“Maafin kakak, ya, Dek. Kakak gak bisa menyadari lebih dulu siapa kamu sebenarnya.”Bumi dan Laras kembali saling memeluk. Sebenarnya Laras sudah tahu akan cerita ini dari sang Ibu. Bahwa dia memiliki tiga orang kakak. Tapi sang Ibu tak pernah memberitahu soal sosok maupun nama-nama kakaknya. “Pantas saja Ibu sering menyuruhku untuk pergi ke kota dan tinggal denganmu. Mungkin beliau sudah menyadari siapa kamu sebenarnya saat itu,” ucap Laras pada Bumi.“Berarti ini adalah cara Tuhan untuk mencegahmu menikah dengan Bastian. Kalian itu bersaudara,” ucap Embun kemudian.Mendengar perkataan istrinya, Bumi lantas mengangguk. Mereka yang dulunya membenci Laras karena telah mempermainkan hati Bastian, kini justru berucap syukur. Karena siapa lagi yang akan mencegah mereka selain Bi Yati? Sedangkan Bi Yati saat itu telah meninggal dunia. Pada akhirnya, Tuhan membolak-balikkan perasaan Laras maupun Bastian hingga mereka tak jadi menyatu.Perbincangan pun dilanjutkan hingga malam datang. Embun
“Mana? Mana Ibuku?”Bumi terlihat sangat panik. Dia berlari kesana-kemari bertanya pada orang-orang yang ada di TKP. Api sudah mulai padam dan hanya menyisakan bangunan-bangunan hancur dan menghitam. Mobil ambulans dan pemadam kebakaran berlalu lalang di tempat itu. Bumi mengecek satu persatu orang yang diangkut menggunakan tandu.“Dimana Ibu?”Bumi terus mencari. Sedangkan Embun dan Anton juga ikut berpencar. Berharap menemukan keberadaan Bu Retno. Tapi hingga sore hari, pencarian mereka tak membuahkan hasil. Mereka juga tak bisa menanyakan kepada petugas di RSJ itu. Selain telah menjadi korban, suasana juga sangat kacau hingga tak ada yang fokus dengan Bumi, Embun, maupun Anton.“Kita pulang dulu, ya, Mas. Nanti kita cari Ibu lagi.”Embun menepuk bahu suaminya yang kini sedang duduk termenung di tanah. Di depan RSJ yang terbakar. Di tengah lalu lalang petugas dan juga beberapa keluarga korban yang melakukan pencarian.“Ayo, Mas. Kita pulang dulu!” ajak Embun sekali lagi.Tanpa menja
“Daaa … Daaa … Ha ha ha, kamu takut, ya? Sini minta uang!”Anak-anak berhamburan melihat kedatangan Bu Retno. Ia ditakuti. Penampilannya yang berantakan, wajahnya yang gelap tercoreng debu, serta perilakunya yang tak masuk akal. “Ohh itu. Itu dia uangku.”Tak puas hanya menakuti anak-anak, kini Bu Retno beralih ke petugas kebersihan jalanan yang sedang mengumpulkan sampah dedaunan kering. Bu Retno berlari ke tumpukan sampah itu dengan mata berbinar.“Uang … uangku banyak sekali. Huuuu, aku kaya.”Dedaunan kering diterbangkan olehnya. Tak hanya itu, dia juga tidur di tumpukan sampah itu. Mengelus-elus dedaunan seolah anak kesayangannya. Dia tak peduli akan teriakan orang yang menyuruhnya untuk pergi.“Heh … pergi! Pergi sana! Mau kupukul?” ancam petugas kebersihan jalanan sembari mengacungkan sapu ke arah Bu Retno.“Heh … kamu berani sama aku? Sebentar!”Bu Retno mengambil segenggam daun kering dan melemparkannya di depan petugas itu.“Apa-apaan ini?” “Itu uang buat kamu. Sudah kubay
“Bang … itu kan ibu-ibu yang tadi.”Motor tua yang ditumpangi dua orang itu seketika berderit. Hal itu dikarenakan rem yang diinjak dengan kuat dan mendadak.“Ya ampun, Sus. Jangan ngagetin dong.”“Maaf, Bang. Aku lihat ibu-ibu yang tadi.”“Ibu-ibu apanya? Orang gila. Bilang aja kayak gitu! Ya terus kenapa? Apa urusannya sama kita? Dia kan sudah membuat kita rugi hari ini.”Tono tak mau berlama-lama di tepi jalan sambil memandangi orang gila tadi siang. Dia ingin secepatnya sampai kontrakan setelah seharian diuji kesabaran dengan berbagai cobaan. Mulai dari motornya yang mogok. Ayam yang baru dibeli tumpah di jalan hingga tak bisa dijual. Dan satu lagi, warung mereka kedatangan orang gila yang mengacak-acak makanan.“Tapi kasihan loh, Bang. Kasihan. Ibu itu sudah tua.” Susi tak mau beranjak secepatnya dan terus meminta sang kakak menolong ODGJ yang tak lain dan tak bukan bernama Bu Retno.“Alaaah … jangan sok perhatian, Sus! Tadi aja kamu ketakutan sampai ngumpet di dapur. Sekarang ma
“Apa-apaan ini, Sus? Kenapa kamu bawa orang gila ini ke rumah?”“A … aku kasihan, Bang. Lagipula, ia mulai tenang.”Benar. Susi sudah memandikan, mengganti baju, serta membelikan Bu Retno makan. Entah kenapa, saat melihat wajah wanita tua itu, Susi merasa mendapatkan keberanian penuh. Dia yang awalnya takut saat di warung, kini justru berani mendekatinya bahkan merawat Bu Retno.“Tidak. Usir dia dari kontrakan ini, Sus! Aku gak mau lihat orang gila ini di sini.”“Sehari aja, Bang. Hanya sehari. Biarkan dia tinggal di sini. Setelah itu, nanti kita bisa serahkan ia ke kantor polisi.”Tono tak peduli dan terus memarahi adiknya. Karena sempat ditegur oleh tetangga, akhirnya Tono pun diam. Mau tak mau membiarkan Bu Retno berada di kontrakan sempitnya.“Bawa dia ke kamarmu! Aku gak sudi berbagai ruangan dengan orang gila itu.”“Iya, Bang.” Susi sangat senang. Dia lantas mengajak Bu Retno ke kamarnya.“Nah … Ibu tidur di atas, ya! Nanti aku tidur di bawah. Kasurnya gak cukup untuk dua orang.
“Apa? Ibu ada di sana? Oke. Saya secepatnya datang ke sana.”Bumi yang baru saja sampai kantor, harus dikejutkan lagi oleh telepon dari pekerja renovasi di rumah Ibu. Mereka mengabarkan bahwa Bu Retno datang bersama dua orang lainnya. Tanpa pikir panjang, ayah satu anak itu pun meluncur ke rumah ibunya. Hatinya diliputi was-was. Pikirannya berkecamuk. Dia dikuasai rasa penasaran.Ekonomi Bumi kian maju. Selain pebisnis handal, dia juga telah memiliki jabatan yang bagus di kantornya. Dia tak perlu lagi meminjam mobil Embun untuk kemana-mana.“Ibu ….”Bumi langsung memeluk ibunya yang sedang menunggu di depan rumah. Sesaat setelah dia tiba di rumah masa kecilnya.“Bumi ….” Bu Retno menepuk punggung anaknya cukup keras.“Nanti dulu, Bu! Aku mau peluk Ibu dulu.”Bumi tak membiarkan ibunya berbicara. Entah kenapa, perasaannya begitu tenang dan bahagia setelah melihat sang ibu. Karena untuk pertama kalinya, Bu Retno menyambut Bumi dengan senyumannya yang hangat.Cukup lama mereka saling ber
“A … aku ….” Laras melirik ke Bumi---seolah meminta bantuan untuk berkenalan dengan Bu Retno. Bumi pun mengerti maksud adiknya. Dia langsung sigap mengambil alih tugas itu.“Ooh … ini Laras, Bu. Dia itu keluarga kami juga. Kerabatnya Embun. Iya, ‘kan, Sayang?”Kini tak hanya Laras yang meminta bantuan orang lain. Bumi pun meminta bantuan istrinya untuk mengiyakan ucapannya.“Ooh … I … iya, Bu. Dia itu sepupu saya. Tapi kami sudah menganggapnya sebagai adik. Laras lagi hamil besar. Jadi untuk sementara ini, dia dan suaminya juga akan tinggal di sini.”Sepertinya Embun yang paling lihai merangkai kata untuk menenangkan situasi ini. Ditambah lagi anggukan yang dilakukan oleh Pak Salim dan Bu Nadine menambah kepercayaan Bu Retno pada perkataan anak-anaknya.Sedangkan di pojok sana, Bella mengerucutkan bibirnya. Merasa gemas akan tingkah orang-orang yang ingin menyembunyikan identitas Laras sebenarnya dari sang Ibu.Tepat saat ketegangan itu mulai mereda, tiba lah anak-anak di rumah itu.
“Yati … Yati … Yati.”Nama itu terus terucap dari mulut Bu Retno, berulang kali. Bella lantas didekati oleh adiknya. Bumi berbisik:“Mbak, lihat! Ibu jadi seperti itu gara-gara kamu keceplosan.”Bukannya merasa bersalah, Bella justru mendekati ibunya dan berkata:“Iya, Bu. Yati. Yati si pelakor. Laras itu anaknya Yati dan Ayah.”Bu Retno menoleh ke anak perempuannya lantas menoleh ke Laras. Seperti itu terus sebanyak dua kali. Keningnya mengkerut. Dia belum sepenuhnya mengerti akan situasi ini.“Ibu gak mau, 'kan menerimanya di sini? Iya, ‘kan, Bu?” Bella menghasut ibunya untuk tak menerima Laras di sini. Dia benar-benar ingin menyingkirkan istri Anton.“Ayo, Sayang! Kita pergi saja.” Anton tak terima direndahkan seperti itu terus oleh Bella. Lebih baik dia dan istrinya pergi dari rumah itu. Hidup tenang di desa, seperti sebelumnya.“Tunggu dulu, Anton! Kamu mau kemana?” cegah Bumi pada adik iparnya.“Kami mau kembali ke desa, Mas. Istriku sedang hamil. Sebentar lagi melahirkan. Aku