"Ibu masih di sini?"Bu Bidan terkejut mendengar suara di belakangnya. Suara berat seorang lelaki. Dia takut untuk menoleh ke belakang. Perasaannya mulai tak karuan. Apa yang akan dilakukan lelaki ini saat mendapati dirinya mengintip dari celah jendela?"Masih ngeyel, ya, Bu? Gak sopan ngintip-ngintip rumah orang." Lagi-lagi, suara itu menegur dirinya. Bu Bidan sangat ketakutan. Dia tahu bahwa lelaki yang ada di belakangnya adalah Paman Icut."Heh, balik badan! Lihat saya!" Suara itu terus meminta Bu Bidan untuk berbalik badan. Tapi, keterkejutannya bertambah menjadi berkali-kali lipat saat dia melihat Paman Icut tengah berada di kamar Mirah. Lalu siapa yang ada di belakangnya? Bau busuk mulai menyeruak di penciumannya. Degup jantung Bu Bidan semakin kencang hingga membuat dirinya sesak. Awalnya dia menyangka telah tertangkap basah oleh Paman Icut. Tapi setelah melihat keberadaan Paman Icut di dalam rumah, hatinya semakin tak karuan akan sosok yang terus berbicara di belakangnya."
"Saya benar-benar melihatnya, Pak. Mirah itu disiksa oleh paman dan bibinya."Pak Kades dan beberapa warga di desa itu heran akan perkataan Bu Bidan. Pasalnya Mirah terlihat baik-baik saja dan tak ada bekas luka sedikitpun di kakinya. Kalaupun lemas, itu karena dia baru saja melahirkan."Sepertinya Bu Bidan lagi kurang sehat, Pak. Sudah coba diajak ke puskesmas?" tanya Paman Icut pada suami Bu Bidan."Saya gak sakit. Saya benar-benar sehat," Bu Bidan tetap berkelid. Dia juga heran kenapa bekas luka di kaki Mirah bisa menghilang dalam sekejap. Matahari kini sudah bersinar terang, harusnya luka di kaki Mirah bisa terlihat lebih jelas. Tapi kini, semua itu justru menghilang dan Mirah terlihat baik-baik saja."Kemarin, Bu Bidan bilang, beliau melihat penampakan Mas Bayu, Pak. Hingga beliau pingsan di depan rumahku." Kali ini Laras ikut masuk ke dalam obrolan. Mendengar perkataan Laras, Pak Kades dan beberapa warga lainnya menoleh ke arah Bu Bidan. Mereka seolah meminta penjelasan Bu Bida
"Mir … anakmu sudah bersama Bayu sekarang. Kamu harus ikhlas, ya." Bi Konah mencoba menyampaikan berita duka ini pada Mirah. Kata serta nada bicara yang pelan dipilihnya untuk berbicara dengan wanita yang sedang terganggu jiwanya itu. Air bening mengalir dari mata wanita cantik itu. Namun, wajah dan tubuhnya nampak tak bergeming. Tak sekalipun dia mengeluarkan ekspresi kesedihan. Sama hal nya saat sang bayi dilarikan ke puskesmas. Ia juga terdiam tanpa suara. Hanya air mata yang senantiasa menghiasi wajahnya.Di samping Mirah, Laras duduk menemaninya. Tangan kanannya terus membelai punggung Mirah. Sedang tangan kirinya, mengusap pipinya yang juga sudah mulai basah. Semua orang di ruangan ini menangis. Tak terkecuali Bi Konah.Jenazah sang bayi mungil itu telah ditutupi oleh kain. Sebentar lagi, dia akan dimakamkan. Para warga mulai berdatangan untuk ikut dalam proses pemakaman ini. Mereka juga turut menyampaikan bela sungkawanya pada Mirah, yang hanya disambut tatapan kosong oleh wan
"Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu gak apa-apa, 'kan?"Anton terlihat begitu khawatir dengan kondisi sang istri. Tadi, saat menunggu istrinya, dia tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan Paman Icut dari arah belakang rumah. Ketika dihampiri, pria tua itu sudah lebih dulu menggendong Laras masuk ke dalam rumah.Laras yang baru membuka matanya dan melihat sosok Paman Icut, dia langsung ketakutan. Wajahnya pucat, membayangkan pengalaman menyeramkan tadi."Kamu kenapa, Ras? Kenapa melihat Paman seperti itu?" tanya pria tua yang ditatap Laras dengan penuh ketakutan.Penghuni rumah yang lainnya juga melihat Laras dan kemudian berbalik ke arah Paman Icut. Mereka merasa heran saat dua orang itu saling menatap dengan mimik wajah yang berbeda. Laras menatap dengan penuh ketakutan. Sedangkan Paman Icut menatap Laras dengan penuh keheranan."Mas … Mas. Ayo kita pulang!" ajak Laras tiba-tiba."Loh, kok tiba-tiba gitu? Minum airnya dulu, Ras! Biar lebih tenang," ucap Bi Konah menawarkan minum. Laras meng
Rintik hujan menyadarkan Anton dari pingsannya. Entah berapa lama dia telah terkapar tak sadarkan diri di tanah. Dia celingak-celinguk melihat sekitar. Tak ada siapapun. Mungkin orang-orang menarik jadwalnya ke kebun karena gemericik air hujan yang mulai turun."Aneh sekali. Kenapa aku bisa ditampakkan wujud Mas Bayu?" gumam Anton sembari memegangi kepalanya yang sedikit sakit.Langit yang seharusnya berwarna biru cerah kini tertutup awan tebal kehitaman. Rintik hujan semakin deras. Pada akhirnya, Anton memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Dia juga masih terngiang-ngiang dengan bayangan aneh tadi pagi. Tentang sosok Bayu yang baru saja dilihatnya.TokTokTok"Ras … Laras." Anton mengetuk pintu rumahnya, tapi sang istri tak kunjung membukakan pintu. Warung depan rumah pun masih ditutup. Pertanda Laras masih ada di dalam rumah. Mungkin dia enggan membuka warung karena cuaca yang tak bersahabat. Hawa dingin terasa menusuk tulang. Hujan kini semakin deras hingga baju yang dikenakan Ant
"Pak Kades. Lihat ini!"Salah satu warga kembali mendapat penemuan yang aneh. Berupa sajen, kain berwarna putih, serta gelas berisi cairan merah."Hufft."Pak Kades menutup hidungnya sesaat setelah dia mencium cairan merah yang ada di gelas."Seperti darah busuk."Satu per satu warga ikut penasaran dan mulai mencium cairan yang ada di gelas. Responnya sama seperti Pak Kades. Mereka seolah tak tahan akan bau yang menyengat."Kayak darah ayam, Pak. Tapi entah lah. Aku cuma nebak-nebak aja," ucap salah satu warga.Pemimpin di desa itu lantas memerintahkan orang-orang untuk menjauhi benda-benda itu. Biarkan di tempat dan posisi semula. Ia akan menunggu pihak yang berwajib untuk melihat semua ini.Rumah Mirah kini dipadati oleh para warga yang hendak mendapatkan berita terkini. Sedangkan Mirah harus diungsikan ke rumah Laras. Ada yang menemani wanita itu di rumah Laras. Dia tak sendirian. —-------------------"Aku bosan hidup gini-gini terus. Udah tinggal di desa, miskin lagi. Kenikmatan
“Cut, Mas Sukarsa, Cut ….”Konah lari tergesa-gesa ke dalam rumah. Dia menghampiri suaminya yang sedang asik menyantap ayam goreng kesukaan.“Apa sih, Nah? Aku lagi makan, nih ….”Icut tak mau diganggu. Selera makannya sedang tinggi. Hatinya juga sedang berbunga karena baru saja mendapat uang segepok dari Sukarsa. Iya. Sepupunya itu memberikan banyak uang sebelum kembali ke rumahnya.“Mas Sukarsa kecelakaan, Cut. Dia meninggal dunia,” ucap Konah. Sang suami yang sedari tadi asik menyantap makanan, kini tangannya seolah membeku. Nasi yang sudah ada di tangan dan siap dimasukkan ke mulut, kini ditaruh kembali di atas piring.“Ha ha ha. Kita berhasil, Nah. Berhasil,” ucap Icut kegirangan.Ternyata ekspresi terkejutnya tadi tak berubah menjadi kesedihan. Justru dia merasa sangat bahagia. Usahanya membuahkan hasil. Usaha yang membuat dirinya bahagia namun dikutuk oleh Tuhan.“Ini hanya kebetulan saja, Cut. Mas Sukarsa meninggal bukan karena kita. Ini hanya kebetulan,” sanggah Konah, tak p
“Cut … Bayu, Cut. Bayu meninggal.”Seperti dejavu. Konah berlari masuk ke rumah dan mengabarkan berita duka ini pada sang suami. Kondisinya sama seperti saat Sukarsa dikabarkan meninggal. Konah akan datang memberi kabar, dan sang suami akan menanggapi dengan senyuman tipis.“Ini gak kebetulan lagi. Ini berkat Nyi Sekar. Aku sakti, Nah. Aku sakti. Siapapun yang berani menentangku, akan ku lenyapkan, ha ha ha.”Konah takut melihat suaminya tertawa terbahak-bahak. Sangat mengerikan. Tapi lagi-lagi, dia bisa apa? Cuma terdiam tanpa berani menasehati. Lama-lama, Konah mulai terbiasa dengan situasi ini. “Ayo kita ke rumah Mirah! Kita harus menjadi orang pertama yang ada di sana. Menemani Mirah dan anaknya,” ucap Icut.Mereka berdua lantas pergi ke desa sebelah. Rumah yang telah lama ditinggalkan Sukarsa dan menjadi harta untuk Mirah.“Ini semua gara-gara mereka. Mas Bayu meninggal gara-gara mereka!”Lagi-lagi Icut tersenyum akan situasi kacau di rumah itu. Kali ini, Mirah menyalahkan Laras