“Bella, ayo keluar! Kita pulang sekarang. Anak-anak sudah menunggumu. Mereka rindu padamu, Bel.”Jery berteriak di rumah orang. Bumi yang mendengar semua ini, kembali geram. Dia pun menegur kakak iparnya.“Kamu gak sopan banget, Mas. Teriak-teriak di rumah orang! Cukup!”“Bodo amat. Aku hanya memanggil istriku, kok. Lagipula ini kan bukan rumah kamu. Ini rumah mertuamu. Jadi menantu kok benalu.”Bumi sangat merasa terhina akan perkataan Jery. Tapi di sisi lain, dia kembali teringat akan masa lalu. Saat sang ibu mengatakan Embun, istrinya, sebagai benalu. Kini dia merasakan sakit yang sama. Dikatakan benalu oleh kakak iparnya sendiri.“Kenapa diam lagi? Ucapanku benar, ya? Sepertinya kamu banyak masalah, ya? Ha ha ha.” Jery memancing emosi Bumi.Sedangkan di dalam kamar, Bella mendengar teriakan suaminya. Dia meronta ingin dilepaskan. Ingin menemui suaminya dan pulang bersamanya. Tapi Embun tak mengizinkan. “Tolong, Bun. Biarkan aku pergi. Kamu gak denger perkataan Mas Jery? Dia bilan
Sebenarnya mereka telah berencana menjemput Bu Retno saat keluar dari penjara. Mengajak wanita tua itu hidup bersama mereka dengan rukun. Bagaimanapun juga, Bu Retno adalah ibu mereka. Orang yang berjasa di hidup mereka. Lupakan semua kesalahan masa lalu dan mulai membangun masa depan yang lebih baik. Setidaknya, itulah rencana Bumi dan Embun untuk sang ibu.“Aku juga gak tahu, Sayang. Bisa saja Mas Jery berbohong. Tapi aku tetap ingin mengecek ke sana. Lagipula, aku sudah tak lama melihat rumah masa kecilku. Aku harus kembali merawat rumah itu hingga layak ditempati lagi,” ucap Bumi.Embun setuju. Dia lantas meminta izin sang suami untuk ikut serta.“Jangan, Sayang! Ini udah mulai sore. Aku hanya pergi sebentar, kok. Kamu di rumah saja! Jaga anak-anak dan aku titip Mbak Bella.” Bumi melarang istrinya untuk ikut. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Tapi Embun tetap kekeh. Dia mengatakan kalau anak-anak telah dijaga ibu dan baby sitter. Ada ART di rumah ini juga membuat Embun lebi
“Iya … nanti Bumi kasi Ibu uang. Tapi Ibu harus ikut kami dulu, ya,” bujuk Bumi pada ibunya.Bu Retno menjawabnya dengan suara pukulan ke pintu. Sangat kencang. Para tetangga makin banyak keluar rumah dan mengamati Bumi dan yang lainnya.“Mas … Pak RT di sini masih Pak Sakti?” tanya Bumi pada Osin.“Oh … udah nggak, Mas. Memangnya kenapa?”“Tolong panggilkan Pak RT ke sini, dong! Siapapun itu. Aku perlu bantuan untuk membujuk Ibu.”Tanpa pikir panjang, Osin lantas pergi meninggalkan Bumi dan Embun di rumah itu. Osin sempat dicegat oleh beberapa warga yang menanyakan perihal kedatangan Bumi ke rumah itu. Entah apa jawaban pria itu, yang pasti dia hanya berhenti sebentar, meladeni pertanyaan warga, dan kembali berlari menuju rumah Pak RT.“Ayo keluar, Bu! Kita makan dulu, yuk! Ibu pasti belum makan, ‘kan? Rumah ini juga sangat gelap. Memangnya Ibu gak takut?”Berbagai cara telah dilakukan Bumi untuk membujuk sang Ibu keluar dari rumahnya.“Mas … aku pergi cari warung makan dulu, ya. Mau
Puluhan tahun silam“Aku rela makan sampah dan menjadikan daun kering sebagai uang selama sisa hidupku. Asalkan kalian mati secara mengenaskan.”Kata-kata sadis yang keluar dari mulut Retno membuat semua orang terkejut. Termasuk Aiman---suaminya, dan juga Yati---perempuan yang diduga sebagai pelakor.“Retno! Jaga ucapanmu! Ucapan adalah doa,” bentak Aiman pada istrinya.“Aku gak peduli, Mas. Aku cuma mau kalian mati. Mati secara mengenaskan.”Gigi Retno bergemeretak saat mengucapkan itu. Para tetangga mulai berkumpul di depan rumah Retno-Aiman untuk melihat apa yang terjadi.Sebagian besar tetangga di sekitar rumah mereka merasa iba dengan Retno. Walaupun ucapan Retno barusan tetap tak dapat dibenarkan. Selain mendoakan dirinya sebagai gelandangan, Retno juga mendoakan keburukan bagi orang lain.Kenapa Retno bisa semurka ini?Bagaimana tidak? Suaminya tiba-tiba datang membawa seorang wanita yang mengaku hamil. Padahal Retno baru saja melahirkan anak keempatnya yang bernama Bastian, ti
“Aku mau cerai aja, Las,” ucap Retno. Dia merasakan sakit yang teramat sangat. Tidak hanya fisik namun juga psikisnya.“Si Aiman memang benar-benar keterlaluan. Pelet apa sih yang dia terima dari wanita desa itu? Aiman sampai lengket gitu sama dia. Untung anakku perempuan, jadi kalau mau benci sama Aiman gak masalah,” ucap Lastri sambil melihat bayi mungilnya yang bernama Lidya.Lastri dan Retno sebenarnya sahabat dekat. Sudah sepuluh tahun lebih mereka menjalin persahabatan. Saling menyayangi, saling mengasihi, dan pastinya selalu berusaha ada dalam setiap suka maupun duka.“Kamu laporin aja Aiman ke kantornya, No. Biar dipecat sekalian.”Masa itu, mereka belum paham akan hukum yang bisa menjerat pasangan berselingkuh. Retno dan teman-temannya hanya tahu satu cara untuk menghancurkan Aiman dan selingkuhannya, yakni dengan melaporkan perselingkuhan ini ke kantor Aiman. Berharap pria itu dipecat dan tak memiliki pekerjaan. Setelah itu, Retno akan puas menceraikannya.“Atau gini aja, No
“Nenek sadar akan kesalahan terdahulu. Membiarkan ayah mertuamu menjalin hubungan dengan Yati.”Embun terpaku. Dia baru tahu soal cerita ini. Tentang kisah masa lalu mertuanya. Dia yang awalnya merasa kurang suka akan sikap ibu mertuanya yang manipulatif, kini justru terdiam. Ternyata ada kisah pahit dibalik semua perlakuannya. Bahkan hingga kini, Bu Retno harus menanggung buah dari hasil ucapannya terdahulu. Membuatnya menjadi wanita yang terindikasi ODGJ.Tapi Embun masih penasaran akan sosok Yati, istri kedua dari ayah mertuanya. Apakah wanita itu adalah ibu Laras? Embun pun nekat menanyakan semua ini pada Nenek Asti.“Cobalah kamu cari di barang-barang peninggalan mertuamu. Ada kotak kayu kecil penuh ukiran. Dulu Nenek pernah memberikan foto Yati dan anak yang baru dilahirkannya pada Aiman. Ayah mertuamu itu menyimpannya dalam kotak itu. Mungkin tempatnya tersembunyi karena tak ingin ketahuan Retno pada saat itu,” ucap Nenek Asti. Embun pun mengangguk. Nanti dia akan mencoba menc
“Gimana keadaan Bu Retno, Nak?” tanya Pak Salim, setibanya anak dan menantunya di rumah.Embun dan Bumi baru pulang saat tengah malam. Jarak yang mereka tempuh cukup jauh, perlu 1,5 jam perjalanan. Ditambah lagi mereka harus mengurus Bu Retno yang kini tengah dirawat di RSJ. Hal itu menyebabkan mereka pulang larut malam. Bahkan hari akan berganti beberapa menit lagi.“Loh, Papa belum tidur?” tanya Embun dengan wajah lelah. Sedangkan Bumi merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Terlihat sekali raut kesedihan serta lelah yang ada pada dirinya.“Belum. Papa gak bisa tidur sebelum kalian pulang.”Embun lantas pergi ke dapur membuatkan Ayah dan suaminya minum. Dirinya juga ingin mengisi tenaga dengan segelas coklat hangat. Dia membiarkan ayahnya berbincang dengan Bumi sebentar.Selagi bisa membuat sendiri, Embun memang tak perlu repot-repot meminta bantuan orang lain. Terlebih lagi ini sudah tengah malam. Walaupun saat ini keluarganya telah menyewa jasa ART inap, tapi Embun tak ingin bermal
“Loh, kemana semua barang di rumah ini, Pak?” Embun bertanya pada salah satu pekerja di rumah mertuanya.Kemarin, Embun dan Bumi sepakat untuk menyewa jasa orang untuk merapikan rumah sekaligus memperbaiki bagian rumah yang rusak.“Loh, bukannya Ibu menyuruh seseorang untuk mengangkut barang-barang itu ke tempat lain?” ucap salah satu pekerja.Embun dan Bumi saling pandang. Dia tak pernah menyuruh orang lain untuk membawa isi rumah ke tempat lain. Kalaupun harus dikeluarkan terlebih dahulu untuk memudahkan proses pembersihan rumah, harusnya Embun dan Bumi diberitahu terlebih dahulu.“Siapa orang itu?” tanya Embun.“Namanya Osin, Bu. Dia baru saja pergi menggunakan truk.”Tanpa pikir panjang, Embun dan Bumi bergegas mencari truk kuning sesuai petunjuk salah satu pekerja.“Mas Osin keterlaluan. Dia terlalu berani, Mas. Tanpa minta izin terlebih dahulu sama kita. Ini mah namanya pencurian. Terbukti dengan waktu pengangkutan barang. Dia ambil secepat mungkin dan pagi-pagi buta. Dia juga m
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana