Jean dan Watt tiba di depan rumah sakit Lakeshore dengan cepat karena jalan yang begitu luang. Jean segera berlari menuju lift meninggalkan Watt yang masih ada di luar gedung tersebut. Jean terus menekan tombol lift, tapi sama sekali tak ada yang terbuka. Jean yang sudah hilang kesabaran pun memilih lewat tangga darurat. Jean segera berlari menaiki anak tangga menuju ruangan yang sudah di beritahukan oleh Jason sebelumnya. Ruang tempat Lusiana di rawat ada di lantai 5 saat ini Jean masih berada di lantai 2. Watt baru saja tiba di depan pintu tangga darurat. Ia terus memanggil-manggil nama Jean, namun Jean masih terus berlari menaiki anak tangga.
"Jean!" Teriak Watt yang terus mengejarnya."Mengapa kau tak naik lift?" Tanya Watt.Jean masih terus belari. "Lift nya penuh!"Tiba-tiba langkah Jean terhenti di lantai 4. Ia melihat Jason yang tergeletak tak berdaya di lantai. KepalaJean terus berada di samping Jason yang masih tak sadarkan diri. Tubuh Jean terasa sangat lemah karena mendonorkan darahnya pada putra nya tersebut. Pihak rumah sakit sama sekali tak menemukan golongan darah yang cocok dengan Jason. Mereka bahkan mengatakan baru pertama kali menemukan darah dengan golongan AO Rh Negatif. Namun ternyata golongan darah Jean sama dengan Jason. Jean merebahkan kepalanya di tepi ranjang rumah sakit. Ia masih terus menunggu Jason membuka matanya.Sudah lewat tiga hari Jason tak kunjung sadar. Kondisi nya yang seringkali memburuk itu membuat Jean merasa cemas. Walaupun ia tidak pernah membesarkan Jason dengan kasih sayang, namun tak bisa di pungkiri bahwa rasa sayangnya begitu besar. Bisa di bilang Jason adalah satu-satu nya keluarga yang dimiliki nya saat ini. Sebenarnya ia memiliki Eliza, namun wanita itu seperti terus menghilang darinya.Jean menghela nafasnya dalam keadaan tertidur. Ia merasa tubuhn
Jean menatap Franco dengan sorot matanya yang tajam. Ia merasa harus segera menyingkirkan pria tersebut. Franco sudah banyak membuat Jason berada dalam kondisi yang sulit. Jean perlahan mengulurkan tangannya ke belakang. Ia memberikan sesuatu pada Watt yang ada di belakangnya. Franco nampak tak menyadari pergerakan dua orang tua tersebut. Setelah benda itu berhasil pindah ke Watt, Jean pun tersenyum ke arah Franco."Sebaiknya kita akhiri dengan tenang. Aku sama sekali tak ingin melukai siapapun." Ujar Jean.Franco mendecih pelan, lalu ia menaikan sebelah alisnya. "Kau pikir aku takut dengan mu?"Jean mundur satu langkah hingga sejajar dengan Watt yang semula ada di belakangnya. Jean menoleh sekilas ke arah Watt untuk melihat kesiapan rekannya tersebut. Franco melirik arloji nya, lalu ia terlihat mencari seseorang. Ia menolehkan kepalanya ke semua sudut rumah tersebut. Lalu tiba-tiba Franco tersenyum saa
Sudah dua hari Jason sadar, namun sama sekali tak ada siapapun yang datang. Jason berpikir bahwa dia mungkin tak punya keluarga. Jason berjalan menyusuri koridor dengan perasaan bingung. Ia terus memikirkan apa yang harus di lakukan selanjutnya. Lalu dia harus pergi kemana setelah keluar dari rumah sakit. Ia sama sekali tak punya seseorang yang mengenalnya. Selama ini ia hanya bertemu dengan suster yang pertama kali dilihatnya. Jason menghembuskan nafasnya, lalu ia memutuskan untuk keluar dari rumah sakit tersebut. Jason berjalan di sekitar taman. Ia melihat banyak sekali orang yang berkumpul di taman bersama keluarganya. Sedangkan Jason kini hanya seorang diri tanpa siapapun di sampingnya. Padahal dalam keadaan hilang ingatan sementara ini, seharusnya Jason di dampingi oleh seseorang untuk memulihkan ingatannya. Setelah cukup lama mengelilingi taman, Jason pun berjalan menuju ke sisi jalan raya. Ia melihat lampu lalu lintas yang
Siang ini Jason tak sendirian. Di ruangannya sudah ada dua orang yang mengaku sebagai ayahnya dan kekasihnya. Jason membiarkan saja kedua orang itu terus bertingkah seperti peran yang di mainkannya. Saat ini Jason hanya ingin mengembalikan ingatannya tanpa bantuan siapapun. Jason bangun dari tempat tidurnya untuk pergi ke kamar mandi. Franco pun membantu Jason untuk berjalan ke kamar mandi. Jason mengernyitkan dahinya saat melihat Franco yang begitu peduli padanya. Jason sempat mengira bahwa Franco memang benar ayahnya, namun saat ini ia sedang hilang ingatan. Siapapun bisa mengaku dan berpura-pura menjadi keluarganya."Aku bisa sendiri." Ujar Jason saat tiba di depan pintu kamar mandi.Franco melepaskan tangannya dari lengan Jason sambil tersenyum. "Baiklah. Aku akan menunggu di luar.Jason menganggukan kepalanya, lalu ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Sesampainya di dalam kamar mandi, Jason mengin
Jason mengganti pakaiannya dengan baju sehari-harinya. Ia harus segera keluar dari rumah sakit. Ia harus segera meyelesaikan rencana nya. Sejak 2 jam kepergian Jean dan Tangan Kanan, ia langsung merencanakan untuk kabur dari rumah sakit. Jason memasukan semua barang nya yang si bawa ke rumah sakit. Setelah semuanya siap, Jason pun segera keluar dari kamarnya. Jason berjalan sambil menundukan kepalanya melewati koridor yang lumayan sepi. Lalu dari ujung koridor, terlihat seorang suster yang berjalan ke arahnya. Jason pun segera masuk kembali ke kamarnya. Ia segera merebahkan tubuhnya di kasur rumah sakit. Namun suara langkah suster itu terdengar menjauh. Jason pun memutuskan bangun karena suster itu tak kunjung datang. Sebelum pergi, Jason menyambar keranjang buah yang ia lupakan. Lalu ia segera keluar dari ruangan tersebut.Jason melangkah cepat ke arah tangga darurat. Ia tak bisa melewati lift karena akan ketahuan. Maka dari itu ia memutuskan untuk melewa
Jika seandainya waktu bisa di putar kembali, Jason akan memilih lahir sebagai batu. Sama sekali tak akan ada yang menyakiti batu selain anak-anak yang kesepian. Selain itu batu juga berguna, misalnya untuk melemparnya ke kepala seseorang. Jason merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Ia mengambil sebuah kertas dan pulpen dari saku celananya. Ia melihat daftar nama yang ada di kertas tersebut. Jason menandai nama Watt, Keanna, dan Nancy dengan tanda silang. Itu artinya mereka sudah keluar dari permainan. Kini di kertas itu menyisakan Jean, Franco, Holland, Eliza, Lusiana, dan Walikota. Jason menuliskan nomor di atas nama mereka. Nomor-nomor itu yang nantinya akan menjadi urutan kematian mereka.Jason bangkit dari sofa empuknya, lalu ia mengambil ponselnya yang ada di kamar. Terdapat banyak sekali panggilan dan pesan disana. Namun Jason sama sekali tak berniat membacanya. Jason memilih menghapus semua pesan dan riwayat panggilan itu. Jason pergi ke ruang baw
Jason mengambil kertas dan pulpen dari saku celana nya. Ia melihat kertas yang terdapat nama-nama orang yang akan di bunuh olehnya. Jason pun menandai nama Eliza dengan tanda silang. Selanjutnya, ia akan segera mendatangi Holland yang menjadi korban nomor 2 nya. Jason segera memasuki mobilnya. Ia tak ingin membuang waktunya. Setiap menitnya akan sangat berarti jika di gunakan untuk menyiksa korbannya.Jason melajukan mobilnya menuju kediaman Holland yang tak terlalu jauh dari rumah Eliza. Jason berhasil mengumpulkan informasi tentang kediaman semua korbannya agar ia menjadi lebih mudah dalam mencarinya. Hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit, Jason sudah berada di depan sebuah rumah dengan pagar hitam yang menjulang tinggi. Matahari nampaknya sudah lelah bersinar, kini bulan lah yang mengambil alih tugasnya."Haaah... semoga dia belum mati. Aku tidak ingin jauh-jauh kesini hanya untuk menelepon bantuan lagi." Gumam
"Selanjutnya giliranmu."Jason berjalan ke arah Jean sambil terus menodongkan pistolnya. Jason menatap Jean dengan sorot datarnya. Lalu ia berhenti tepat di hadapan Jean yang juga terus menatapnya. Moncong pistol itu sudah berada tepat di dahi Jean. Sedangkan Franco yang ada di samping Jean hanya bisa diam melihat pemandangan tersebut."Ucapkan selamat tinggal." Ujar Jason.Jean tersenyum tipis sambil menatap anaknya tersebut. "Selamat tinggal, Jason."Jason tertawa terbahak-bahak saat melihat ekspresi ayahnya tersebut. Jason menurunkan pistolnya, lalu ia memeluk ayahnya dengan erat. Jason menepuk-nepuk bahu Jean sambil tersenyum. Jean yang semula kaget pun mulai bisa memahami situasi aneh tersebut. Jason memang tak pernah bisa di tebak.Jason melepas pelukannya, lalu ia menoleh ke arah Tangan Kanan yang masih tersungkur di lantai. Jason berj