“Bang … itu kan ibu-ibu yang tadi.”Motor tua yang ditumpangi dua orang itu seketika berderit. Hal itu dikarenakan rem yang diinjak dengan kuat dan mendadak.“Ya ampun, Sus. Jangan ngagetin dong.”“Maaf, Bang. Aku lihat ibu-ibu yang tadi.”“Ibu-ibu apanya? Orang gila. Bilang aja kayak gitu! Ya terus kenapa? Apa urusannya sama kita? Dia kan sudah membuat kita rugi hari ini.”Tono tak mau berlama-lama di tepi jalan sambil memandangi orang gila tadi siang. Dia ingin secepatnya sampai kontrakan setelah seharian diuji kesabaran dengan berbagai cobaan. Mulai dari motornya yang mogok. Ayam yang baru dibeli tumpah di jalan hingga tak bisa dijual. Dan satu lagi, warung mereka kedatangan orang gila yang mengacak-acak makanan.“Tapi kasihan loh, Bang. Kasihan. Ibu itu sudah tua.” Susi tak mau beranjak secepatnya dan terus meminta sang kakak menolong ODGJ yang tak lain dan tak bukan bernama Bu Retno.“Alaaah … jangan sok perhatian, Sus! Tadi aja kamu ketakutan sampai ngumpet di dapur. Sekarang ma
“Apa-apaan ini, Sus? Kenapa kamu bawa orang gila ini ke rumah?”“A … aku kasihan, Bang. Lagipula, ia mulai tenang.”Benar. Susi sudah memandikan, mengganti baju, serta membelikan Bu Retno makan. Entah kenapa, saat melihat wajah wanita tua itu, Susi merasa mendapatkan keberanian penuh. Dia yang awalnya takut saat di warung, kini justru berani mendekatinya bahkan merawat Bu Retno.“Tidak. Usir dia dari kontrakan ini, Sus! Aku gak mau lihat orang gila ini di sini.”“Sehari aja, Bang. Hanya sehari. Biarkan dia tinggal di sini. Setelah itu, nanti kita bisa serahkan ia ke kantor polisi.”Tono tak peduli dan terus memarahi adiknya. Karena sempat ditegur oleh tetangga, akhirnya Tono pun diam. Mau tak mau membiarkan Bu Retno berada di kontrakan sempitnya.“Bawa dia ke kamarmu! Aku gak sudi berbagai ruangan dengan orang gila itu.”“Iya, Bang.” Susi sangat senang. Dia lantas mengajak Bu Retno ke kamarnya.“Nah … Ibu tidur di atas, ya! Nanti aku tidur di bawah. Kasurnya gak cukup untuk dua orang.
“Apa? Ibu ada di sana? Oke. Saya secepatnya datang ke sana.”Bumi yang baru saja sampai kantor, harus dikejutkan lagi oleh telepon dari pekerja renovasi di rumah Ibu. Mereka mengabarkan bahwa Bu Retno datang bersama dua orang lainnya. Tanpa pikir panjang, ayah satu anak itu pun meluncur ke rumah ibunya. Hatinya diliputi was-was. Pikirannya berkecamuk. Dia dikuasai rasa penasaran.Ekonomi Bumi kian maju. Selain pebisnis handal, dia juga telah memiliki jabatan yang bagus di kantornya. Dia tak perlu lagi meminjam mobil Embun untuk kemana-mana.“Ibu ….”Bumi langsung memeluk ibunya yang sedang menunggu di depan rumah. Sesaat setelah dia tiba di rumah masa kecilnya.“Bumi ….” Bu Retno menepuk punggung anaknya cukup keras.“Nanti dulu, Bu! Aku mau peluk Ibu dulu.”Bumi tak membiarkan ibunya berbicara. Entah kenapa, perasaannya begitu tenang dan bahagia setelah melihat sang ibu. Karena untuk pertama kalinya, Bu Retno menyambut Bumi dengan senyumannya yang hangat.Cukup lama mereka saling ber
“A … aku ….” Laras melirik ke Bumi---seolah meminta bantuan untuk berkenalan dengan Bu Retno. Bumi pun mengerti maksud adiknya. Dia langsung sigap mengambil alih tugas itu.“Ooh … ini Laras, Bu. Dia itu keluarga kami juga. Kerabatnya Embun. Iya, ‘kan, Sayang?”Kini tak hanya Laras yang meminta bantuan orang lain. Bumi pun meminta bantuan istrinya untuk mengiyakan ucapannya.“Ooh … I … iya, Bu. Dia itu sepupu saya. Tapi kami sudah menganggapnya sebagai adik. Laras lagi hamil besar. Jadi untuk sementara ini, dia dan suaminya juga akan tinggal di sini.”Sepertinya Embun yang paling lihai merangkai kata untuk menenangkan situasi ini. Ditambah lagi anggukan yang dilakukan oleh Pak Salim dan Bu Nadine menambah kepercayaan Bu Retno pada perkataan anak-anaknya.Sedangkan di pojok sana, Bella mengerucutkan bibirnya. Merasa gemas akan tingkah orang-orang yang ingin menyembunyikan identitas Laras sebenarnya dari sang Ibu.Tepat saat ketegangan itu mulai mereda, tiba lah anak-anak di rumah itu.
“Yati … Yati … Yati.”Nama itu terus terucap dari mulut Bu Retno, berulang kali. Bella lantas didekati oleh adiknya. Bumi berbisik:“Mbak, lihat! Ibu jadi seperti itu gara-gara kamu keceplosan.”Bukannya merasa bersalah, Bella justru mendekati ibunya dan berkata:“Iya, Bu. Yati. Yati si pelakor. Laras itu anaknya Yati dan Ayah.”Bu Retno menoleh ke anak perempuannya lantas menoleh ke Laras. Seperti itu terus sebanyak dua kali. Keningnya mengkerut. Dia belum sepenuhnya mengerti akan situasi ini.“Ibu gak mau, 'kan menerimanya di sini? Iya, ‘kan, Bu?” Bella menghasut ibunya untuk tak menerima Laras di sini. Dia benar-benar ingin menyingkirkan istri Anton.“Ayo, Sayang! Kita pergi saja.” Anton tak terima direndahkan seperti itu terus oleh Bella. Lebih baik dia dan istrinya pergi dari rumah itu. Hidup tenang di desa, seperti sebelumnya.“Tunggu dulu, Anton! Kamu mau kemana?” cegah Bumi pada adik iparnya.“Kami mau kembali ke desa, Mas. Istriku sedang hamil. Sebentar lagi melahirkan. Aku
“Mau apa kalian ke sini lagi? Kalian pasti sudah dengar kabar duka ini, ‘kan? Trus kalian kembali hanya untuk mengejekku?”Pagi harinya, saat Anton dan Laras kembali ke rumah Pak Salim, Bella kembali mengamuk. Dia tak suka mereka datang kembali. Dia berprasangka buruk pada pasangan suami istri itu. Di sisi lain, Susi dan Tono yang ingin pamit pulang, seketika kikuk. Tak tahu harus berbuat apa. Situasi di rumah itu begitu kacau sejak kemarin.“Bawa masuk kakakmu!” titah Pak Salim pada Embun. Setelah Bella diantar masuk kembali ke kamarnya, Pak Salim pun menyuruh Laras dan Anton masuk ke dalam rumah. Sementara itu, ia akan mengurus Susi dan Tono terlebih dahulu.“Maaf ya, Nak. Sudah membuat kalian tak nyaman sejak kemarin.”“Gak apa, Pak. Kami mengerti. Izinkan kami pulang sekarang ya, Pak.”“Oooh sebentar.”Pak Salim sudah menyiapkan amplop coklat untuk mereka bawa. Tapi Susi dan Tono dengan sigap menolaknya. Mereka ikhlas membantu Bu Retno. Tak ada satupun niat untuk menerima balasa
“Pergi kamu dari sini!”Bella mengusir Mega dari rumah Jery. Dia merasa lebih berhak mendapatkan rumah itu dibanding Mega, wanita yang mengaku-ngaku menjadi istri kedua Jery.Mega tak peduli. Dia masuk ke dalam dan kembali membawa satu amplop coklat.“Ini baca!”Mega memperlihatkan surat nikah dan surat wasiat tentang seluruh harta Jery semasa hidup. Mega yang mendapatkan semuanya. Entah bagaimana caranya wanita itu membuat semua ini masuk akal. Yang pasti, Bella dan anak-anaknya tak mendapat harta sepeserpun. Tapi tidak hanya mereka. Bahkan Bu Endang, ibu kandung Jery juga tak mendapat bagian. Semuanya atas nama Mega.“Kamu memeras suamiku.” Bella berteriak di depan wajah Mega. Urat nadi di leher Bella timbul saat dia berteriak.“Iiih, jangan dekat-dekat! Nafasmu bau jigong!”Mega menanggapinya dengan santai. Dia tak tersulut emosi, bahkan sempat-sempatnya memperolok Bella.“Kembalikan harta suamiku! Itu hak ku dan anak-anak!” Mereka kini saling jambak. Bumi merasa ini waktu yang te
“Maafin Mama, Nak. Mama sudah tega meninggalkan kalian.”Maria dan Bella saling berpelukan. Anak sulung Bella dan Jery itu tak bisa lagi menahan rasa rindunya pada sang Ibu.“Papa, Ma. Papa sudah meninggal. Papa d1bunuh Tante Mega.”Bella dan yang lainnya merasa terkejut. Apa yang dikatakan oleh Maria? Bukankah Jery meninggal karena kecelakaan?“Aku dengar Tante Mega berbicara pada seseorang di telepon. Mereka ingin mencelakai Papa.”Bumi, Bella, dan Anton saling pandang. Yang mulanya sudah ikhlas, kini menjadi curiga. Jangan-jangan, yang dikatakan Maria adalah fakta. Gerak-gerik Mega memang sangat mencurigakan.“Bumi. Kita harus laporkan ini ke polisi! Kita minta polisi menyelidiki kembali kasus ini.”Bumi setuju akan ucapan sang kakak, tapi terlebih dahulu, mereka harus menjemput anak-anak Bella yang lainnya.Tiga panti asuhan berikutnya berhasil membuat Bella dan anak-anaknya berkumpul kembali. Mereka meluapkan rasa rindu yang selama ini terpendam. Mereka menangis sejadi-jadinya.