Genevive, atau yang akrab disapa Gen. Berusia 19 tahun, eh sebenarnya dia masih 18 tahun, tepat satu bulan lagi Gen akan berulang tahun yang ke 19. Jadi, dia masih berumur 18, benar kan?
Gen adalah gadis biasa, maksudku, benar benar biasa. Jika dia tidak berusaha mendapatkan teman saat disekolah, maka tidak akan ada yang mengenalnya. Ya betul, dia sungguh berusaha agar mendapatkan teman, setidaknya satu, dalam seluruh hidupnya saat bersekolah.
Misalnya, saat ia pertama kali masuk sekolah menengah atas, Gen berusaha sangat keras agar dia dikenal banyak orang, baik guru atau murid. Maka dari itu, Gen mengikuti banyak sekali kegiatan di sekolah, mulai dari pramuka, club renang, club radio, hingga organisasi siswa atau biasa disebut OSIS. Gen bahkan harus berpura pura menjadi pribadi yang ceria dan cerewet, padahal dia anak yang pendiam dan tidak banyak bertingkah, semua itu Gen lakukan agar bisa diterima di lingkungan sekolah.
Setiap pulang sekolah Gen merasa sangat lelah, seolah seluruh energinya ditelan habis oleh kegiatannya selama di sekolah. Gen tidak tahan dengan berpura pura menjadi orang lain, "Tapi, mau bagaimana lagi?" tanya Gen. Dia tidak bisa bersosialisasi, bukan tidak bisa, tapi dia sangat buruk dalam kehidupan lingkungan sosial.
"Jika tidak begini, bagaimana mungkin aku mendapat teman. Jika aku diam saja, tentu aku akan diacuhkan, aku tidak mau" Ya begitulah Genevive, padahal belum tentu kan semua yang ia pikirkan itu benar? Gadis itu terlalu banyak memikirkan hal hal yang bahkan belum tentu terjadi, anak aneh.
Genevive membenci banyak hal, tapi yang paling gadis itu benci adalah "kerumunan orang, serangga, dan diabaikan". Seperti halnya hari ini, Gen mendapatkan pekerjaan pertamanya. Ia pikir pekerjaan ini sangat menyenangkan dan ia sangat optimis bahwa dia akan betah bekerja disini. Oops, sepertinya Gen salah besar, dia benar benar benci pekerjaan ini. Ya, kerumunan orang. Membuatnya amat sangat tidak nyaman, Gen berulang kali meminta izin pada atasannya untuk pergi ke kamar mandi agar bisa menenangkan dirinya dari ketidaknyamanan bertemu dengan banyak orang.
Gen rasanya ingin menangis saja, ini bahkan belum ada sehari dia bekerja disana tetapi rasanya ia sangat tidak tahan.
"Aku ingin pergi dari sini" ucap Gen dalam hati. Oh, tentu tidak bisa Gen. Pikirkan tentang orang tuamu dan tentunya dirimu sendiri, jelas kau sangat membutuhkan uang saat ini, apa kau tega melihat orang tuamu bekerja terus menerus? Jangan bodoh, Gen.
"Baiklah, ayo kita coba selama beberapa minggu kedepan. Ayo Gen, kamu pasti bisa" Gen berusaha untuk tetap semangat, walaupun sebenarnya ia mengutuk dirinya sendiri kenapa menjadi begitu penakut terhadap banyak orang.
Napasnya terengah-engah, kepalanya mendadak terasa sakit dan pandangannya terlihat kabur. "Hei, kamu baik baik saja?" tanya partner kerja Gen. Genevive hanya menggelengkan kepalanya pelan, tak sanggup untuk bicara. Dengan segera teman Gen membawanya kedapur untuk duduk, "Mau dibuatkan teh hangat? Kau terlihat sangat pucat". Teman Gen pun bangkit dan membuat segelas teh hangat untuk Gen.
"Terimakasih Kev" kata Gen sembari menyeruput sedikit teh yang Kevin berikan kepadanya, yang hanya dibalas dengan anggukan kecil oleh pria bertubuh mungil itu.
"Kau bisa pulang jika sudah tidak kuat, jam kerjamu hanya tersisa satu jam, pulanglah" kata Kevin sembari membersihkan meja dapur. "
Gen menoleh, sedikit terkejut dengan teman kerjanya, Kevin. Dia terlihat galak dan menyeramkan beberapa jam yang lalu, namun saat tidak sedang ada pelanggan, Kevin ternyata orang yang baik. "Apakah tidak apa apa? Nanti jika aku pulang siapa yang akan menggantikanku?"
"Tak apa, kau bisa izin kepada pak bos, sebentar lagi Julio akan datang menggantikanmu" ucap Kevin. Gen tersenyum kecil kemudian beranjak dengan perlahan menuju kasir untuk menemui atasannya.
"Baiklah tak apa, kau butuh istirahat wajahmu juga sangat pucat" Pak Jo menepuk pundak Gen, sembari berlalu melewatinya. Dengan segera, Gen pergi ke loker dan mengemasi barang miliknya kemudian pamit untuk pulang.
Jarum pendek pada jam tangan Gen menunjukkan angka 17.45, suasana sore ini sangat dingin membuat Gen mengeratkan jaketnya. Gadis itu berjalan pelan sembari menikmati jalanan yang ramai. "Indahnya" batin Gen, dia memang suka suasana seperti ini, suasana sore yang dingin sehabis hujan, membuat hatinya terasa sedikit tenang.
"Aku pulang" dengan lelah, Gen menutup pintu dan melepas sepatunya. Dilihatnya lampu rumah yang belum menyala. Tidak ada orang. Baiklah, Gen sudah terbiasa sendirian, tak masalah. Dia pun menaiki anak tangga menuju kamarnya, Gen hanya ingin segera bertemu dengan kasur miliknya yang hangat.
Brukk. Gen membaringkan tubuhnya ke kasur dengan cepat, ia benar benar lelah. Bagaimana bisa? Ini pekerjaan yang dia inginkan, tapi dalam waktu bersamaan dia membencinya? Gen merutuki dirinya sendiri, Gen sungguh tidak paham, apa yang salah dengan dirinya?
Mari kita jabarkan apa yang terjadi. Gen mendapatkan pekerjaan pertamanya setelah lulus sekolah menengah atas, oh tentu ia senang karena pekerjaan ini membutuhkan keahlian memasak, Gen sangat percaya diri bahwa dia bisa melakukannya, tetapi Gen lupa kalau dia bekerja di sebuah restoran ternama, tentu saja disana akan ada banyak orang yang mampir untuk membeli makanan. Ya, orang banyak. Hal yang Gen benci.
"Ah Gen bodoh! Kau tidak bisa seperti ini, ayolah Gen. Kau suka memasak, apa yang perlu dikhawatirkan?" Gen sangat kesal dengan dirinya sendiri, Gen berharap dia bisa menjadi orang yang tidak takut apapun saat bangun besok pagi.
Oh, Gen yang malang. Dia terlalu takut dengan banyak orang, dia juga membiarkan rasa takutnya bertumbuh dan menggerogoti dirinya. Semoga ketakutan yang dimiliki Gen tidak semakin menjadi. Selamat malam, Gen.
"Hei, otak! Berhentilah berpikir! Kau memikirkan hal hal yang membuatku semakin takut" Gen memaki otak miliknya yang tidak berhenti berpikir berlebihan, membuatnya semakin tidak bisa tidur.
Hei, Gen. Mandilah terlebih dahulu, kau terlihat, maaf, sangat buruk. Setidaknya dengan mandi bisa membuat pikiran sedikit rileks. "Baiklah, baiklah. Aku akan mandi, kemudian membuat makan malam, seharian bekerja membuatku lupa makan" ucap Gen sembari bangkit dari tidurnya.
"Ah, sial badanku sakit semua" lihatlah, Gen memulai harinya dengan mengeluarkan umpatan. Ketahuilah wahai Genevive, tidak baik memulai hari dengan memaki, kau akan merasa marah dan terganggu sepanjang hari. "Sial, aku malas sekali berangkat kerja" Gen bangun dari tempat tidurnya dengan malas, menendang semua bantal dan melempar selimut kesembarang arah. "
"Tante Gen!" teriak keponakan Gen, Jace. "Hai, Jace selamat pagi" Gen memeluk keponakannya dengan erat, kemudian menarik Jace kepangkuannya. "Aku sudah lama tidak bermain dengan tante Gen". Gen hanya tertawa kecil mendengarnya, "Tumben sekali kau merindukanku? Katakan, apa yang kau ingin kan?" kata Gen sembari mengusap kepala bocah dipangkuannya.
"Hahaha, tidak, Jace hanya ingin bermain dengan tante Gen". Genevive merasa sedih mendengarnya, dia ingin bermain dengan keponakannya seharian, tetapi ada pekerjaan menyebalkan yang harus dilakukan. "Maaf ya Jace, hari ini aku harus pergi bekerja" ucap Gen sambil tersenyum. "Baiklah" Jace kemudian bangkit dan pergi menjauhi Gen dengan wajah murung.
"Ah, benar benar menyebalkan"
Sudahlah Gen, berhenti mengeluh dan lakukan pekerjaanmu.
"Sial sial sial!" maki Gen sembari berlari kecil menuju halte bis. Dia terlambat berangkat kerja. "Padahal aku sudah bangun tepat waktu kenapa masih terlambat juga argh!". Baru dua hari bekerja tetapi dia sudah terlambat datang, beruntung dia masih diterima bekerja disana.
"Hei, maaf Kev aku terlambat" Gen datang menghampiri Kevin dengan tergesa-gesa. "Tak apa, restorannya juga baru saja buka". Segera, Gen berlari secepat kilat mengambil apron miliknya dan mulai bekerja.
"Okay Gen, here we go".
"Sial" Gen tidak sengaja melukai jari tangannya dengan pisau, ia meringis kesakitan. "Ah pisau menyebalkan". Tebak, dalam sehari ini sudah berapa kali Genevive mengeluarkan umpatan? Gen berjalan ke arah loker miliknya dan membuka apron yang ia pakai lalu melipatnya, "Baguslah hari ini tidak begitu buruk, walaupun tanganku harus terkena sayatan pisau" kata Gen. "Hei, mau pulang?" Gen yang terkejut kemudian membalikkan tubuhnya, dilihatnya Julio sedang tersenyum kecil. "Oh, iya sebentar lagi jam kerjaku selesai. Ada apa?" Gen bertanya. Laki-laki berambut hitam itu mengedipkan matanya beberapa kali dan menjawab "Tidak ada apa-apa, aku hanya bertanya apakah tidak boleh?" Gen tertawa geli, "Ya tentu saja boleh, siapa aku yang bisa melarangmu?" Julio hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya, yang sebenarnya tidak gatal. Julio salah tingkah. "Baiklah Julio, aku harus pulang. Sampai ketemu besok!" Gen mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Julio.
Jam menunjukkan pukul 10 pagi, menampilkan Gen yang sedang membersihkan kamar miliknya yang terlihat, hng, sangat berantakan. Terdapat banyak sekali barang berserakan dilantai, dan juga sampah makanan. Ew, sangat jorok"Argh, sial kenapa kamarku terlihat begitu buruk?" Gen mengeluh kesal, padahal menurutnya itu bukanlah hal yang buruk, hanya sedikit tidak nyaman saja.Dengan sigap, Gen mulai menata semua barang yang ada dimeja dan mengembalikan nya ketempat semula, tak lupa ia juga mengganti sprei dan menyapu lantai. Sebetulnya, Gen cukup suka dengan bersih bersih tapi entah mengapa terkadang dirinya merasa malas, jadi ya begitulah ia bisa menjadi rajin dan pemalas dalam satu hari. Bisa ditebak setelah selesai membersihkan kamar, ia pasti langsung merebahkan dirinya diatas kasur hingga sore hari, tanpa mandi. Jorok sekali.Sudah tiga setengah jam Gen membersihkan kamar, waktu yang cukup lama untuk membersihkan ruangan yang tidak terlalu besar. Jangan ditan
Seorang gadis dengan rambut kucir kuda, berlari ditengah koridor sekolah yang sudah sepi, sepertinya gadis itu terlambat. Terlihat dari mimik wajahnya yang sedikit gusar. Dirapihkannya sedikit anak rambut yang bergelantungan, merapikan seragam sambil menarik napas panjang agar tidak gugup. Dibukanya pintu kelas dengan hati hati, gadis cantik itu melihat sekeliling, masih ramai. Ternyata belum ada guru yang datang, ia menghela napas lega. Segera, ia berjalan pelan mencari bangku yang masih kosong untuk ditempatinya. Bangku tiga baris dari depan dekat pintu dipilihnya, gadis itu duduk dengan canggung. Tak lama, seorang gadis mengenakan bando biru menghampiri tempat duduknya, menanyakan siapa namanya. "Genevive, namaku Genevive" Gadis berbando biru terkejut mendengar namanya, "Wah cantik sekali namamu". Genevive hanya tersenyum kecil, "Lalu bagaimana denganmu?" tanya Gen pada gadis disampingnya. "Aku Giselle, salam kenal. Bole
Gadis bermata bulat itu terlihat mondar mandir di depan gerbang sekolah, mempertimbangkan haruskah ia mengembalikan jaket Gavin hari itu juga atau besok saja sekalian, toh dirinya dan Gavin juga satu kelas. Gen membuka grup kelas ada sekitar 110 pesan belum terbaca, mereka kebanyakan membicarakan hal hal yang tidak begitu penting, tak sengaja mata Gen melihat gelembung chat milik Gavin yang tertulis "Ada yang lihat jaketku?" beberapa murid mengkutip pesan Gavin dengan memberi jawaban seperti "Tidak", "Aku tidak melihatnya", atau "Aku bukan ibumu jangan tanya padaku dimana jaketmu". Membaca pesan Gavin membuat Gen tidak enak hati, ia ingin membalas pesan itu, mengatakan jaket milik Gavin ada padanya, tapi entah mengapa jarinya hanya diam saja tidak mengetikkan sesuatu. Sebuah balasan untuk pesan Gavin muncul dilayar ponselnya, itu Collin, yang mengatakan bahwa dia melihat jaket milik Gavin dan memberikannya pada Gen dengan alasan "Rumah kalian deka
Gadis dengan kucir cepol itu tengah berdiri didepan lemari es dengan pintu terbuka, membiarkan dirinya terkena hembusan angin dingin dari lemari es didepannya. Beberapa kali gadis itu menghela napas lelah, bagaimana tidak lelah? Dia sehabis dari rumah Gavin mengantarkan jaket dan kembali kerumah dengan berjalan kaki, memang sih tidak sejauh itu, tapi hari ini sangatlah panas. Tertera diponselnya suhu hari ini sekitar 34 derajat celcius, Gen setidaknya sudah menghabiskan satu botol air mineral dingin dengan sekali teguk, cuaca panas dan rasa kesalnya pada Gavin memuncak dikepalanya. Membuat Gen butuh sesuatu yang dingin. "Gila, ini benar benar panas. Apakah neraka sedang bocor? Apalagi ini ponselku berdering terus sedari tadi" omel Gen sembari menutup pintu lemari es dan berjalan menuju meja makan. Ponselnya terus berdering dari lima menit yang lalu, bukan dering telpon, tapi dering pesan yang dikirim secara beruntun. Tebak siapa yang mengirimnya pesan? Ya, Ga
Gadis dengan kucir cepol itu tengah berdiri didepan lemari es dengan pintu terbuka, membiarkan dirinya terkena hembusan angin dingin dari lemari es didepannya. Beberapa kali gadis itu menghela napas lelah, bagaimana tidak lelah? Dia sehabis dari rumah Gavin mengantarkan jaket dan kembali kerumah dengan berjalan kaki, memang sih tidak sejauh itu, tapi hari ini sangatlah panas. Tertera diponselnya suhu hari ini sekitar 34 derajat celcius, Gen setidaknya sudah menghabiskan satu botol air mineral dingin dengan sekali teguk, cuaca panas dan rasa kesalnya pada Gavin memuncak dikepalanya. Membuat Gen butuh sesuatu yang dingin. "Gila, ini benar benar panas. Apakah neraka sedang bocor? Apalagi ini ponselku berdering terus sedari tadi" omel Gen sembari menutup pintu lemari es dan berjalan menuju meja makan. Ponselnya terus berdering dari lima menit yang lalu, bukan dering telpon, tapi dering pesan yang dikirim secara beruntun. Tebak siapa yang mengirimnya pesan? Ya, Ga
Gadis bermata bulat itu terlihat mondar mandir di depan gerbang sekolah, mempertimbangkan haruskah ia mengembalikan jaket Gavin hari itu juga atau besok saja sekalian, toh dirinya dan Gavin juga satu kelas. Gen membuka grup kelas ada sekitar 110 pesan belum terbaca, mereka kebanyakan membicarakan hal hal yang tidak begitu penting, tak sengaja mata Gen melihat gelembung chat milik Gavin yang tertulis "Ada yang lihat jaketku?" beberapa murid mengkutip pesan Gavin dengan memberi jawaban seperti "Tidak", "Aku tidak melihatnya", atau "Aku bukan ibumu jangan tanya padaku dimana jaketmu". Membaca pesan Gavin membuat Gen tidak enak hati, ia ingin membalas pesan itu, mengatakan jaket milik Gavin ada padanya, tapi entah mengapa jarinya hanya diam saja tidak mengetikkan sesuatu. Sebuah balasan untuk pesan Gavin muncul dilayar ponselnya, itu Collin, yang mengatakan bahwa dia melihat jaket milik Gavin dan memberikannya pada Gen dengan alasan "Rumah kalian deka
Seorang gadis dengan rambut kucir kuda, berlari ditengah koridor sekolah yang sudah sepi, sepertinya gadis itu terlambat. Terlihat dari mimik wajahnya yang sedikit gusar. Dirapihkannya sedikit anak rambut yang bergelantungan, merapikan seragam sambil menarik napas panjang agar tidak gugup. Dibukanya pintu kelas dengan hati hati, gadis cantik itu melihat sekeliling, masih ramai. Ternyata belum ada guru yang datang, ia menghela napas lega. Segera, ia berjalan pelan mencari bangku yang masih kosong untuk ditempatinya. Bangku tiga baris dari depan dekat pintu dipilihnya, gadis itu duduk dengan canggung. Tak lama, seorang gadis mengenakan bando biru menghampiri tempat duduknya, menanyakan siapa namanya. "Genevive, namaku Genevive" Gadis berbando biru terkejut mendengar namanya, "Wah cantik sekali namamu". Genevive hanya tersenyum kecil, "Lalu bagaimana denganmu?" tanya Gen pada gadis disampingnya. "Aku Giselle, salam kenal. Bole
Jam menunjukkan pukul 10 pagi, menampilkan Gen yang sedang membersihkan kamar miliknya yang terlihat, hng, sangat berantakan. Terdapat banyak sekali barang berserakan dilantai, dan juga sampah makanan. Ew, sangat jorok"Argh, sial kenapa kamarku terlihat begitu buruk?" Gen mengeluh kesal, padahal menurutnya itu bukanlah hal yang buruk, hanya sedikit tidak nyaman saja.Dengan sigap, Gen mulai menata semua barang yang ada dimeja dan mengembalikan nya ketempat semula, tak lupa ia juga mengganti sprei dan menyapu lantai. Sebetulnya, Gen cukup suka dengan bersih bersih tapi entah mengapa terkadang dirinya merasa malas, jadi ya begitulah ia bisa menjadi rajin dan pemalas dalam satu hari. Bisa ditebak setelah selesai membersihkan kamar, ia pasti langsung merebahkan dirinya diatas kasur hingga sore hari, tanpa mandi. Jorok sekali.Sudah tiga setengah jam Gen membersihkan kamar, waktu yang cukup lama untuk membersihkan ruangan yang tidak terlalu besar. Jangan ditan
"Sial" Gen tidak sengaja melukai jari tangannya dengan pisau, ia meringis kesakitan. "Ah pisau menyebalkan". Tebak, dalam sehari ini sudah berapa kali Genevive mengeluarkan umpatan? Gen berjalan ke arah loker miliknya dan membuka apron yang ia pakai lalu melipatnya, "Baguslah hari ini tidak begitu buruk, walaupun tanganku harus terkena sayatan pisau" kata Gen. "Hei, mau pulang?" Gen yang terkejut kemudian membalikkan tubuhnya, dilihatnya Julio sedang tersenyum kecil. "Oh, iya sebentar lagi jam kerjaku selesai. Ada apa?" Gen bertanya. Laki-laki berambut hitam itu mengedipkan matanya beberapa kali dan menjawab "Tidak ada apa-apa, aku hanya bertanya apakah tidak boleh?" Gen tertawa geli, "Ya tentu saja boleh, siapa aku yang bisa melarangmu?" Julio hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya, yang sebenarnya tidak gatal. Julio salah tingkah. "Baiklah Julio, aku harus pulang. Sampai ketemu besok!" Gen mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Julio.
Genevive, atau yang akrab disapa Gen. Berusia 19 tahun, eh sebenarnya dia masih 18 tahun, tepat satu bulan lagi Gen akan berulang tahun yang ke 19. Jadi, dia masih berumur 18, benar kan? Gen adalah gadis biasa, maksudku, benar benar biasa. Jika dia tidak berusaha mendapatkan teman saat disekolah, maka tidak akan ada yang mengenalnya. Ya betul, dia sungguh berusaha agar mendapatkan teman, setidaknya satu, dalam seluruh hidupnya saat bersekolah. Misalnya, saat ia pertama kali masuk sekolah menengah atas, Gen berusaha sangat keras agar dia dikenal banyak orang, baik guru atau murid. Maka dari itu, Gen mengikuti banyak sekali kegiatan di sekolah, mulai dari pramuka, club renang, club radio, hingga organisasi siswa atau biasa disebut OSIS. Gen bahkan harus berpura pura menjadi pribadi yang ceria dan cerewet, padahal dia anak yang pendiam dan tidak banyak bertingkah, semua itu Gen lakukan agar bisa diterima di lingkungan sekolah. Setiap pulang sekolah Gen merasa sa