“Cut, Mas Sukarsa, Cut ….”Konah lari tergesa-gesa ke dalam rumah. Dia menghampiri suaminya yang sedang asik menyantap ayam goreng kesukaan.“Apa sih, Nah? Aku lagi makan, nih ….”Icut tak mau diganggu. Selera makannya sedang tinggi. Hatinya juga sedang berbunga karena baru saja mendapat uang segepok dari Sukarsa. Iya. Sepupunya itu memberikan banyak uang sebelum kembali ke rumahnya.“Mas Sukarsa kecelakaan, Cut. Dia meninggal dunia,” ucap Konah. Sang suami yang sedari tadi asik menyantap makanan, kini tangannya seolah membeku. Nasi yang sudah ada di tangan dan siap dimasukkan ke mulut, kini ditaruh kembali di atas piring.“Ha ha ha. Kita berhasil, Nah. Berhasil,” ucap Icut kegirangan.Ternyata ekspresi terkejutnya tadi tak berubah menjadi kesedihan. Justru dia merasa sangat bahagia. Usahanya membuahkan hasil. Usaha yang membuat dirinya bahagia namun dikutuk oleh Tuhan.“Ini hanya kebetulan saja, Cut. Mas Sukarsa meninggal bukan karena kita. Ini hanya kebetulan,” sanggah Konah, tak p
“Cut … Bayu, Cut. Bayu meninggal.”Seperti dejavu. Konah berlari masuk ke rumah dan mengabarkan berita duka ini pada sang suami. Kondisinya sama seperti saat Sukarsa dikabarkan meninggal. Konah akan datang memberi kabar, dan sang suami akan menanggapi dengan senyuman tipis.“Ini gak kebetulan lagi. Ini berkat Nyi Sekar. Aku sakti, Nah. Aku sakti. Siapapun yang berani menentangku, akan ku lenyapkan, ha ha ha.”Konah takut melihat suaminya tertawa terbahak-bahak. Sangat mengerikan. Tapi lagi-lagi, dia bisa apa? Cuma terdiam tanpa berani menasehati. Lama-lama, Konah mulai terbiasa dengan situasi ini. “Ayo kita ke rumah Mirah! Kita harus menjadi orang pertama yang ada di sana. Menemani Mirah dan anaknya,” ucap Icut.Mereka berdua lantas pergi ke desa sebelah. Rumah yang telah lama ditinggalkan Sukarsa dan menjadi harta untuk Mirah.“Ini semua gara-gara mereka. Mas Bayu meninggal gara-gara mereka!”Lagi-lagi Icut tersenyum akan situasi kacau di rumah itu. Kali ini, Mirah menyalahkan Laras
“Mas … lihat sini, deh!”Pagi-pagi Embun telah heboh. Dia terus melihat ponselnya. Bumi yang mendengar panggilan istrinya pun mendekat.“Apa sih, Sayang? Mas mau mandi nih. Mau kerja.”“Ini, lihat!”Embun menyodorkan ponselnya ke depan wajah suaminya. Bumi harus menyipitkan matanya untuk melihat sebuah video yang ada di ponsel istrinya.“Siapa ini? Mas Jery?” tanya Bumi. Embun mengangguk.“Dia viral, Mas. Tertangkap basah oleh petugas. Kedapatan di kamar hotel bersama wanita panggilan.”Bumi kembali melihat video itu. Dia mendengar baik-baik narasi yang disampaikan di video itu. Mas Jery adalah suami dari Bella, kakak perempuan Bumi. Sudah lama Bumi tak mendengar kabar dari kakak perempuannya. Terakhir dia berkomunikasi saat mengabarkan kematian Bara. Lagi-lagi, kakak perempuan Bumi satu-satunya tak bisa hadir dan pulang saat itu. Alasannya selalu sama. Karena sibuk mengurus keluarganya. Dan kini, Bumi dan Embun justru dikejutkan dengan kabar kurang mengenakkan. Suami kakaknya kedap
TriiingTriiingTriiingTiba-tiba ponsel Bella berdering. Itu dari Jery. Embun lantas menoleh ke arah suaminya. Berharap sang suami mewakili kakaknya untuk menerima telepon itu. Karena Bella benar-benar mengeratkan pelukannya ke tubuh Embun. Dia tak mau menjawab telepon suaminya.“Angkat aja, Mas!” titah Embun pada sang suami.Bumi mengangguk dan menerima panggilan telepon dari Jery.“Halo. Bella? Kemana saja kamu? Sudah 2 hari gak pulang-pulang. Anak-anak dititipin ke Ibu. Dasar gak becus. Kenapa hidupmu terus nyusahin orang, sih?”Panggilan itu di-loudspeaker oleh Bumi. Semua orang di rumah itu bisa mendengar makian Jery. Kata-kata hinaan terus dilayangkan dari seberang telepon tanpa menunggu jawaban dari pihak Bella.“Sudah ngomongnya, Mas?” tanya Bumi. Dia bertanya seperti itu setelah suara Jery tak terdengar lagi. Sepertinya pria itu sedang mengambil nafas setelah lama berceloteh.“Loh, ini siapa? Kok suara cowok? Siapa kamu? Oooh aku tahu. Kamu selingkuhannya Bella?”Semua orang
“Mau kemana, Jer?”Bu Endang bertanya pada sang anak. Dia penasaran melihat sang anak yaitu Jery berjalan tergesa-gesa menuju mobilnya.“Aku mau susul Bella, Ma.”“Susul dia? Buat apa? Bukannya dia lagi di rumah orang tuanya? Itu jauh sekali, Nak. Kamu perlu naik pesawat untuk sampai ke sana. Sayang uangmu.”Bu Endang tak setuju akan keputusan anaknya. Kalaupun harus kehilangan menantunya itu, ia ikhlas. Ia memang tak suka dengan Bella. Baginya, Bella dan anak-anaknya hanya menyusahkan. Hanya menghabiskan uang Jery saja.“Tapi anak-anak gimana, Ma? Siapa yang jaga? Dia harus diberi pelajaran. Dia harus ingat akan kewajibannya,” ucap Jery menggebu-gebu.“Biar Mama yang urus anak-anak. Kamu gak perlu khawatirkan itu. Mendingan kamu ceraikan saja dia!” Sang Ibu menghasut anaknya untuk menghancurkan rumah tangganya.“Loh, jangan, Ma! Umur segini, Mama sudah seharusnya beristirahat. Biar Bella saja yang mengurus kita semua. Tunggu, ya, Ma! Aku akan bawa Bella ke sini. Setelah itu, kita bis
“Mau ngapain lagi sih kamu nyari Bella, Mas? Kan sudah ada aku.”Mega protes pada sang kekasih. Jery sudah mengatakan cinta dan berjanji menikahinya. Lalu, saat istrinya kabur, pria itu malah mengejar istrinya dan mengabaikan Mega. Beruntung Mega masih diizinkan ikut menjemput Bella oleh Jery. Paling tidak, Mega bisa membatasi kedekatan Jery ke istrinya. Dia tak akan membiarkan Bella menumbuhkan benih-benih cinta lagi pada Jery.“Sudah, kamu ikut saja! Aku hanya menjemput Bella demi Mama dan anak-anak.”“Maksud kamu, Mas?”“Iya. Bella harus tetap menjadi istriku.”“Apa? Jadi aku akan dijadikan istri kedua gitu? Aku gak mau.”Mega cemberut. Jery benar-benar ingkar janji. Baru kemarin pria itu berjanji akan menceraikan Bella dan menjadikannya istri satu-satunya. Kini omongan Jery berubah lagi. Tentu saja Mega tak terima.“Tenang, Sayang. Walaupun kamu menjadi yang kedua, tapi cintaku akan kuberikan seutuhnya untuk kamu.”“Omong kosong. Kalau kamu memang benar-benar cinta padaku, jadikan
“Bella, ayo keluar! Kita pulang sekarang. Anak-anak sudah menunggumu. Mereka rindu padamu, Bel.”Jery berteriak di rumah orang. Bumi yang mendengar semua ini, kembali geram. Dia pun menegur kakak iparnya.“Kamu gak sopan banget, Mas. Teriak-teriak di rumah orang! Cukup!”“Bodo amat. Aku hanya memanggil istriku, kok. Lagipula ini kan bukan rumah kamu. Ini rumah mertuamu. Jadi menantu kok benalu.”Bumi sangat merasa terhina akan perkataan Jery. Tapi di sisi lain, dia kembali teringat akan masa lalu. Saat sang ibu mengatakan Embun, istrinya, sebagai benalu. Kini dia merasakan sakit yang sama. Dikatakan benalu oleh kakak iparnya sendiri.“Kenapa diam lagi? Ucapanku benar, ya? Sepertinya kamu banyak masalah, ya? Ha ha ha.” Jery memancing emosi Bumi.Sedangkan di dalam kamar, Bella mendengar teriakan suaminya. Dia meronta ingin dilepaskan. Ingin menemui suaminya dan pulang bersamanya. Tapi Embun tak mengizinkan. “Tolong, Bun. Biarkan aku pergi. Kamu gak denger perkataan Mas Jery? Dia bilan
Sebenarnya mereka telah berencana menjemput Bu Retno saat keluar dari penjara. Mengajak wanita tua itu hidup bersama mereka dengan rukun. Bagaimanapun juga, Bu Retno adalah ibu mereka. Orang yang berjasa di hidup mereka. Lupakan semua kesalahan masa lalu dan mulai membangun masa depan yang lebih baik. Setidaknya, itulah rencana Bumi dan Embun untuk sang ibu.“Aku juga gak tahu, Sayang. Bisa saja Mas Jery berbohong. Tapi aku tetap ingin mengecek ke sana. Lagipula, aku sudah tak lama melihat rumah masa kecilku. Aku harus kembali merawat rumah itu hingga layak ditempati lagi,” ucap Bumi.Embun setuju. Dia lantas meminta izin sang suami untuk ikut serta.“Jangan, Sayang! Ini udah mulai sore. Aku hanya pergi sebentar, kok. Kamu di rumah saja! Jaga anak-anak dan aku titip Mbak Bella.” Bumi melarang istrinya untuk ikut. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Tapi Embun tetap kekeh. Dia mengatakan kalau anak-anak telah dijaga ibu dan baby sitter. Ada ART di rumah ini juga membuat Embun lebi
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana