikmati. Tekadnya bulat. Dia harus menemukan kembali wanita yang selama ini telah mengisi hari-harinya. Wanita yang begitu memperhatikannya.“Raden….tunggu!”Raden Bantar Gading terkejut ketika mendengar suara panggilan dari belakang. Padahal dia baru saja melewati pintu gerbang istana. Terpaksa dihentikannya laju kudanya, dan menoleh. Tampak Patih Luminta memacu cepat kudanya.“Raden…. Raden akan ke mana?” tanya Patih Luminta.“Pergi,” sahut Raden Bantar Gading singkat. Kembali dipacu kudanya dengan cepat.Patih Luminta mengikuti memacu kudanya di samping pemuda itu. Sebentar dia menoleh ke belakang. Tampak dua perajurit yang berdiri di samping pintu gerbang tengah memandanginya. Sementara Raden Bantar Gading terus mema
Raden Bantar Gading mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang tangannya buntung sampai ke bahu. Usianya hampir sebaya dengannya. Dia ingat, laki-laki itu bernama Jalak Sewu. Tangannya buntung karena terbabat pedangnya, ketika Jalak Sewu menolak untuk bekerja di Bukit Batu. Jalak Sewu sebenarnya putra seorang pembesar istana yang setia kepada Ratu Kunti Boga. Seluruh keluarganya habis terbantai. Hanya dia yang masih selamat.Raden Bantar Gading juga kenal dengan tiga orang lainnya. Mereka adalah bekas panglima setia Ratu Kunti Boga. Dan Ki Maruta sendiri sebenarnya adalah bekas penasehat pribadi Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri saat Prabu Abiyasa menyerbu dan menggulingkan tahta Kerajaan Gantar Angin.Pandangan mata Raden Bantar Gading beralih pada satu-satunya wanita yang berdiri di antara lima orang laki-laki pemimpin pemberontak itu. Wanita yang amat dikenalnya, sekaligus mengisi hari-harinya selama ini. Wanita yang selalu dirindukan dalam beberapa hari
Raden Bantar Gading membuka matanya. Dipandanginya pemuda tampan berbaju kulit ular di sampingnya. Dia seperti tidak percaya kalau dirinya masih hidup. Sementara pemuda berbaju kulit ular berdiri tegak, dan melangkah tegak ke depan.Dua puluh lima orang di atas pohon sudah kembali menyiapkan panah. Pemuda tampan berbaju kulit ular yang memang adalah Manggala itu menatap tajam pada Ki Maruta. Laki-laki tua itu sedikit bergidik menerima sorot mata putih Si Buta dari Sungai Ular.“Aku melihat semua yang terjadi, dan aku mendengar semua percakapan kalian. Sungguh sangat disayangkan niat yang suci ternyata ternoda oleh perasaan sakit hati dan dendam,” dingin dan lugas kata-kata Manggala.“Kisanak! Kau sudah mengatakan tidak akan ikut campur. Sekarang mengapa kau mencampuri urusan kami?” lantang suara Ki Maruta.“Aku memang tidak akan mencampuri urusan kalian di Gantar Angin ini. Tapi aku tidak bisa diam melihat kekejaman di depan
Tidak mudah mendapat kesempatan seperti itu sekali lagi. Manggala menghentikan lari kuda setelah yakin betul tidak ada lagi yang mengejarnya. Bergegas dia melompat turun sambil memondong tubuh Patih Luminta. Tombak yang menancap di punggung laki-laki setengah baya itu masih menembus dadanya. Wajah Patih Luminta sudah pucat pasi, dan napasnya tersendat-sendat.“Kisanak. Tindakan ini sangat membahayakan dirimu,” kata Patih Luminta tersendat.“Tenanglah, jangan banyak bicara. Aku akan mencabut tombak ini,” kata Manggala seraya membaringkan tubuh Patih Luminta.“Percuma Kisanak. Tidak ada gunanya… Ugh, ugh!” Patih Luminta mulai terbatuk, dan wajahnya semakin pucat pasi.Manggala membaringkan miring laki-laki setengah baya itu. Melihat tombak yang tembus dari punggung ke dada, memang tidak ada harapan lagi bagi Patih Luminta untuk bertahan lama. Sudah pasti tombak telah menyayat jantungnya. Manggala diam tidak bertind
“Aku memang menunggumu di sini. Tadinya aku akan menemuimu langsung, tapi Seruni mencegah,” sahut Raden Bantar Gading.“Aku menyesal tidak bisa melindunginya,” desah Manggala.“Kau sudah berbuat banyak, Kakang,” sergah Seruni.Manggala tersenyum tipis.“Aku sama sekali tidak tahu kalau selama ini hanya dijadikan boneka mainan,” pelan suara Raden Bantar Gading.“Sudahlah! Yang penting, sekarang kalian sudah tahu diri masing-masing,” kata Manggala bijaksana.“Kisanak…”“Panggil saja aku Manggala,” potong Manggala.“Terima kasih.”“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Manggala.“Entahlah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku….” Suara Raden Bantar Gading terputus.“Kau ingin membalas kematian ayahmu?” tanya Manggala.Raden Bantar Gading tidak men
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana