Share

Karma Mutia

Author: celotehcamar
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Bangun, bangun! Sudah siang. Kok doyan banget tidur sampai siang. Anak dan Ibu sama saja."

Mutia mengerjapkan matanya. Dia kaget saat mendapati ibu pemilik kontrakan telah berada di dalam rumahnya.

"Loh, kok Ibu bisa masuk?" tanya Mutia.

"Bisa masuk, bisa masuk. Ini kan rumah saya. Kalian cuma ngontrak di sini. Cepet bangun!" Bu Tami memaksa Mutia dan ibunya bangun dari tidurnya.

"Lihat jam di dinding. Ini sudah jam 10 Mutia ... Bu Idah. Kalian masih tidur saja?"

"Terserah kami dong, Bu. Kenapa Ibu ganggu, sih?" Bu Idah tak suka tidurnya diganggu.

"Apa kamu bilang? Berani bentak saya? Sekarang cepat pergi dari rumah saya!"

Mutia dan ibunya terkejut. Kenapa tiba-tiba pemilik kontrakan mengusir mereka?

"Loh, apa-apaan ini, Bu? Kenapa Ibu ngusir kami?" tanya Bu Idah.

"Heh, kalian lupa? Kalian sudah nunggak selama 2 bulan. Sekarang pergi dari rumahku!"

Setelah diingat-ingat, ternyata benar kalau Mutia sudah menunggak uang kontrakan selama dua bulan. Sejak dipecat dari toko Pak Salim, dia
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Apa Kabar Mirah?

    Dua bulan berlaluKehidupan keluarga Embun mulai tenang. Bastian betah dan semakin bahagia berada di pondok pengobatan, sedangkan Arista dan Rayyan sudah mulai bersekolah. Mereka tak lagi menanyakan tentang keberadaan Laras.Bicara tentang Laras, dia juga tengah bahagia bersama Anton serta bayi yang ada di kandungannya. Mereka berdua kini telah menetap di desa asal Laras. Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk bisa saling menerima dan mencintai. Anugerah seorang bayi yang diberikan Tuhan menambah kekompakan mereka sebagai sepasang suami istri. Mereka sampai lupa kalau kebersamaannya ini didapatkan dengan cara menghancurkan hati dan kepercayaan keluarga Embun. Tapi itulah misteri kehidupan. Pada akhirnya, mereka akan menapaki jalan masing-masing yang telah digariskan oleh Tuhan."Aku seneng, Mas. Bastian dan Arista sudah bahagia lagi tanpa bayang-bayang dari Laras. Ternyata Tuhan begitu cepat menyembuhkan luka hati mereka. Kini, kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. Mend

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Merinding

    "Ibu masih di sini?"Bu Bidan terkejut mendengar suara di belakangnya. Suara berat seorang lelaki. Dia takut untuk menoleh ke belakang. Perasaannya mulai tak karuan. Apa yang akan dilakukan lelaki ini saat mendapati dirinya mengintip dari celah jendela?"Masih ngeyel, ya, Bu? Gak sopan ngintip-ngintip rumah orang." Lagi-lagi, suara itu menegur dirinya. Bu Bidan sangat ketakutan. Dia tahu bahwa lelaki yang ada di belakangnya adalah Paman Icut."Heh, balik badan! Lihat saya!" Suara itu terus meminta Bu Bidan untuk berbalik badan. Tapi, keterkejutannya bertambah menjadi berkali-kali lipat saat dia melihat Paman Icut tengah berada di kamar Mirah. Lalu siapa yang ada di belakangnya? Bau busuk mulai menyeruak di penciumannya. Degup jantung Bu Bidan semakin kencang hingga membuat dirinya sesak. Awalnya dia menyangka telah tertangkap basah oleh Paman Icut. Tapi setelah melihat keberadaan Paman Icut di dalam rumah, hatinya semakin tak karuan akan sosok yang terus berbicara di belakangnya."

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Misteri Keluarga Mirah

    "Saya benar-benar melihatnya, Pak. Mirah itu disiksa oleh paman dan bibinya."Pak Kades dan beberapa warga di desa itu heran akan perkataan Bu Bidan. Pasalnya Mirah terlihat baik-baik saja dan tak ada bekas luka sedikitpun di kakinya. Kalaupun lemas, itu karena dia baru saja melahirkan."Sepertinya Bu Bidan lagi kurang sehat, Pak. Sudah coba diajak ke puskesmas?" tanya Paman Icut pada suami Bu Bidan."Saya gak sakit. Saya benar-benar sehat," Bu Bidan tetap berkelid. Dia juga heran kenapa bekas luka di kaki Mirah bisa menghilang dalam sekejap. Matahari kini sudah bersinar terang, harusnya luka di kaki Mirah bisa terlihat lebih jelas. Tapi kini, semua itu justru menghilang dan Mirah terlihat baik-baik saja."Kemarin, Bu Bidan bilang, beliau melihat penampakan Mas Bayu, Pak. Hingga beliau pingsan di depan rumahku." Kali ini Laras ikut masuk ke dalam obrolan. Mendengar perkataan Laras, Pak Kades dan beberapa warga lainnya menoleh ke arah Bu Bidan. Mereka seolah meminta penjelasan Bu Bida

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Dekat Pohon Bambu

    "Mir … anakmu sudah bersama Bayu sekarang. Kamu harus ikhlas, ya." Bi Konah mencoba menyampaikan berita duka ini pada Mirah. Kata serta nada bicara yang pelan dipilihnya untuk berbicara dengan wanita yang sedang terganggu jiwanya itu. Air bening mengalir dari mata wanita cantik itu. Namun, wajah dan tubuhnya nampak tak bergeming. Tak sekalipun dia mengeluarkan ekspresi kesedihan. Sama hal nya saat sang bayi dilarikan ke puskesmas. Ia juga terdiam tanpa suara. Hanya air mata yang senantiasa menghiasi wajahnya.Di samping Mirah, Laras duduk menemaninya. Tangan kanannya terus membelai punggung Mirah. Sedang tangan kirinya, mengusap pipinya yang juga sudah mulai basah. Semua orang di ruangan ini menangis. Tak terkecuali Bi Konah.Jenazah sang bayi mungil itu telah ditutupi oleh kain. Sebentar lagi, dia akan dimakamkan. Para warga mulai berdatangan untuk ikut dalam proses pemakaman ini. Mereka juga turut menyampaikan bela sungkawanya pada Mirah, yang hanya disambut tatapan kosong oleh wan

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Terror Bayu-Bara

    "Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu gak apa-apa, 'kan?"Anton terlihat begitu khawatir dengan kondisi sang istri. Tadi, saat menunggu istrinya, dia tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan Paman Icut dari arah belakang rumah. Ketika dihampiri, pria tua itu sudah lebih dulu menggendong Laras masuk ke dalam rumah.Laras yang baru membuka matanya dan melihat sosok Paman Icut, dia langsung ketakutan. Wajahnya pucat, membayangkan pengalaman menyeramkan tadi."Kamu kenapa, Ras? Kenapa melihat Paman seperti itu?" tanya pria tua yang ditatap Laras dengan penuh ketakutan.Penghuni rumah yang lainnya juga melihat Laras dan kemudian berbalik ke arah Paman Icut. Mereka merasa heran saat dua orang itu saling menatap dengan mimik wajah yang berbeda. Laras menatap dengan penuh ketakutan. Sedangkan Paman Icut menatap Laras dengan penuh keheranan."Mas … Mas. Ayo kita pulang!" ajak Laras tiba-tiba."Loh, kok tiba-tiba gitu? Minum airnya dulu, Ras! Biar lebih tenang," ucap Bi Konah menawarkan minum. Laras meng

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Belakang Rumah

    Rintik hujan menyadarkan Anton dari pingsannya. Entah berapa lama dia telah terkapar tak sadarkan diri di tanah. Dia celingak-celinguk melihat sekitar. Tak ada siapapun. Mungkin orang-orang menarik jadwalnya ke kebun karena gemericik air hujan yang mulai turun."Aneh sekali. Kenapa aku bisa ditampakkan wujud Mas Bayu?" gumam Anton sembari memegangi kepalanya yang sedikit sakit.Langit yang seharusnya berwarna biru cerah kini tertutup awan tebal kehitaman. Rintik hujan semakin deras. Pada akhirnya, Anton memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Dia juga masih terngiang-ngiang dengan bayangan aneh tadi pagi. Tentang sosok Bayu yang baru saja dilihatnya.TokTokTok"Ras … Laras." Anton mengetuk pintu rumahnya, tapi sang istri tak kunjung membukakan pintu. Warung depan rumah pun masih ditutup. Pertanda Laras masih ada di dalam rumah. Mungkin dia enggan membuka warung karena cuaca yang tak bersahabat. Hawa dingin terasa menusuk tulang. Hujan kini semakin deras hingga baju yang dikenakan Ant

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Korban Pertama

    "Pak Kades. Lihat ini!"Salah satu warga kembali mendapat penemuan yang aneh. Berupa sajen, kain berwarna putih, serta gelas berisi cairan merah."Hufft."Pak Kades menutup hidungnya sesaat setelah dia mencium cairan merah yang ada di gelas."Seperti darah busuk."Satu per satu warga ikut penasaran dan mulai mencium cairan yang ada di gelas. Responnya sama seperti Pak Kades. Mereka seolah tak tahan akan bau yang menyengat."Kayak darah ayam, Pak. Tapi entah lah. Aku cuma nebak-nebak aja," ucap salah satu warga.Pemimpin di desa itu lantas memerintahkan orang-orang untuk menjauhi benda-benda itu. Biarkan di tempat dan posisi semula. Ia akan menunggu pihak yang berwajib untuk melihat semua ini.Rumah Mirah kini dipadati oleh para warga yang hendak mendapatkan berita terkini. Sedangkan Mirah harus diungsikan ke rumah Laras. Ada yang menemani wanita itu di rumah Laras. Dia tak sendirian. —-------------------"Aku bosan hidup gini-gini terus. Udah tinggal di desa, miskin lagi. Kenikmatan

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Kronologi

    “Cut, Mas Sukarsa, Cut ….”Konah lari tergesa-gesa ke dalam rumah. Dia menghampiri suaminya yang sedang asik menyantap ayam goreng kesukaan.“Apa sih, Nah? Aku lagi makan, nih ….”Icut tak mau diganggu. Selera makannya sedang tinggi. Hatinya juga sedang berbunga karena baru saja mendapat uang segepok dari Sukarsa. Iya. Sepupunya itu memberikan banyak uang sebelum kembali ke rumahnya.“Mas Sukarsa kecelakaan, Cut. Dia meninggal dunia,” ucap Konah. Sang suami yang sedari tadi asik menyantap makanan, kini tangannya seolah membeku. Nasi yang sudah ada di tangan dan siap dimasukkan ke mulut, kini ditaruh kembali di atas piring.“Ha ha ha. Kita berhasil, Nah. Berhasil,” ucap Icut kegirangan.Ternyata ekspresi terkejutnya tadi tak berubah menjadi kesedihan. Justru dia merasa sangat bahagia. Usahanya membuahkan hasil. Usaha yang membuat dirinya bahagia namun dikutuk oleh Tuhan.“Ini hanya kebetulan saja, Cut. Mas Sukarsa meninggal bukan karena kita. Ini hanya kebetulan,” sanggah Konah, tak p

Latest chapter

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Akhir Cerita

    “Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Bergerak Cepat

    “Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Gubuk Derita

    “Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Pa-rasit

    Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Dahlia, Sang Penguasa

    “Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Mirah di Desa

    (Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Selamat Datang, Nak

    “Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Mimpi Itu

    “Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Hanya Bella yang Tahu

    “Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana

DMCA.com Protection Status