“Nenek sadar akan kesalahan terdahulu. Membiarkan ayah mertuamu menjalin hubungan dengan Yati.”Embun terpaku. Dia baru tahu soal cerita ini. Tentang kisah masa lalu mertuanya. Dia yang awalnya merasa kurang suka akan sikap ibu mertuanya yang manipulatif, kini justru terdiam. Ternyata ada kisah pahit dibalik semua perlakuannya. Bahkan hingga kini, Bu Retno harus menanggung buah dari hasil ucapannya terdahulu. Membuatnya menjadi wanita yang terindikasi ODGJ.Tapi Embun masih penasaran akan sosok Yati, istri kedua dari ayah mertuanya. Apakah wanita itu adalah ibu Laras? Embun pun nekat menanyakan semua ini pada Nenek Asti.“Cobalah kamu cari di barang-barang peninggalan mertuamu. Ada kotak kayu kecil penuh ukiran. Dulu Nenek pernah memberikan foto Yati dan anak yang baru dilahirkannya pada Aiman. Ayah mertuamu itu menyimpannya dalam kotak itu. Mungkin tempatnya tersembunyi karena tak ingin ketahuan Retno pada saat itu,” ucap Nenek Asti. Embun pun mengangguk. Nanti dia akan mencoba menc
“Gimana keadaan Bu Retno, Nak?” tanya Pak Salim, setibanya anak dan menantunya di rumah.Embun dan Bumi baru pulang saat tengah malam. Jarak yang mereka tempuh cukup jauh, perlu 1,5 jam perjalanan. Ditambah lagi mereka harus mengurus Bu Retno yang kini tengah dirawat di RSJ. Hal itu menyebabkan mereka pulang larut malam. Bahkan hari akan berganti beberapa menit lagi.“Loh, Papa belum tidur?” tanya Embun dengan wajah lelah. Sedangkan Bumi merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Terlihat sekali raut kesedihan serta lelah yang ada pada dirinya.“Belum. Papa gak bisa tidur sebelum kalian pulang.”Embun lantas pergi ke dapur membuatkan Ayah dan suaminya minum. Dirinya juga ingin mengisi tenaga dengan segelas coklat hangat. Dia membiarkan ayahnya berbincang dengan Bumi sebentar.Selagi bisa membuat sendiri, Embun memang tak perlu repot-repot meminta bantuan orang lain. Terlebih lagi ini sudah tengah malam. Walaupun saat ini keluarganya telah menyewa jasa ART inap, tapi Embun tak ingin bermal
“Loh, kemana semua barang di rumah ini, Pak?” Embun bertanya pada salah satu pekerja di rumah mertuanya.Kemarin, Embun dan Bumi sepakat untuk menyewa jasa orang untuk merapikan rumah sekaligus memperbaiki bagian rumah yang rusak.“Loh, bukannya Ibu menyuruh seseorang untuk mengangkut barang-barang itu ke tempat lain?” ucap salah satu pekerja.Embun dan Bumi saling pandang. Dia tak pernah menyuruh orang lain untuk membawa isi rumah ke tempat lain. Kalaupun harus dikeluarkan terlebih dahulu untuk memudahkan proses pembersihan rumah, harusnya Embun dan Bumi diberitahu terlebih dahulu.“Siapa orang itu?” tanya Embun.“Namanya Osin, Bu. Dia baru saja pergi menggunakan truk.”Tanpa pikir panjang, Embun dan Bumi bergegas mencari truk kuning sesuai petunjuk salah satu pekerja.“Mas Osin keterlaluan. Dia terlalu berani, Mas. Tanpa minta izin terlebih dahulu sama kita. Ini mah namanya pencurian. Terbukti dengan waktu pengangkutan barang. Dia ambil secepat mungkin dan pagi-pagi buta. Dia juga m
“Siapa, Sayang?” tanya Anton dari dalam.Laras tak menjawab. Dia membiarkan suaminya datang ke depan pintu dan melihat siapa tamu yang datang.Benar saja. Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Laras, Anton pun menghampirinya ke depan. Baru saja keluar dari kamar, Anton sudah bisa melihat siapa yang datang berkunjung ke rumahnya.“Loh … Mbak Embun? Mas Bumi?” tanya Anton.“Siang, Anton. Siang, Laras. Kalian apa kabar?” tanya Embun pada pasangan suami istri itu.Dua orang yang ditanya spontan mengangguk dan menjawab pertanyaan Embun dengan kata “baik”. Mereka berdua terlihat bingung akan kedatangan mantan bos nya itu. Terlebih lagi bagi Laras. Terakhir bertemu dengan Embun, dia mendapat perkataan kurang mengenakkan dari wanita itu.“Ma … masuk, Mbak … Mas.” Laras mempersilahkan tamunya untuk masuk. Dia lantas pergi ke dapur untuk menyiapkan minum dan kue. Sedangkan Anton menemani kedua tamunya di ruang tamu.“Maaf, ya, Mbak … Mas, lesehan. Di rumah ini tak ada sofa, hee.” Senyum cang
“Maafin kakak, ya, Dek. Kakak gak bisa menyadari lebih dulu siapa kamu sebenarnya.”Bumi dan Laras kembali saling memeluk. Sebenarnya Laras sudah tahu akan cerita ini dari sang Ibu. Bahwa dia memiliki tiga orang kakak. Tapi sang Ibu tak pernah memberitahu soal sosok maupun nama-nama kakaknya. “Pantas saja Ibu sering menyuruhku untuk pergi ke kota dan tinggal denganmu. Mungkin beliau sudah menyadari siapa kamu sebenarnya saat itu,” ucap Laras pada Bumi.“Berarti ini adalah cara Tuhan untuk mencegahmu menikah dengan Bastian. Kalian itu bersaudara,” ucap Embun kemudian.Mendengar perkataan istrinya, Bumi lantas mengangguk. Mereka yang dulunya membenci Laras karena telah mempermainkan hati Bastian, kini justru berucap syukur. Karena siapa lagi yang akan mencegah mereka selain Bi Yati? Sedangkan Bi Yati saat itu telah meninggal dunia. Pada akhirnya, Tuhan membolak-balikkan perasaan Laras maupun Bastian hingga mereka tak jadi menyatu.Perbincangan pun dilanjutkan hingga malam datang. Embun
“Mana? Mana Ibuku?”Bumi terlihat sangat panik. Dia berlari kesana-kemari bertanya pada orang-orang yang ada di TKP. Api sudah mulai padam dan hanya menyisakan bangunan-bangunan hancur dan menghitam. Mobil ambulans dan pemadam kebakaran berlalu lalang di tempat itu. Bumi mengecek satu persatu orang yang diangkut menggunakan tandu.“Dimana Ibu?”Bumi terus mencari. Sedangkan Embun dan Anton juga ikut berpencar. Berharap menemukan keberadaan Bu Retno. Tapi hingga sore hari, pencarian mereka tak membuahkan hasil. Mereka juga tak bisa menanyakan kepada petugas di RSJ itu. Selain telah menjadi korban, suasana juga sangat kacau hingga tak ada yang fokus dengan Bumi, Embun, maupun Anton.“Kita pulang dulu, ya, Mas. Nanti kita cari Ibu lagi.”Embun menepuk bahu suaminya yang kini sedang duduk termenung di tanah. Di depan RSJ yang terbakar. Di tengah lalu lalang petugas dan juga beberapa keluarga korban yang melakukan pencarian.“Ayo, Mas. Kita pulang dulu!” ajak Embun sekali lagi.Tanpa menja
“Daaa … Daaa … Ha ha ha, kamu takut, ya? Sini minta uang!”Anak-anak berhamburan melihat kedatangan Bu Retno. Ia ditakuti. Penampilannya yang berantakan, wajahnya yang gelap tercoreng debu, serta perilakunya yang tak masuk akal. “Ohh itu. Itu dia uangku.”Tak puas hanya menakuti anak-anak, kini Bu Retno beralih ke petugas kebersihan jalanan yang sedang mengumpulkan sampah dedaunan kering. Bu Retno berlari ke tumpukan sampah itu dengan mata berbinar.“Uang … uangku banyak sekali. Huuuu, aku kaya.”Dedaunan kering diterbangkan olehnya. Tak hanya itu, dia juga tidur di tumpukan sampah itu. Mengelus-elus dedaunan seolah anak kesayangannya. Dia tak peduli akan teriakan orang yang menyuruhnya untuk pergi.“Heh … pergi! Pergi sana! Mau kupukul?” ancam petugas kebersihan jalanan sembari mengacungkan sapu ke arah Bu Retno.“Heh … kamu berani sama aku? Sebentar!”Bu Retno mengambil segenggam daun kering dan melemparkannya di depan petugas itu.“Apa-apaan ini?” “Itu uang buat kamu. Sudah kubay
“Bang … itu kan ibu-ibu yang tadi.”Motor tua yang ditumpangi dua orang itu seketika berderit. Hal itu dikarenakan rem yang diinjak dengan kuat dan mendadak.“Ya ampun, Sus. Jangan ngagetin dong.”“Maaf, Bang. Aku lihat ibu-ibu yang tadi.”“Ibu-ibu apanya? Orang gila. Bilang aja kayak gitu! Ya terus kenapa? Apa urusannya sama kita? Dia kan sudah membuat kita rugi hari ini.”Tono tak mau berlama-lama di tepi jalan sambil memandangi orang gila tadi siang. Dia ingin secepatnya sampai kontrakan setelah seharian diuji kesabaran dengan berbagai cobaan. Mulai dari motornya yang mogok. Ayam yang baru dibeli tumpah di jalan hingga tak bisa dijual. Dan satu lagi, warung mereka kedatangan orang gila yang mengacak-acak makanan.“Tapi kasihan loh, Bang. Kasihan. Ibu itu sudah tua.” Susi tak mau beranjak secepatnya dan terus meminta sang kakak menolong ODGJ yang tak lain dan tak bukan bernama Bu Retno.“Alaaah … jangan sok perhatian, Sus! Tadi aja kamu ketakutan sampai ngumpet di dapur. Sekarang ma