Si Buta dari Sungai Ular segera berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya bagaikan sebuah bayangan yang terbawa angin, meluncur cepat ke arah rumah yang tampak gelap itu. Dan dalam waktu yang singkat saja, dia sudah berada di depan pintu rumah itu.
Sebentar matanya memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sepi, tak terlihat satu manusia pun di tempat itu.
Pelahan-lahan Manggala mendekati pintu rumah itu. keningnya agak berkerut, karena pintu itu tidak tertutup sepenuhnya. Maka dengan pelahan, tangannya terjulur dan membuka pintu yang memang sudah sedikit terbuka itu. Sejenak Manggala mengerjapkan matanya, walaupun dalam keadaan gelap. Tapi Mata Kilat Manggala dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan.
Kemudian dengan hati-hati sekali kakinya melangkah masuk. Namun belum lagi Si Buta dari Sungai Ular itu masuk lebih ke dalam, mendadak telinganya mendengar desiran angin halus dari arah belakang.
Buru-buru dia mengegoskan tubuhnya ke
"Kalau begitu, kau urus saja persoalanmu sendiri. Dan aku...""Tidak semudah itu, Pengemis Tongkat Hitam, celetuk Manggala memotong."Apa maksudmu?""Kau telah mencampuri urusanku dengan membokongku dari belakang""Bocah setan! Kaulah yang memulai lebih dahulu tahu" sentak Pengemis Tongkat Hitam sengit."He..." Manggala jadi tersentak.-o0o-Pertengkaran dua tokoh rimba persilatan itu mendadak terhenti. Kini mereka mulai menyadari, bahwa persoalan yang sedang dihadapi terpusat pada satu tujuan. Meskipun belum terucapkan, tapi masing-masing sudah bisa mengerti. Dan hal itu benar-benar sangat mengejutkan. Mereka masing-masing sebenarnya tidak mau saling berurusan, tetapi kali ini mereka terbentur pada pokok persoalan yang sama tanpa diduga sebelumnya. Mereka sepertinya sama-sama menyesali pertemuan yang tidak diharapkan itu."Baiklah, Si Buta dari Sungai Ular. Meskipun aku tidak mengharapkan kehadiranmu, tapi tujuan kita sama," k
Pendeta Pasanta mendekati jendela, dan membukanya lebar-lebar. Cahaya matahari langsung menerobos masuk dan menerangi seluruh ruangan itu. Angin yang bertiup kencang pun segera mengibarkan kain tirai jendela. Di depan jendela ada sebuah taman yang cukup luas dan tertata indah. Di sana tampak tengah duduk seorang perempuan tua yang dikelilingi oleh gadis-gadis cantik berjumlah lima orang."Mak...," desis Lastri begitu mengenali wanita tua itu."Ibumu tidak apa-apa, dia tetap sehat dan terjaga di sini," kata Pendeta Pasanta.Lastri lalu mendekati jendela, dan memandangi wanita tua itu. Tak salah, wanita tua itu memang ibunya. Meskipun keadaan tubuhnya segar dan sehat, tapi raut wajahnya tidak mencerminkan kebahagiaan. Kemudian Lastri segera berbalik dan memandang Pendeta Pasanta yang kini sudah duduk di kursi dekat pintu."Mana Bapak?" tanya Lastri ketus."Tidak ada di sini," sahut Pendeta Pasanta kalem."Ke mana? Kau bunuh...?" agak tertahan
Tampak di tengah-tengah padang rumput itu terdapat sebuah bangunan megah bagai istana. Bangunan itu berdiri tepat di tengah-tengah padang rumput yang luas terhampar bagai permadani. Bangunan itu sangat indah, dan berlapis bagaikan emas. Cahayanya begitu kemilau dan menyilaukan mata. Tapi anehnya, bangunan itu tidak dikelilingi dengan tembok benteng seperti pada umumnya bangunan-bangunan istana lainnya. Dan keadaannya juga sunyi, seperti tidak berpenghuni sama sekali.Namun untuk mendekatinya, mustahil kalau tidak ketahuan. Istana itu berada di tengah-tengah padang rumput yang luas dan datar. Satu gerakan sedikit saja, pasti akan ketahuan oleh pemiliknya. Dan serangan-serangan tadi sudah merupakan pertanda kalau di Puncak Bukit Batu ini ada penghuninya."Aku harus mengetahui tempat itu. Orang-orang yang kuintai tadi telah menghilang di sini. Hm..., pasti mereka berada di dalam bangunan istana itu," bisik pemuda berpakaian kulit ular itu dalam hati.Beberapa saat
"Hm..., rupanya kehadiranku memang sudah ditunggu," gumam Si Buta dari Sungai Ular dalam hati.Matanya terus beredar berkeliling. Seketika dia tersentak ketika mereka keluar dari balik persembunyiannya. Jumlah mereka tidak terhitung lagi karena banyaknya. Dan semua sudah menghunus senjata masing-masing. Tampak mereka yang memegang panah sudah mengarahkannya pada Si Buta dari Sungai Ular.Menyadari dirinya sudah terkepung, Manggala segera mencari jalan untuk bisa keluar dari tempat itu. Tapi semua sudut dan celah sudah terisi rapat. Dan pada saat Manggala tengah berpikir keras itu, mendadak dua buah bayangan biru berkelebat ke atas atap. Sebentar saja di samping kiri dan kanan Si Buta dari Sungai Ular itu kini sudah berdiri dua orang yang berpakaian biru dan ketat. Dan tanpa banyak bicara lagi mereka langsung berlompatan menyerang.Sementara tidak ada pilihan lain lagi bagi Si Buta dari Sungai Ular. Dia pun terpaksa menghadapi dua orang itu. Kini pertempuran di a
MALAM kian merayap semakin larut. Suasana di sekitar istana megah di Puncak Bukit Baru itu kembali sunyi, seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Namun pemuda tampan yang dipanggil Prabu Dewata Cengkar, masih duduk di kursi indah yang berukir dan berwarna keemasan. Di depannya tampak duduk bersila seorang laki-laki tua yang berkulit hitam, dan mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar.Di dalam ruangan besar dan indah itu hanya terlihat mereka berdua saja. Kesunyian masih menyelimuti ruangan itu. Tampak laki-laki tua berkulit hitam dengan nama Branta Mudya itu menundukkan kepalanya. Di tangannya masih tergenggam Tulang Ekor Naga Emas milik Si Buta dari Sungai Ular."Paman Branta Mudya, apa sebenarnya yang hendak kau bicarakan?" tanya Prabu Dewata Cengkar memecah kesunyian."Tentang senjata ini, Gusti Prabu," sahut Branta Mudya sambil mengangkat kepalanya."Hm..., ya. Apa yang ingin kau bicarakan, Paman Branta Mudya?""Itulah yang ingin hamba bi
Manggala masih tetap diam dengan otak yang terus bekerja keras menduga-duga."Antara aku dan Raja Siluman Ular Putih adalah saudara seperguruan. Aku adik seperguruan dari Raja Siluman Ular Putih. Meskipun di antara kami banyak terjadi perbedaan, tapi aku sangat menyayanginya. Aku juga sangat sedih dan merasa kehilangan ketika mendengar kabar tentang dia menghilang seperti ditelan bumi," Branta Mudya mulai membuka diri.Tentu saja Manggala terkejut setengah mati mendengarnya. Dia benar-benar tidak menduga, kalau laki-laki tua itu masih saudara seperguruan dengan gurunya. Kini Manggala tidak bisa lagi berkata-kata, namun sinar matanya menyiratkan belum sepenuhnya percaya."Seperti halnya Raja Siluman Ular Putih. Aku juga sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk melepaskan segala urusan dunia. Lebih-lebih dengan urusan dendam yang tidak akan pernah berakhir. Dan aku sudah memutuskan untuk mengabdi pada Prabu Dewata Cengkar, karena kehidupan di sini selalu dalam ke
Manggala tampak duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani tebal dan berwarna merah hati. Di sampingnya duduk pula Branta Mudya. Sementara di belakang Branta Mudya adalah si Kembar Iblis Biru. Kini ruangan yang besar dan indah itu sudah dipenuhi orang-orang yang berpakaian putih dan hitam. Sedangkan di depan mereka tampak duduk dengan penuh wibawa, seorang pemuda tampan yang mengenakan pakaian indah dan bersulamkan benang emas. Pemuda itu duduk di kursi yang berukir dan berlapis bagai emas."Aku sudah dengar semua tentang dirimu dari Paman Branta Mudya. Dan sekarang aku hanya ingin tahu, apa tujuanmu datang ke Istana Dewata Cengkar ini?" tanya Prabu dengan suara besar dan berwibawa."Aku hanya kebetulan lewat. Tadinya aku sedang mengejar empat orang yang berpakaian serba putih yang..., maaf, sama persis dengan yang mereka pakai," sahut Manggala sambil menunjuk orang-orang yang mengenakan baju serba putih yang ketat."Apakah mereka ada di antara orang-oran
"Ilmu sihir, maksud Paman?""Semacam itu.""Hm...," Manggala bergumam tidak jelas. "Paman tahu, siapa orang itu?""Aku hanya menduga, mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi dugaanku sangat beralasan.""Siapa?""Pendeta Pasanta.""Ah..." Manggala tersentak kaget. Dia memang sudah menduga, kalau orang di balik semua kemelut ini adalah Pendeta Pasanta. Dan itu pernah diucapkan oleh Lastri padanya."Kau sudah tahu, Manggala?""Belum," sahut Manggala cepat."Beberapa tahun lalu, Pendeta Pasanta memang berada di istana ini. Dia adalah seorang pendeta murtad yang ingin bertobat. Tapi kedatangannya rupanya bukan untuk bertobat, melainkan punya maksud tersembunyi. Dan hal itu dapat diketahui dengan cepat oleh Prabu Dewata Cengkar. Dan atas kesepakatan bersama, kami mengusir Pendeta Pasanta, dan tidak boleh kembali lagi sebelum dia benar-benar bertobat," Branta Mudya menjelaskan."Hm..., aku mengerti sekarang. Rupanya Pend
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana