Share

Chapter 11

Author: Yui246
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Kami menyelesaikan makan siang ini tepat pukul setengah empat sore. Kami berbicara banyak hal, dan pembicaraan bersama orang tua ini membuat perasaanku semakin tenang. Sepertinya Pak Dongdong juga menyadari bahwa aku berda dalam masalah sehingga ia tak menanyakan hal-hal yang sensitif atau mengundang perasaan negatif kembali.

Ia cenderung menceritakan pengalamannya yang menarik. Ada kalanya aku menanggapi dengan beberapa pertanyaan lebih detail, atau tertawa mendengar hal yang tak masuk akal atau prasangkanya yang menarik. Terlebih karakter Pak Dongdong ini ceria, jadi aku menerima energi positif darinya dengan sangat mudah.

Saat kami keluar dari ruangan pribadi ini, kami bersamaan dengan pemilik ruangan di seberang kami. Namun mereka semua belum keluar dan beberapa masih ada yang di dalam. Sedangkan salah satu orang lainnya menahan pintunya terbuka. Jadi mau tidak mau, aku dan Pak Dongdong bisa melihat kondisi ruangan tetangga kami tersebut.

Pandangan mataku bertau dengan seorang pria yang mengenakan kaos hitam polos dan celana coklat yang duduk di kursi makan, posisinya menghadap pintu keluar-masuk satu-satunya ini. Tiba-tiba ia tersentak melihatku, “Kamu!” Teriaknya tiba-tiba.

Aku yang mendengar itupun juga terkejut. “Apasih Juan! Kau gak setuju aku mengusir Rio?” Tanya seorang pria yang membuka pintu itu.

“Rony, kamu sengaja mengusirku? Lihat Bos Juan saja tak setuju,” balas pria lainnya.

Oh, rupanya ia berbicara dengan temannya. Aku pikir ia memakiku.

Aku tersenyum singkat untuk menyapanya dan melenggang pergi melewati lorong restoran ini. Wajah pria yang memaki tadi tampan. Hanya itu yang bisa aku simpulkan. Namun aku sudah melupakan wajahnya seperti apa, yang teringat hanya pujian tampan untuknya saja.

Pak Dondong mengekor di belakangku sembari membawa beberapa bungkus kotak makanan untuk keluarganya. Itu janji yang sudah aku katakan untuk mengajaknya makan bersama. Sebab, aku tak bisa menahan rasa sepi makan sendirian tanpa ditemani seseorang dalam situasiku sekarang ini.

Saat kami di tempat parkir, Pak Dongdong memaksaku untuk menunggu sejenak, ia bermaksud untuk membukakan pintu untukku. Aku tak ingin berdebat dan membiarkannya terlebih dahulu untuk membuka pintu untuk kursi penumpang depan dan menaruh lima kotak makanan dari restoran ini ke atas kursi tersebut. Kemudian ia segera membuka pintu belakang untuk mempersilahkan aku masuk ke dalam sana.

Walaupun aku tahu kemungkinan kantor berikutnya sudah tutup karena kami sampai di sana sore sekali. Kendati demikian, kami tetap meneruskan perjalanan ke bangunan Firma Hukum Dantons yang memiliki 18 lantai itu. Sesuai dengan julukannya sebagai firma terbaik seantero negeri ini. Bahkan, kantor merekapun megah sekali.

Berdasarkan pengetahuan Pak Dongdong, dari lantai satu hingga 18 itu memang milik Dantons semua. Mereka tidak menyewa beberapa lantai dan bergabung dengan kantor lain. Malah sebaliknya, ada beberapa perusahaan start-up yang bergabung dengan mereka.

“Nona Muda, saya akan pulang dulu mengatarkan makanan ini selagi masih hangat. Kira-kira Nona akan selesai jam berapa ya?” Tanyanya.

“Tak masalah. Bapak bisa pulang langsung saja. Saya akan memanggil taxi lain,” jawabku dengan sopan.

“Jangan-jangan. Saya ingin balas budi. Biarkan saya menjadi supir pribadi Nona Muda sampai urusan Nona selesai,” timpalnya dengan cepat. Aku hanya tersenyum.

“Tak apa Pak. Bapak juga pasti lelah sudah bekerja sehari ini,” ujarku kembali menolaknya, dan langsung melenggang pergi masuk ke dalam bangunan megah di depanku. Aku sama sekali tak menengok ke belakang. Pikiranku kali ini hanya dipenuhi dengan firma hukum ini saja. Mereka membuat keuntungan yang besar setiap tahunnya. Tidak mungkin tidak seperti itu dengan bangunan di hadapanku.

Yah, lagipula seperti yang dijelaskan Ibu Mei dan Pak Li, Dontons ini sudah berdiri selama 80 tahun lamanya. Ada berbagai macam pengacara hebat yang bergabung dengan mereka. Bisa dibilang firma ini sebagai agensi untuk para pengacara tersohor, baik dalam negeri atau luar negeri.

Aku tak berharap lebih saat memasuki gedung yang mana banyak orang yang keluar dari dalam sana. Ini sudah jamnya pulang. Mereka pasti tidak akan menerimaku. Walaupun pernyataan itu terus terngiang-ngiang di kepala. Aku tetap melangkah ke arah meja resepsionis di depan sana. Aku menanyakan tentang kebutuhan pengacara dalam mendampingi kasusku. Namun ia menolakku dengan tegas. Sudah kuduga.

“Nona Manis. Ah, maaf, saya tidak sopan. Saya Jung Wonxie, salah satu pengacara di Dantons,” sapa seseorang sembari mengetuk pundakku perlahan. Ia menyodorkan kartu namanya padaku. Aku yang belum sempat berpikir dan mencerna ucapan orang ini hanya menganggukan kepalaku.

Dalam kartu nama itu tepampang wajah seorang pria muda yang kemungkinan berusia tiga puluhan dengan rambut klimis dan kemeja biru berdasikan motif vertikal hitam putih. Terlihat profesional, pikirku saat melihat kartu namanya. “Anda bisa berdiskusi kasus Anda dengan saya,” ucapnya lagi.

“Benar?” Tanyaku tak percaya.

“Kalau Anda tidak percaya. Coba saja tanyakan pada Ka Reni, apakah saya bekeja di sini atau tidak?” ungkap pria itu pada respsionis yang lagi bersiap-siap ingin pulang juga.

“Ya, Pak Jung, Pengacara di sini. Beliau mas—” belum sempat Nona Resepsionis itu meneruskan perkataannya. Namun langsung dipotong oleh si Jung Jung ini.

“Benar. Saya bekerja di sini. Jadi jangan ragu lagi. Mari saya antarkan ke ruangan saya,” ucap si Jung lagi sembari mendorong pundakku perlahan menuju ke arah lift. Aku belum  bisa menolak dalam pikiran yang kacau ini. Tau, tau saja, aku sudah berada di dalam lift dan pintunya kembali terbuka saat tiba di lantai lima.

“Kemari, saya arahkan ke ruangan saya,” ucap si Jung lagi. Ia dengan semangat menggebu-gebu berjalan di depan berceloteh tentang kehebatannya yang dapat bergabung dengan firma hukum terbesar ini. Aku diam saja.

Saat kami sampai di depan ruangannya, si Jung ini mengenggam ganggang pintu dan berniat membukanya. Namun seseorang dari dalam lebih dahulu membukanya. “Pak Jung, kami pulang!” Ucap seorang wanita muda dan pria muda yang mungkin masih berusia dua puluhan secara bersamaan saat kami berpapasan di depan pintu.

“Hei, aku baru saja membawa klien kemari. Kalian lembur dulu hari ini,” ucapnya.

“Tidak bisa, Pak. Saya malam ini ada kencan buta, orang tua saya sudah mengaturnya,” ucap wanita muda itu.

Pria muda di sampingnya langsung berekspresi rumit, sepertinya ia tahu nasibnya saat melihat wajah si Jung. “Saya malam ini harus ke rumah Nenek saya! Asam urat beliau kambuh dan saya ingin membawakan obat padanya,” ucap pria muda itu dengan cepat.

Padahal si Jung belum menanggapi permintaan pulang mereka. Namun kedua stafnya itu langsung berlari ke arah lift. Pengacara bernama Jung ini meneriaki mereka dari belakang. Aku diam saja. Sebab aku memang sudah tak ada lagi tenaga untuk berbicara. Jikalaupun berbicara itupun terkait penjelasan kasusku. Sekarang benar-benar butuh seorang pengacara, sebab teringat ponsel yang kuberanikan untuk dinyalakan saat di perjalanan tadi. Hanya untuk mengetahui apakah notifikasi itu telah berhenti. Rupanya belum.

“Um. Saya minta maaf sekali, staf saya tidak sopan. Apa mungkin ingin bertemu Senin nanti, atau sekarang saja?” Tanyanya.

“Sekarang,” jawabku singkat. Kamipun masuk ke dalam ruangan itu.

“Nona jangan khawatir. Saya tak akan berlaku mesum, ruangan ini ada kamera CCTV yang diawasi langsung oleh tim keamanan,” ucap si Jung. Aku yang mendengar itu langsung mengernyitkan keningku. Memangnya perlu ya mengucapkan hal itu? Namun aku tetap diam saja.

Saat di dalam sana aku menjelaskan berbagai macam soal kasusku. Wajahnya si Jung itu masih berusaha profesional. Dia diam saja mendengarkan celotehku yang kupersingkat hanya setengah jam saja. Padahal saat di kantor Ibu Mei aku menjelaskan kasus ini selama nyaris tiga jam. Kemudian di kantor Pak Li ada satu jam. Kali ini aku menjelaskan hal intinya saja. Sebab sudah terlalu lelah.

“Jadi Anda toh yang jadi trending topic di semua media sosial,” itulah tanggapan pertama dari si Jung yang diam saja mendengarkanku setengah jam. Entah kenapa aku sangat ingin pergi dari ruangan ini. “Jangan khawatir. Saya akan menerima kasus Anda,” sambungnya lagi.

Hah? Tanpa pikir panjang? Apakah ia pikir ini kasus yang mudah? Apa semua pengacara di Dantons seperti ini? Bukankah respon yang wajar itu menanyakan beberapa dokumen dan hal terkait kasus ini? Setidaknya seperti yang dilakukan Ibu Mei dan Pak Li sebelumnya. Si Jung ini sama sekali tak bertanya apapun dan langsung menerimanya.

“Saya butuh beberapa dokumen terkait. Juga Anda perlu mengecek kesehatan di rumah sakit untuk menjadi pendukung kasus ini. Walaupun terlihat tak diperlukan, namun hal ini bisa menjadi poin yang baik untuk melawan berita negatif tentang Anda yang sudah tersebar,” ucap si Jung.

Setelah mendengar ucapannya yang mirip dengan Pak Li. Aku mulai menaruh sedikit rasa percaya padanya. Setidaknya sedikit. Aku mengambil beberapa dokumen dari totebagku dan memberikan itu padanya.

Si Jung ini menerimanya dan langsung membawa berkas-berkas itu ke mesin fotokopi untuk menduplikat berkas-berkas tersebut. Kali ini ia terlihat benar-benar profesional. Tidak, ‘profesional’ yang dibuat-buat.

Kemudian ia juga menyakan beberapa hal padaku terkait kasus ini. Kemudian memintaku untuk screenshoots bukti dana masuk ke akun rekening uang digital milikku, beserta email dari perwakilan Zhou.co.  Mau tidak mau aku membuka ponsel yang sudah kumatikan total itu. Sekali lagi aku disambut dengan jutaan notif. Aku perlahan-lahan membuka aplikasi uang digital milikku dan melakukan yang diminta si Jung. Setelah selesai aku membuka email.

Saat aku membuka aplikasi tersebut, histori pesan masuk itu telah hilang sepenuhnya. Aku mengatakan hal itu pada si Jung. “Tapi saya punya file tangkapan gambar di komputer saya. Saya perlu pulang dulu,” ucapku dengan cepat.

“Kalau begitu. Mari bertukar nomor ponsel saja,” sarannya.

“Ah. Saya ingin beli ponsel dan nomor baru, notif ini mengangguku,” jelasku sembari menunjukan layar ponsel yang terus muncul kotak hitam di bagian atasnya.

“Benar. Itu merepotkan. Saya akan menuliskan nomor saya saja. Hubungi saya setelah itu. Baik, saya juga mau pulang. Kita lanjutkan hal ini hari Senin, ya,” ucapnya sembari menulis di atas selembar kertas. Ketika ia selesai ia langsung memberikannya padaku. Aku menerimanya. “Tak lupa juga. Saya butuh informasi tambahan terkait kekayaan Anda,” sambungnya.

“Kalau soal bayaran jangan khawatirkan hal tersebut,” jawabku.

Aku kaya.

“Yah, terlihat dari merek pakaian dan tas yang Anda gunakan. Walaupun itu tak mencolok tapi saya tahu bahwa jas yang Anda kenakan itu limited edition,” tuturnya.

Related chapters

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 12

    Setelah urusanku dengan Pengacara Jung selesai, aku pergi lebih dahulu meninggalkan bangunan Firma Hukum Dantons ini. Aku berniat pulang dengan bis umum. Lagipula ini masih jam tujuh malam. Masih ada jadwal rute untuk menuju area pinggiran kota. Aku berjalan ke arah halte bus. Namun seseorang menarik sedikit kain lengan jasku. “Nona Muda! Saya menunggu Anda. Jangan pulang pakai Bis, Nona. Daritadi saya panggil loh,” ucap Pak Dongdong panjang lebar sembari melepaskan genggamannya pada jasku. “Yaampun Pak,” jawabku kaget. “Sudah daritadi menunggu saya? Bapak tak perlu repot-repot loh,” sambungku. Aku benar-benar tak mendengar Pak Dongdong memanggilku. Pikiranku masih kacau mengingat email perwakilan Zhou.co menghilang dan begitupun jejak digitalnya. Bagaimana bisa? “Oh, jangan terlalu segan dengan pria tua seperti saya. Ayo, Nona Muda, saya antarkan pulang. Nona, bagaimana bila menyimpan nomor saya? Saya bisa jadi su

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 13

    “Dari awal si Jung ini agak mencurigakan memang,” gumamku sembari berleha-leha di atas sofa yang ada di ruang tengah. Posisinya dekat sekali dengan area kerjaku yang ada di sudut ruangan.Aku menatap pot kaktus yang sudah membesar dan meninggi sampai ke dadaku. Dulu sekali kaktus itu masih berukuran sejengkal tangan Ayah saja. Kalau teringat kedua orang tua yang sudah tiada, rasanya sepi sekali. Namun mau bagaimana lagi. Inilah kehidupan.Aku menatap ponsel baruku lagi. Kali ini aku tidak mengaktifkan akun sosial mediaku di sini. Aku takut dengan notifikasi yang luar biasa seperti ponsel pintarku sebelumnya.Kalau dibilang aku sudah terbiasa dengan munculnya notif yang banyak dari serbuan para penggemar gambarku. Tentu saja, aku sudah terbiasa. Namun kebanyakan yang aku terima adalah kata-kata positif. Jikalaupun itu bukan hal yang sifatnya mengagumi atau menyemangati. Paling tidak berisi kritikan yang memban

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 14

    Setelah Ibu Yanyan pergi, aku tak tahu harus melakukan apa. Jadi aku menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mandi saja. Aku berendam di dalam bathtub dan menyembunyikan kulitku dibalik busa sabun yang menggumpal. Tiba-tiba saja ponselku berdering dan itu membuyarkan lamunanku yang hanya menatap dinding kamar mandi tanpa pikiran apapun. Aku terbiasa membawa ponsel ke dalam kamar mandi, dan aku melihat notifikasi email dari orang yang tak dikenal. Namun dari namanya mr.wonxiegreatestjung@yahoi.com, entah kenapa aku langsung teringat wajah pengacara yang mencurigakan itu. Aku langsung menekan isi pesan tersebut. ___________ Halo Nona Samara! Ini Pengacara Jung. Kenapa Anda tidak menghubungi saya? Saya perlu memperlajari kasus Anda, mohon segera mengirimkan berkas yang saya minta. Termasuk tangkapan gambar dari transaksi transfer uang yang mencurigakan ke akun uang digital Anda. Terima kasih. Ps. Segera mungkin kirimkan ya. ___________ Aku yang membaca pesan itu saja dibuat jengke

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 15

    Aku masuk ke dalam bangunan ini dengan santai diantara banyaknya mata yang melihatku. Seorang Bellboy menghampiriku, menyapa dengan sopan, “Boleh kami tahu, atas nama siapa reservasi tempat yang akan Anda kunjungi?” “Ding Shu, 14, siapkan Afternoon Traditional Chinese Tea dengan lima daun terbaik seperti biasa. Juga snack rekomendasi hari ini, saya mau berkeliling dulu,” ucapku dengan santai. “Apakah kami perlu menyeduhnya?” Tanya Bellboy itu lagi itu lagi dengan lebih sopan. “Tak perlu. Saya saja,” jawabku. “Baik, Nona Ding. Akan kami persiapkan dalam 15 menit ke depan,” jawabnya. Kemudian aku tersenyum dan berjalan melewatinya. Saat aku melewatinya aku mendengar ia menggunakan walkie-talkie untuk meneruskan pesananku pada seseorang yang lebih berwenang. Pemuda itu juga menjelaskan kemana arahku berjalan. Saat ini aku berada di lantai tiga yang luas ini. Lantai satu dan dua, biasanya menjadi klub malam dimana para dj dan penikmat musik berada. Walaupun begitu di lantai ini juga

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 16

    Saat memutuskan pergi dari Restoran Terbuka itu dengan langkah yang mantap. Percayalah aku ingin kabur secepat mungkin dari sana. Untungnya pintu lift khusus itu terbuka dan ada seseorang pria yang masuk lebih dahulu ke dalam sana.Aku tak perlu menunggu terlalu lama, dan langsung membuntutinya ke dalam sana. Seorang wanita lainnya juga mengikutiku dari belakang. Di dalam sana ada seorang pria yang berdiam diri di pojokan. Aku mengabaikannya. Namun wanita yang masuk bersamaku ini bersemangat sekali menatapku.“Kau tadi keren banget,” ucapnya.Aku menatap wajahnya setelah memindai ponselku pada layar digital di dalam lift tersebut. Kemudian menekan tombol lift menuju lantai enam. Itu adalah lantai teratas dengan 20 ruangan pribadi yang merupakan sponsor pertama klub ini. Lantai lima dan empat juga untuk sponsor, aku tak tahu ada berapa ruangan di lantai tersebut.Namun yang aku ketah

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 17

    Aku yang awalnya berniat untuk menikmati waktuku sendirian malah membawa orang tak dikenal dalam dunia kecilku. Aku juga tidak begitu tega untuk mengusirnya. Jadi aku mempersilahkan dirinya untuk duduk di sofa.Pada meja kecil di depan kami, ada set peralatan untuk minum teh. Aku merasa tidak niat untuk melakukan langkah-langkah formal dalam menyajikan teh ini.“Woaah, apakah ini menu Traditional Chinese Afternoon Tea di klub ini? Ini menu yang paling mahal di tempat ini!” Pekik Yuyu. Ia memperhatikan keramik gelas yang terlihat unik dan mewah. “Aku dengar pengrajin yang membuat gelas-gelas ini punya produk seni yang sangat mahal. Aku paham, ukiran desain tekonya terlihat sangat mahal. Susunan letaknya berbeda dengan yang Royalty Western Afternoon tea. Aku memohon pada kakakku agar aku setidaknya bisa menyobanya sekali saja,” sambungnya lagi.Yuyu benar-benar tipe orang yang tidak bisa di

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 18

    Aku kembali ke lantai tiga. Aku memutuskan untuk membelikan Yuyu hadiah pakaian. Aku tak tahu ukuran pastinya, dan hanya mengira-ngira saja. Aku yakin dengan pengelihatanku. Aku memilih untuk mengunjungi Max Mara terlebih dahulu. Kemudian memilih pakaian beberapa pakaian musim dingin. Toko ini ada beberapa pengunjungnya.Mereka terlihat heran melihatku membawa beberapa bunga dalam genggamanku. Namun tidak dengan staf yang bekerja di toko ini. Mereka langsung melayaniku dengan sangat baik. Mereka pasti tahu darimana aku mendapatkan bunga ini. Terlebih aku memilih beberapa pakaian dalam jumlah banyak tanpa lihat tagnya. Kemudian aku meminta staf di sana untuk membawakan kertas minyak yang cukup tebal yang biasanya mereka gunakan untuk membungkus produk mereka.“Aku akan membayar kertasnya. Tolong bawakan tali bekas dan selotip. Ah, gunting juga,” ucapku saat duduk di sofa dekat kasir. Setelah memilih pakaian tadi, aku langsung memb

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 19

    Apa yang dipikirkan Shushu memanglah benar. Di dalam lift yang tertutup itu Rony tak henti-hentinya menatap temannya. Semenjak Juan datang menghampirinya di Taman Atap, ia tak bisa menghentikan senyuman di wajahnya. Padahal ia sudah memantapkan mentalnya untuk menerima makian dari atasannya ini.Juanxi, pria dengan marga Huang itu diam-diam menanamkan saham pada kasino terbesar di Eropa, yang terletak di Monako. Tentunya ia tidak menaruh nominal yang kecil. Terlalu banyak angka nolnya, yang pasti nilainya terhitung puluhan triliun sekarang. Hanya saja ia menaruh sahamnya di sana dengan beberapa nama yang berbeda. Salah satunya dengan jasa Rony.Juan meminjam nama Rony untuk menaruh uangnya di sana. Selain itu Rony yakin sekali ada nama lain yang ia pinjam untuk menaruh saham di beberapa tempat lainnya. Namun Juan itu sangat berhati-hati sekali untuk membuka mulutnya. Apalagi dalam memilih orang yang ingin ia kenal. Jika tidak tertarik. Dia b

Latest chapter

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 83

    Setelah pemeriksaan singkat, Shushu menyadarinya dirinya mengalami gejala anemia dan tekanan darah rendah. Dokter meminta ners yang mendampinginya untuk memasukan Shushu sebagai daftar pasien agar bisa diberi beberapa obat untuk dikonsumsi.Pada akhirnya, ada dua pasien di dalam satu bangsal ini. Satu yang terlihat seperti akan mati kapan saja. Satu lagi yang berusaha meyakinkan semua orang dirinya tak sakit.Sebenarnya Shushu melakukan itu sebab dirinya takut disuntik dan diinfus. Dia terlihat ingin pergi dari tempat itu kapan saja. Namun Juanxi mengenggam erat pergelangan tangannya.Para perawat telah memasukan satu ranjang lagi ke ruangan rawat inap itu. Posisinya bersampingan dengan ranjang milik Juanxi.“Tidurlah dengan benar,” tegas Juanxi yang sudah mulai berbicara lancar.“Sa-sa-saya tak sakit kok,” jawab Shushu dengan formal dan tergagap. Dia terl

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 82

    Tempat yang paling tak disukai Shushu terpaksa harus ia tempati selama empat hari lamanya. Sebab, kondisi suaminya yang baru ia nikahi belum seminggu itu terlihat sangat mengkhawatirkan. Suhu demamnya mencapai 40 derajat celcius.Selama dirinya di rumah sakit, bohong, jika Shushu juga tidak merasa sakit. Wajahnya pucat, makannya pun tidak karuan.Siapapun yang mengunjungi mengira Shushu sangat khawatir dengan suaminya yang terbaring tak sadarkan diri. Bahkan makan pun harus dipenuhi dengan cairan nutrisi melalui selang infus.Ada kalanya setiap Juanxi sadarkan diri untuk beberapa menit, Shushu akan membantu menyuapi air hangat atau sup hangat perlahan dengan sendok kecil. Sebab pria itu sendiri tak memiliki tenaga untuk mengangkat kepalanya.“Nak, kamu pulang saja dulu, tidak apa-apa,” tutur Sun Lili yang datang pagi sekali untuk membantu Shushu. Juanxi masih tak sadarkan diri. Namun suhu

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 81

    “Kenapa kau tak cerita soal kebakaran itu padaku? Bukankah kita teman?” tanya Quo Xin. Dia benar-benar tidak tahu soal itu.Sejujurnya Quo Xin bisa menyelesaikan permasalahan dokumen yang rusak itu secepat mungkin. Hanya saja keadaannya dengan mantan mertua serta putrinya kala itu cukup rumit. Dia jarang punya waktu leluasa membuka laptopnya.Semua menjadi mudah ketika ia sudah memindahkan data putrinya di Kota B ini. Namun ini semua hanya alasan. Quo Xin merasa bersalah atas waktu yang terbuang secara cuma-cuma. Dia tak mengira masalah keterlibatan Shushu dengan situs judi online ini begitu berat. Bahkan pihak di sana berani mengancam dengan cara murahan seperti itu.“Walaupun begitu kau setuju begitu cepat untuk menikah,” ungkap Quo Xin. Kemudian ia meraih tangan Shushu dan menggenggamnya erat. “Batalkan saja kontraknya!”“Tidak bisa, kita sudah menikah. Lagipula keadaanya tidak sesimpel ini, Zhou.co itu mungkin saja tidak terlibat dengan judi online saja,” ucap Shushu. Dia menginga

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 80

    Pukul enam pagi, seorang wanita paruh baya berjalan cepat menelusuri lorong rumah sakit yang panjang. Dia hanya menggunakan sandal, dan jaket untuk menutupi pakaian tidurnya. Bahkan helm pun masih bertengger setia di kepalanya.Ruang 278, tanpa ragu-ragu, dia langsung membukanya. Di dalam sana ada seorang wanita muda berdiri menganggukan kepala berulang kali atas penjelasan dokter yang bertugas.“Bagaimana?” tanya Quo Xin.“Baru saja dipindahkan dari UGD, dia demam sushu 40 derajat, sepertinya kelelahan bekerja,” tutur Shushu dengan wajah yang lelah.“Ibu juga harus istirahat yang baik untuk menjaga suami Anda. Wajah Ibu kurang baik,” ucap dokter pria itu lagi. Shushu hanya menganggukan kepalanya berulang kaliFokus Quo Xin bukan lagi cerita dibalik kenapa ia membutuhkan ambulans di pagi buta lagi. Namun, bagaimana bisa ia mendapatkan suami dalam waktu yang begitu cepat setelah ia tinggal beberapa bulan di kota lain?Setelah kepergian dokter dan perawat tersebut. Quo Xin hanya diam sa

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 79 - Kehidupan Kedua? (2)

    Juanxi terus mengalami mimpi yang panjang, dan semua kejadian itu membuatnya merasa tak nyaman. Kepalanya terasa berat dan panas menerima semua informasi itu. Fakta bahwa kematian Shushu itu begitu menyedihkan membuatnya sangat terpukul.Tidak seharusnya Shushu mengalami itu semua. Dia bukan seperti apa yang digambarkan semua artikel tersebut. Wanita nakal, pemakai narkoba, penipu, dan lainnya.Hal yang membuatnya lebih terpukul ialah adegan dimana Paman Zinbei dan Ibu Yanyan datang ke kantornya untuk meminta tolong mencari kebenaran kematian Shushu.Kini Juanxi paham kenapa Shushu tadi menangis begitu lelah ketika ia tahu bahwa namanya bisa dibersihkan tidak terlibat situs judi online itu. Semua usaha Shushu menyelidiki kasusnya sendiri selama ini, agar tidak membuat dua orang tua itu sedih dan terpukul.Dalam kehidupan pertama itu, ia melihat wajah Paman Zinbei, dan Ibu Yanyan, lima kali lipat terlihat lebih tua dibandingkan kehidupannya sekarang. Mereka telah mendatangi berbagai ka

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 78 - Kehidupan Kedua?

    Juanxi menjadi kesal melihat ponsel milik Shushu yang terus berdering sedari tadi. Dia langsung mematikannya secara total. Lalu membawa tubuh Shushu yang tertidur karena lelah menangis ke kamarnya. Juanxi melihat keseluruhan interior ruangan yang sederhana, namun memiliki tiga pintu ruangan lainnya lagi. Dia penasaran untuk apa saja tiga ruangan di dalam kamarnya ini. Juanxi menerka salah satunya pasti toilet, dan ruang pakaian. Adapun sisanya ia tak begitu yakin. Juanxi menyadari beberapa hal dari mengenal Shushu dalam waktu yang sangat singkat ini. Dia terlalu mudah untuk percaya, namun tak ingin menaruh rasa percaya begitu dalam. Kontradiksi sekali bukan? Dua kata yang bisa dijelaskan ialah polos kebangetan. Kendati dikatakan polos, dia tahu dunia lebih baik. Apalagi soal pekerjaannya dan mengatur finansialnya. Hanya saja melihat ia menangis begitu lepas karena namanya bisa dibersihkan dari tuduhan sindikat judi online itu. Juanxi melihat sosok Shushu menjadi lebih kompleks lagi

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 77

    Setelah Juanxi memakan hidangan makan malam, ia sepakat dengan satu hal penting dalam kisah cinta keduanya bahwa Juanxi lah yang pertama kali tertarik. Untungnya kesimpulan ini bisa ditarik setelah keduanya mengetahui kegemaran yang mirip dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan.“Kau benar-benar yang merancang semua perhiasan itu?” tanya Juanxi masih tak percaya. Shushu hanya menganggukan kepalanya. “Aku tak menyangka kau designernya!” pekik Juanxi lagi dengan bersemangat.Tiga tahun yang lalu ia pernah dipaksa ikut adiknya, Lin Yi mengunjungi sebuah lelang perhiasan esklusif di Negara S. Tak pernah terbayang anting yang dibeli adiknya itu dengan harga 2 juta dollar. Itu sebuah karya duet antara desainer dan pengrajin yang berbeda. Anting itu termasuk salah satu barang termahal kelima yang terjual dalam lelang malam itu.“Aku masih tidak paham bagaimana kau bisa melakukan itu semua? Kebanyakan illustrator akan mengambil jalan sebagai komikus,” tanya Juanxi.“Seberapa baik kamu menggam

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 76

    Shushu dan Juanxi diam di depan pintu lift yang sudah tertutup lama. Suasana yang heboh sebelumnya mendadak tenang.Juanxi sibuk dengan pikirannya, dia tak tahu harus memulai obrolan dengan membahas hal apa, ataukah basa-basi saja terlebih dahulu? Dia merasa canggung dengan keheningan ini. “Kau menangani mereka lebih baik dari dugaanku,” ujarnya.“Nenek Huang dan Ibu Lili orang yang baik, Paman Haifeng juga,” ungkap Shushu.Juanxi yang mendengar hal itu mengernyitkan keningnya. “Panggil mereka Ibu dan Ayah saja mulai dari sekarang,” timpal Juanxi.“Aku memahami kekhawatiranmu. Namun, tidak. Ini batasanku ketika tidak ada mereka. Pernikahan ini hanya berlangsung sebentar. Apa kau sudah makan?” ujar Shushu sembari mengalihkan pembicaraan.“Aku belum makan malam,” jujur Juanxi tanpa pikir panjang.“Kalau begitu makan di tempatku saja,” balas Shushu. Kemudian ia berjalan lebih dahulu untuk membuka pintu apartemennya, lalu membuka pintu lebar-lebar agar pria bertubuh tinggi dan besar itu

  • Shushu Dikejar Deadline   Chapter 75

    “Gege, bagaimana bisa kau menikah begitu cepat?” bisik Dongxi, si anak bungsu.“Ugh, tak bisakah kalian datang itu mengabari terlebih dahulu,” ucap Juanxi yang mulai kesal dengan ribuan pertanyaan yang dilontarkan anggota keluarganya.Awalnya ia senang melihat kepanikan yang muncul di wajah Shushu. Kini semua berubah semenjak, Shushu berkomunikasi dengan sangat baik dengan nenek, dan kedua orang tuanya di ruang tengah apartemennya. Padahal tadi dia benar-benar terlihat seperti tak tahu harus apa.Juanxi yang melihat itu merasa senang sebab merasakan Shushu bergantung untuk pertolongannya. Namun lihat sekarang, dia tertawa santai dengan nenek, ibu, dan ayahnya juga.“Santailah ka, aku juga penasaran kenapa kalian berdua tiba-tiba mendaftarkan pernikahan,” sanggah Lin Yi, adik perempuan Juanxi.Shushu diam saja menatap Juanxi. Dia juga ingin mendengar alasan apa yang akan dilontarkan Juanxi. Sisanya ia akan mengikuti alur dari cerita pria itu.Sedari Shushu bertemu Keluarga Huang secara

DMCA.com Protection Status