“MAAF KARENA KAU jadi menyetir mobil, padahal seharusnya aku yang memberimu tumpangan.”
Nada sesal seseorang di sampingnya dibalas senyuman sopan oleh Airi. Saat itu, kebetulan lampu lalu lintas tengah menyala merah. Airi menyempatkan diri untuk menoleh, melihat Yui Shigaki yang masih kelihatan bersalah.
“Tak masalah, Yui-chan. Ucapan ayahmu benar, lebih baik kau mendapatkan lisensi menyetir dulu daripada harus berurusan dengan polisi,” balas Airi. Dia kembali menjalankan mobil setelah lampu lalu lintas berganti warna hijau. “Lagian, seharusnya aku yang menyediakan kendaraan, bukan malah menimpakannya padamu.”
“Eh, kau masih belum mendapatkan dealer mobil?” tanya putri bungsu atasan Airi itu dengan heran. Rambut cokelat pudarnya tertiup oleh angin malam.
“Tepatnya, temanku yang masih belum mendapatkannya.” Airi memutar setir, berbelok melalui jalan raya di kawasan mewah.
“Apakah temanmu ini bernama Ethan Nishida?” tanya Yui tiba-tiba.
TUJUAN AIRI BERTEMU Hiroki adalah untuk memberi tahu jerat masalah Hasegawa yang merongrongnya, bukan untuk mendengar kabar buruk Hiroki yang disebabkan oleh salah satu sumber masalahnya. Seperti yang telah dijanjikan, Hiroki menjemput Airi di kantor pada jam makan siang. Mencoba mengikuti saran dari Ethan, Airi juga sudah berniat untuk membuka topik mengenai Kei. Niatan tersebut hilang setelah dia melihat Hiroki yang tampak lebih lesu dari biasa. Hiroki memang melemparkan senyum, tapi bukan senyum lelah itu yang ingin Airi lihat. “Hei, kau baik-baik saja?” Adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Airi. Hiroki tentu saja mengangguk. Reaksinya amat berkebalikan dengan asumsi di benak Airi. “Kau sedang sakit?” Airi mencoba memastikan. “Ah, tidak, aku hanya kelelahan,” jelas Hiroki. Dia kembali mengulas senyuman. “Mau makan di tempat yang agak berbeda? Kelihatannya kau juga butuh udara segar.” Airi menerima tawaran Hiroki dan
SORE ITU, KEI sengaja mengatur ulang jadwalnya agar dapat menemui Felix dan Akaba untuk mendengar perkembangan penyelidikan kasus pembunuhan Detektif Yamashiro. Pelabuhan Tokyo adalah tempat pertemuan mereka. Lokasi ini dipilih atas dasar permintaan Felix. Katanya, dia sedang ada pekerjaan di sana dan akan terlalu merepotkan jika harus pergi menemui Kei. Permintaan ini disetujui karena lokasi tersebut dapat meminimalisasi adanya kebocoran informasi. Untuk kembali memastikan keamanan, Kei juga sudah memeriksa bahwa tak ada seorang pun yang mengekorinya selama perjalanan kemari. Embusan angin pantai segera menerpa begitu Kei menjejakkan kaki di atas dermaga. Jalanan berlapis kayu yang menjorok ke arah pantai terbentang cukup panjang. Silau cahaya matahari sangat terasa di tempat ini. Kei perlu menyipit agar dapat melihat dengan jelas lokasi keberadaan Felix. Lelaki itu sengaja merepotkan Kei dengan berdiri di ujung dermaga, seolah memaksa Kei berjalan
KEI HANYA MEMBUTUHKAN pesan yang disampaikan oleh Koshi Takahiro melalui Akaba, bukan pesan mengenai Mei yang telah menemui Airi. Gerak jemari yang tengah mengetikkan alamat pertemuan tiba-tiba terhenti begitu mendengar pertanyaan dari anak buah Felix. Kei mengerling dari ponsel, meminta Akaba mengulang pernyataan. Reaksi tersebut sedikit tak disangka oleh si pemuda berambut panjang. Nada suaranya menjadi ragu ketika kembali mengulang ucapan, berusaha menjelaskan. “Eh, waktu itu aku sempat menggantikan Saki untuk memantau Ishihara-san,” awal Akaba. “Dia memang berangkat kerja seperti biasa. Tapi, khusus di hari itu, dia pulang kantor lebih awal, jadi aku terus mengikutinya untuk memastikan tak ada masalah apa pun.” Akaba sedikit berdeham untuk menutupi rasa gugup. “Dia, uhm, pergi ke restoran tradisional untuk menemui seseorang yang ternyata adalah ibumu, Kei-san. Ketika keluar dari sana, Ishihara-san kelihatan marah … jadi, aku penasaran, apakah dia
TAK ADA GUNANYA mengelak. Airi tahu, untuk dapat keluar dari benang runyam ini, dia harus menguraikan permasalahan mereka satu per satu, termasuk mengenai kebenaran atas keberadaan Kazuki. Mata menatap nanar kertas-kertas dalam genggaman. Dari semua informasi yang ada, bukti tes DNA adalah satu-satunya hal yang paling jauh dari perkiraan. Airi merasa tak lagi mempunyai privasi. Apa saja yang dapat dilakukan orang-orang ini? Mulut mengatup. Airi menahan embusan napas. Dia benar-benar lelah. Dengan nada pelan, dia bergumam, “Aa. Kau benar,” pada Kei. Jawabannya teramat kasual, tanpa beban, seolah dia memang sedang mengutarakan fakta yang tak begitu berarti. Respons sang lelaki bergulir kaku di telinganya. Kei terdengar marah dan geram. Airi tak perlu melihat untuk tahu kondisi itu. “Kapan?” tanya Kei. “Kapan kau mengandung?” Airi menatap ke luar, mulai mengerti pada arah pembicaraan mereka. “Dia la
KEKECEWAAN TAK TERPERI, Airi tak pernah ingin kembali merasakannya. Ketika mengenal Kei dulu, dia tahu, lelaki itu amat berambisi pada sesuatu yang ingin dicapai. Dia akan mengerahkan seluruh kemampuannya demi meraih tujuan, tak peduli seberapa besar usaha yang harus dikorbankan. Seluruh perencanaan, kerja keras, dan dedikasinya selalu imbang. Suatu kali, Kei pernah sangat membutuhkan uang setelah bertengkar dengan ayahnya. Sebagai anak konglomerat, Airi mengira bahwa Kei akan kesulitan jika harus hidup berhemat selagi mengumpulkan biaya dari usaha sendiri. Nyatanya, Airi salah. Kei mudah saja hidup dengan sederhana. Dia sama sekali tak mengeluh ketika hanya dapat mengonsumsi sereal dan nasi kepal selama sebulan. Juga kehilangan hampir sebagian jam tidurnya akibat mempelajari berbagai teknis website demi mendapatkan kecakapan yang bisa dijual sebagai pekerja lepas—freelancer. Ambisi semacam itu, Airi sangat mengaguminya. Dia amat menghargai
NADA SAMBUNG TELEPON kembali terdengar, lagi-lagi diikuti ketiadaan jawaban. Sudah entah ke berapa kali Kei melakukannya, mulai dari pagi hingga siang ini. Akibat penyusunan ulang jadwal kerja demi menemui Felix, Kei jadi benar-benar tak mempunyai waktu luang untuk hari-hari berikutnya. Janji pertemuan dengan para kolega sudah mengantri, begitu pula rapat dan laporan berbagai perkembangan proyek dari tiap departemen. Waktu luangnya hanya berada di antara rapat satu dan rapat lainnya, ditambah dengan istirahat makan siang. Kesibukan ini sudah biasa. Kei tak pernah merasa dikejar-kejar waktu—paling tidak hingga sekarang. Sudah dua hari sejak dialog tak menyenangkan itu. Sudah dua hari pula Kei berusaha menghubungi Airi di sela-sela waktu luang yang hampir tidak ada. Tak jarang, dia merasa sangat ingin menemui perempuan itu. Keinginan tersebut pupus begitu dia didatangi asisten yang mengingatkan agenda lain yang belum terlaksana. Untuk pertama kali dalam hidupny
SAAT TIBA DI rumah sakit yang dituju, Kei masih belum terlambat. Ambulans yang membawa sang kakek tiba sekitar sepuluh menit setelah kedatangannya. Dia baru berbincang sebentar dengan beberapa pekerja medis yang bertugas ketika mobil khas bercat putih berhenti tepat di hadapan pintu utama. Para perawat dan seorang dokter yang memang sudah menunggu segera bergegas mengurus pasien mereka, membawanya ke ruang gawat darurat menggunakan tempat tidur khusus yang biasa digunakan untuk membawa pasien. Kei sempat melihat kondisi kakeknya. Tajima Hasegawa tiba tanpa kesadaran. Alat bantu pernapasan terpasang di hidung dan mulut. Begitu pula dengan alat infus dan beberapa alat kesehatan lain yang tak begitu dipahami oleh orang awam. Wajah pria sepuh itu pucat. Tulang pipinya tampak lebih menonjol dari yang terakhir kali Kei ingat. Menolehkan pandangan kepada seorang karyawan rumah sakit yang ikut mengantar kakeknya, Kei menerima dokumen yang diperlukan untuk masalah adm
“ISHIHARA-SAN, ADA KIRIMAN buket bunga lagi untuk Anda. Di mana saya harus meletakkannya?” Airi yang sedang menata meja kerjanya pun menoleh. Dia melihat Yugao di ambang pintu kantor. Sebuah buket bunga berwarna ungu tergenggam di tangannya—jenis bunga yang sama seperti beberapa bunga yang sejak kemarin dia dapat. “Untukmu saja,” balas Airi tanpa minat. Dia meraih ponsel, mengetikkan sesuatu di sana, tak sempat melihat Yugao yang menatapnya bingung. “Eh,” komentar sang sekretaris, matanya memandang buket bunga di genggaman. “Tapi, bunga ini ditujukan untuk Anda ….” Menyimpan ponsel ke dalam tas. Airi kembali menimpali, “Daripada aku kembali membuangnya karena terlalu banyak?” Yugao mengembuskan napas pelan, masih amat teringat dengan ketidakrelaan yang menimpa ketika disuruh untuk membuang bunga-bunga nan cantik ini. Entah diketahui Airi atau tidak, bunga yang diterimanya adalah bunga hyacinth ungu—jenis bunga yang biasa dimaknai sebag