Suasana tampak mencekam. Ke dua orang itu saling menatap tajam, penuh amarah. Sedang bocah laki-laki itu terdiam di pojok, juga dengan tatapan penuh benci.
“Wanita sialan! Aku sudah melarangmu membawa anak bodoh ini. Kamu lihat apa yang sudah dilakukannya?” ucap pria itu.
Wanita itu menggerenyotkan bibir, tak percaya pada apa yang didengarnya. “Kamu tidak pernah sadar ya, otaknya itu turunan dari siapa? Dari kamu!” sahut wanita itu, memaki.
Kembali, pria itu mendaratkan tamparan kerasnya. Hidung wanita itu akhirnya mengeluarkan darah segar.
Bocah laki-laki itu menangis dan melemparkan botol minuman yang sedari tadi ada di tangannya.
“Kamu memang pria berengsek!!” teriak wanita itu lantas melemparkan asbak yang ada di atas meja di sampingnya.
Suasana benar-benar hilang kendali.
“Jangan!!” Dia membuka mata, dan tersadar. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya terputus-putus, serasa baru saja berlari dari kejaran binatang buas.
Dia menenangkan diri.
Dia melihat jam di meja samping tempat tidurnya. Dia lantas mengambil handuk menuju kamar mandi.
---
Big Land, pukul 09.00.
Seorang wanita muda, penampilan sangat rapi, dengan blazer cokelat dipadukan dengan rok panjang warna senada, melangkah dengan tegap menuju ruangan Direktur Keuangan.
“Bu, sudah ditunggu di ruangan Pak Dimas,” ucapnya setelah membuka pintu. Dia adalah sekretaris Direktur Keuangan, Asti Ayuningtyas.
Seorang wanita di balik meja bertuliskan Direktur Keuangan menoleh dan menatap, “Memangnya ada jadwal pertemuan hari ini?” tanyanya. Dia adalah Direktur Keuangan Big Land, Indah Efrina.
“Iya Bu, kemarin saya sudah serahkan jadwalnya.”
Indah buru-buru membuka berkas yang terpampang di atas mejanya. Dia lantas menarik napas panjang.
“Mengapa aku bisa lalai seperti ini?” sesalnya.
Asti hanya tersenyum.
Indah lantas bergegas menyusun dokumen yang harus dibawa ke ruang rapat, dan segera berlalu dari pandangan Asti.
Di ruang rapat, tampak Dimas bersama dua orang pria.
Dimas Aryaguna adalah CEO Big Land, salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta. Pria berusia 55 tahun yang selalu terlihat lebih muda dari usianya.
Menyadari kehadiran dua orang pria asing di ruangan itu, langkah Indah terhenti, tepat di ambang pintu ruang rapat. Tiga pasang mata, bersamaan menatap ke arahnya.
Mata Indah membelalak, dan dia menelan ludah, mendapati wajah seseorang yang baru saja ditemuinya pagi tadi.
---
Terjadi keributan di perempatan jalan. Sebuah sedan kuning bertabrakan dengan sepeda motor Sport, pun berwana kuning.
Tampak wanita pengendara mobil turun dengan wajah menahan marah. “Maaf, apa Mas punya mata?” ucapnya, menatap tajam.
Pria di hadapannya, pun, seketika memberikan tatapan yang sama. Pria muda itu turun dari kendaraannya.
“Lampu jalan jelas menandakan jalur ini berhenti! Motor aja yang mahal, otak gak kepake!” sambung Indah, menohok.
“Hei, hati-hati dengan mulut Mbak yang manis itu! Coba Mbak lihat baik-baik. Saya atau Mbak yang gak punya mata?!” sahut pria itu, tak kalah tajam, menunjuk Indah.
Indah menoleh ke arah lampu jalan. Raut wajah Indah seketika berubah. Dia menarik napas panjang.
Ya Allah, kenapa aku ini?
“Ma—"
Belum sempat Indah menyelesaikan kalimatnya, pria itu kembali naik ke atas motor, dengan sorot mata emosi. Tanpa kata, meninggalkan Indah yang masih terdiam di tempatnya.
“Aku belum minta maaf, dia sudah pergi.” Indah terus bergumam, menyadari kesalahan besar yang dia perbuat.
---
Tower Electrics Mahakarya
“Kamu kenapa? Pagi-pagi sudah gak mood gitu?” tanya Aditya, mendapati pria yang baru saja masuk ke ruangannya, dengan wajah tegang.
Perkenalkan, Rakha Langit Ahmad, usianya 32 tahun. Salah satu Direktur di Tower Electrics Mahakarya. Dia salah satu penerima penghargaan Best Young Executive dari Majalah Bisnis terkemuka tahun 2020.
“Benar-benar pagi yang memuakkan! Udah bad mood dari rumah, di jalan, ketemu cewek stres!”
Mata Aditya melebar. Ya seperti biasa, mana ada yang membuatmu nyaman, selain dirimu sendiri, batinnya.
“Pasti—"
Aditya belum menyelesaikan kalimatnya, Rakha memotong seperti biasa, “Kok, ada ya cewek seperti itu? Tampak terpelajar, tapi membedakan lampu lalu lintas aja gak bisa?”
Aditya kembali menarik napas panjang. Sebaiknya aku diam, gumamnya.
“Kamu lagi sakit gigi ya?”
“Ha?” jawab Aditya, heran. “Sakit gigi?” Rakha mengulang. Aditya menggeleng.
Rakha menarik napas panjang. Dia berbalik dan keluar dari ruangan itu.
“Ada apa sih dengan pria ini. Pagi-pagi sudah menyebalkan!” ucap Aditya, melihat sikap Rakha yang berlalu begitu saja tanpa permisi.
Tampak dua wanita muda, berjalan lebih cepat menuju ruangannya. “Cepat, Pak Rakha sudah menuju ke sini,” ujarnya pada rekan di sampingnya. Mereka terus mempercepat langkah.
Keduanya langsung sigap berdiri di meja masing-masing, dan beberapa detik kemudian Rakha sudah melintas di hadapan mereka.
“Untunglah,” ujar Rani, setelah pria itu masuk ke ruangannya. “Hampir saja,” sambung Nilam, membuang napas.
“Udah aku bilang, kamu jangan lama-lama. Hampir saja, kita dapat kalimat manis dari Direktur manis itu,” sambung Rani.
“Dokumen yang diminta pak Rakha, sudah kamu siapkan?” tanya Nilam, pelan. Rani terpaku. “Oh my god,” ucapnya, sambil mengambil semua dokumen di laci mejanya.
Nilam hanya tersenyum dan berucap, “Semoga selamat ya.”
Rani menarik napas panjang, menatap pasrah.
Beberapa menit kemudian, Aditya sudah berada di ruangan Rakha.
“Bos, ingat kan, kita ada janji ke om Dimas siang ini?” tanya Aditya. Rakha menarik napas panjang. “Meeting dengan Cakra Tunggal?”
“Sore!” jawab Aditya. “Kenapa lagi?” sambungnya, melihat Rakha hanya diam.
“Kamu kan tahu, aku menghindari kontrak bisnis dengan om Dimas. Aku gak cocok!” ungkap Rakha.
“Terus, ngapaian kamu setujui kontraknya?”
“Gak enak nolak!”
Adit terkekeh. Mata Rakha membelalak, menghentikan tawa Aditya seketika.
Selalu saja aku salah.
“Ayo!” Rakha seketika berdiri, dan berjalan meninggalkan ruangannya. “Betul-betul, jika dia bukan bos, sudah aku—”
“Gak mau ikut?”
Aditya tersentak, mendapati Rakha kembali ke hadapannya.
“Ayo.” Aditya salah tingkah, dan berbalik meninggalkan Rakha.
Rakha menarik bibir tanda tak percaya. “Yang bos ini siapa? Aku atau dia?”
Aditya Utama adalah sahabat Rakha. Dia adalah sekretaris merangkap sopir. Dia yang selalu setia mendampingi Rakha di seluruh aktivitasnya. Mulai urusan kantor sampai urusan pribadi.
“Tante Rosa nginap semalam?” Aditya memulai percakapan.
Rakha hanya diam, menatap, ke luar jendela mobilnya.
Dia kenapa lagi? Aditya membatin, sambil menarik napas panjang. Dia selalu serba salah memulai percakapan dengan sahabatnya itu.
“Mama, lagi, bertanya tentang pernikahan!”
Aditya kembali tersenyum, tetap fokus membawa kendaraannya.
Pasti, jelas. Pria yang hanya fokus pada dirinya, akan terganggu dengan kata pernikahan, ucap Adit, dalam hati.
Rakha, belum pernah dekat dengan seorang wanita. Kalaupun ada wanita yang dekat dengannya, itu hanya demi menjaga gengsinya sebagai seorang eksekutif muda. Tapi, tidak ada yang benar-benar membuatnya jatuh hati.
“Aku bingung, menjawab pertanyaan yang sama setiap hari.”
“Makanya nikah!” sahut Adit, tanpa sadar. Rakha kembali menatap tajam. “Ya itu, maksud aku. Ehm—” Tak ada kalimat lanjutan. Selalu salah, gumam Aditya.
“Apakah tidak cukup, memiliki anak yang keren, karier cemerlang, idaman semua wanita, seperti aku ini?” ucap Rakha, memanaskan telinga Adit.
Mulai deh!
Beberapa menit sisa perjalanan, suasana menjadi hening. Sampai mereka memasuki gedung Big Land.
Rakha dan Aditya menyusuri gedung kantor bertingkat sepuluh itu.
“Rakha Langit Ahmad?” bisik seorang wanita muda pada rekannya, melihat ke dua pria itu melintas.
“Kamu kenal?”
“Kamu gak baca Majalah Indonesia Business Daily?”
“Emang kenapa?”
“Rakha itu, paling populer tahun ini sebagai Young Executif. Udah keren, tampan, kaya, uhhh sempurna.”
Keduanya berlanjut hening, saling menatap.
----
“Wah, Rakha Langit Ahmad. Keponakan terkeren, akhirnya datang juga,” sambut Dimas, mendekap Rakha.
“Aditya, apa kabar?”
“Baik, Om.”
“Silakan duduk,” ucap Dimas, diikuti oleh Rakha dan Aditya. “Akhirnya, sekian lama, kamu mau juga berkunjung ke sini,” sambung Dimas.
Dimas menatap Aditya, setelah mendapati sikap Rakha yang dingin seperti biasa. Aditya hanya tersenyum, dan Dimas jelas paham komunikasi itu.
“Jadi, kamu bersedia kan, berkantor sementara di sini? Selama Om menemani tante kamu?” tanya Dimas.
“Memang ada pilihan lain?” jawab Rakha, masih sinis.
“Oke kalau begitu, Om ucapkan selamat datang di Big Land,” sambung Dimas, kembali memeluk Rakha, dengan respons yang masih sama dinginnya.
Dimas hanya tersenyum melihat sikap keponakannya itu.
“Oke, saya akan perkenalkan kamu, dengan orang kepercayaan Om. Dia staf terbaik yang selalu mendampingi Om selama ini. Om pastikan, kalian cocok. Dia cerdas, disiplin, dan sangat bisa diandalkan.”
“Mana ada yang bisa selevel dengan Rakha Langit Ahmad?” sahut Rakha. Aditya kembali mengedipkan mata dengan cepat. Dimas pun hanya tersenyum.
----
“Dia… ,” ujar Rakha sambil menunjuk ke arah Indah, yang masih berdiri kaku di depan pintu.
“Mbak Indah, silakan masuk,” ucap Dimas.
Ya Allah…
Indah berusaha menenangkan diri. Perasaan bersalah masih menguasai dirinya. Dia menarik napas panjang, dan mendekat ke tempat Dimas.
“Rakha, kamu kenapa?” Dimas merasa aneh dengan sikap Rakha. Dia terus menatap dengan mata tajam ke arah Indah.
“Gak apa-apa Om,” jawabnya, masih dengan sikap yang sama.
“Mbak Indah, saya mau kenalkan, Direktur sementara yang akan memimpin perusahaan, selama saya dan ibu tidak berada di Jakarta.”
Indah menggangguk dengan senyuman dipaksakan.
“Rakha Langit Ahmad. Dia selama ini di Tower Electrics Mahakarya. Saya yakin kamu kenal baik dengan perusahaan itu. Dan ini Aditya Utama, yang akan mendampingi Rakha.”
“Salam kenal Mbak Indah,” ucap Aditya, ramah. “Iya, Pak,” sahut Indah, berusaha tersenyum.
Dimas makin merasa ada yang aneh, dengan sikap Rakha dan Indah yang berbeda.
“Kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Dimas mulai curiga.
“I—" Kalimat Indah terpotong oleh Rakha. “Tidak kok Om. Saya belum pernah bertemu dengan dia. Waktu saya itu habis bekerja, jadi jelas saya tidak punya waktu untuk bertemu dengan orang baru, apalagi wanita bodoh!”
Indah tersentak. Dia mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Rakha. Akhirnya kedua pasang mata yang diliputi amarah itu, bertemu.
Terpaku beberapa detik, Indah akhirnya sadar. Dia segera kembali ke ruangannya. Dimas mendapati mata Rakha terus mengamati Indah, sampai wanita itu menghilang dari ruangan itu.
“Rakha, kamu kenapa? Tatapanmu sedari tadi selalu sinis pada Indah?” tanya Dimas. “Gak kok Om. Perasaam Om saja,” jawab Rakha singkat.
“Oke, kalau begitu kita kembali ke pembahasan sebelumnya. Kamu dan Aditya mulai bekerja di sini, besok. Om sudah sampaikan ke mama kamu. Sementara ini, kamu fokus ke Big Land. Kamu satu-satunya, yang bisa Om andalkan.”
“Pasti!” sahut Rakha.
Suasana jeda sedikit terasa. Ketiganya terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Wanita itu, tidak meminta maaf kejadian pagi tadi? Benar-benar ya, wanita tidak beretika!! batin Rakha.
Ada apa ini? Ini orang pada mikirin apa? Aditya pun merasa aneh, membaca sikap diam Dimas dan Rakha.
----
Indah tiba di ruangannya dengan suasana hati yang tidak nyaman. Dia membuang berkas ke sofa. “Ada ya pria seperti itu? Sombong gak ketulungan!!!”
Asti yang mendapati Indah dengan sikap tak biasa, langsung bergegas mendekat.
“Bu, ada masalah?”
Indah menarik napas panjang. Dia menjatuhkan badannya di kursi kerjanya.
“Gimana berkas ET, sudah siap?” lanjut Indah. “Sudah Bu. Apa saya siapkan sekarang?”
Indah tidak menjawab, dia menatap kosong. “Ibu, baik-baik saja, kan?” tanya Asti, yang makin yakin, atasannya itu sedang tidak baik-baik saja.
“Gak tau Asti. Hari ini saya seperti tidak bisa fokus.”
“Ini sudah jam makan siang Bu. Saya siapkan makan siang?” Asti mengingatkan. “Oke.”
Asti bersegera menyiapkan makan siang. Seperti biasa, Indah menyukai makan siang di ruangannya. Sambil menatap bebas ke luar jendela ruangannya, di lantai sepuluh Big Land.
Setelah dua tahun kepergian Bapak, hari ini, entah mengapa aku sangat merindukannya, Indah membatin.
Tak lama, Asti sudah kembali bersama sajian makan siang.
“Kamu temani saya, ya. Saya gak enak makan sendiri,” pinta Indah. “Baik Bu.”
Asti lantas menata meja, dan menyajikan makan siang untuk atasannya itu. Asti semakin merasa berbeda dengan sikap Indah hari ini.
“Bu….”
“Iya, Asti. Ada apa?”
“Sekarang, kan, saya sudah punya tabungan yang cukup, Bu. Saya dan ibu merasa kurang enak kalau masih merepotkan Ibu Indah.”
“Maksudnya?”
“Saya dan ibu berencana pindah ke rumah kontrakan saja.”
“Kamu tidak lagi menganggap saya ada?” Indah menatap serius. “Bukan begitu maksud saya, Bu.”
“Oke kalau begitu. Ini bukan hal penting yang harus dibicarakan. Rumah itu masih kosong, jadi kamu tinggal di sana saja. Kalau memang punya banyak uang, disiapkan untuk masa depan kamu!”
“Tapi Bu—"
“Apa yang saya sampaikan, belum jelas?!”
“Iya Bu, jelas.” Asti menutup kalimatnya, dengan senyuman setengah dipaksakan.
Makan siang berakhir. Asti langsung membersihkan kembali meja kerja atasannya. Indah tampak meninggalkan ruangannya.
“Aduh, aku membuat kesalahan. Kondisi ibu Indah sedang tidak baik-baik saja, aku malah membicarakan hal ini,” sesal Asti.
Meninggalkan kantor Big Land, Aditya dan Rakha kembali ke kantor Tower Electrics Mahakarya. Wajah Rakha masih terlihat dingin. Adit sesekali melirik ke arah pria yang ada di sampingnya itu. “Kamu kenapa lirik-lirik begitu?” Rakha menyadari sikap Aditya yang terus memperhatikannya. “Aku yang ingin bertanya, kamu kenapa? Mood kamu berantakan banget hari ini. Iya sih, setiap hari memang kamu begini, tapi terlihat lebih dingin hari ini!” Rakha langsung melotot. Aditya terdiam dan kembali fokus pada kendaraan yang dikemudikannya. “Ternyata di Big Land, banyak cewek-cewek cantik ya? Menyesal aku, baru ke sana hari ini.” Adit terus saja mengoceh, sedangkan pria di sebelahnya masih diam tak peduli. Mendapati sikap Rakha yang membisu, Aditya akhirnya diam. Ha, aku selalu saja sulit menemukan kalimat yang pas saat ngobrol dengan dia. Entah makhluk seperti apa yang bisa menaklukkan hati bekunya itu, batin Adit. Mobil yang dikendarai keduanya terhenti, setelah lampu lalu lintas memberikan
Aditya terlihat terburu-buru menuju lantai sepuluh Big Land. Staf yang melihat tingkahnya, terheran-heran. Mau gimana lagi, kalau dia marah, bisa jadi aku kehilangan pekerjaan, gumamnya. “Mana dokumen yang aku perintahkan kemarin?” tanya Rakha, membelalak. “Dokumen?” tanya Aditya, bingung. “Ehm, kalau kamu tidak mampu bekerja profesional, mending kamu tidur di rumah!!!” ucap Rakha, dongkol. “Tunggu dulu Bos. Dokumen yang mana?” Rakha menarik napas panjang. “Dokumen yang diserahkan om Dimas tentang proyek Big Land yang harus aku pelajari. Jangan bilang, kamu hilangkan?!” Aditya terdiam. Dia tampak berpikir. “Oh itu. Aku ingat, aku singgah di toilet dan aku letakkan di meja tak jauh dari ruang rapat. Kalau gak salah, di depan ruangan Direktur Keuangan.” “Jadi?” “Oke. Aku ambil sekarang!” Berurusan dengan pria menakutkan itu memang sebuah pilihan buruk. Aditya terus saja berbicara sendiri, sambil berjalan menuju ruangan Direktur Keuangan. “Selamat siang, Pak?” sapa Asti, menda
Sore tiba. Indah singgah di sebuah Coffee Shop, tak jauh dari kantornya. Sebuah senyuman hangat, menyambutnya setelah masuk ke dalam bangunan mungil berwarna hijau putih itu.Seorang wanita seusianya mendekat dan langsung memeluknya. “Makasih udah datang,” ujarnya, tersenyum manis. “Haruslah, Don. Kita juga udah lama gak ngopi bareng, kan?” jawab Indah, lantas duduk. “Aku sediakan dulu minuman kamu, ya?” sambung Dona.Indah memberi respons, menggangguk. Dia lantas memperhatikan suasana tempat itu. Enak dan sangat nyaman. Tak lama, Dona sudah hadir bersama secangkir hot americano. “Ini salah satu menu terbaik kami di sini. Semoga kamu suka,” ujar Dona sambil meletakkan minuman itu di hadapan Indah.Tanpa jawaban, Indah lebih dulu mencium aroma dari minuman hangat itu. “Ehm, harum banget.”Dona mempersilakan Indah untuk lanjut mengesap. Indah pun, pelahan meneguk minuman itu.“Salah satu kopi terbaik yang pernah aku cicipi,” puji Indah. “Ini jujur kan, bukan gombal?” tanya Dona.Indah
Suasana haru belum beranjak dari percakapan Indah dan Dona. Keheningan tercipta, sembari ke dua wanita itu menenangkan diri.“Oke, cukup dari aku,” sambung Indah, dengan senyuman hangatnya, menguatkan. “Aku seperti kehilangan semangat untuk bercerita,” ujar Dona.“Gak ada alasan, kamu wajib cerita. Aku ke sini udah penasaran banget. Iya Don, ya?” pinta Indah.Dona tersenyum. Dia memulai cerita.“Namanya Yusuf Abdullah. Kami satu divisi sebelumnya, sebelum dia jadi pimpinan di divisi kami.”Indah terlihat mendengar, serius.“Aduh gimana mulainya?”“Lho kan udah mulai?”“Aku bingung, mau cerita yang mana.”“Cerita semua. Jangan ada yang ditutup-tutupi!” ujar Indah, memaksa.“Ya, oke. Awalnya, aku tidak terlalu sadar akan kehadirannya. Karena, kamu kan tahu, saat itu aku fokus membangun karier, mengurus Syifa. Kehadiran pria, sama sekali jauh dari rute jalanku. Sampai akhirnya, aku ngobrol dengan atasanku saat itu. Yang kebetulan dekat banget dengan aku, Mbak Nia.“Dia menceritakan, mas
Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land. “Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya. “Iya Bu, gak apa-apa.” “Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya. Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu. Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian. Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya. “Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya. “Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa b
Di depan ruangan rapat, tampak beberapa pria, anggota dewan direksi masih sibuk berbicara satu sama lain, “Kenapa sih, pak Dimas harus memilih pria itu? Kamu tidak dengar, bagaimana sifatnya yang angkuh?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, seharusnya mbak Indah yang menggantikan pak Dimas. Dia sangat kompeten, terbuka akan saran, dan komunikasinya selalu baik dengan seluruh staf dan Direksi,” sahut anggota lainnya. Ada apa ini? batin Aditya. Dia melihat Rakha berdiri tepat di belakang ke dua pria yang sedang membicarakan dirinya. Melihat keberadaan Aditya, Rakha seketika pergi dari tempat itu. “Masalah lagi,” ungkap Aditya, mendapati ekspresi Rakha yang menahan emosi. Hari ini, Rakha dan Aditya mulai berkantor di Big Land. Melewati meja kerja Asti, Aditya tak lupa menyapa dengan senyumannya. Namun Asti memberikan respons datar. Rakha yang mendapati sikap manis Aditya, menyeringai. “Menebar pesona di mana-mana. Yang ada kamu seperti pria murahan!” ucapnya, kesal. “Apa?” tany
Dalam kondisi yang tertekan, Indah dikagetkan dering ponselnya. “Apa?!” jawab Indah, setelah menerima panggilan dari ponselnya. Asti seketika ikut panik, melihat ekpresi kaget Indah. Indah menutup telepon, dan segera melangkah keluar ruangannya. Dia berlari kecil dan memasuki ruangan bertuliskan Public Relations Devision. “Ada apa ini?” tanya Indah. “Memo dari pak Rakha, Bu,” jawab wanita di hadapannya, dan menyerahkan selembar dokumen. Wanita itu adalah staf Divisi PR. Indah membaca selembar dokumen yang diserahkan wanita itu. Sejenak Indah terpaku. “Bagaimana mungkin ini disebut keputusan, tanpa ada rapat bersama?” “Pak Rakha, minta saat ini juga di eksekusi, Bu.” Tanpa jawaban, Indah langsung keluar dari ruangan tersebut, masih memegang selembar kertas yang dibacanya tadi. Dia tampak berjalan menuju ruang Pimpinan. “Bisa dijelaskan maksud memo ini, Pak Rakha?” ucap Indah, setelah berada di hadapan R
Memenuhi janji pada Aditya, Asti benar-benar menemani pria itu makan malam. Aditya tampak menjemput Asti di lobby Big Land. “Pak, boleh kita makan malam di sekitar pasar malam saja?” pinta Asti. “Boleh. Di sana kebetulan ada restoran langganan kami sekeluarga.” Asti tersenyum. “Oh ya. Kamu gak usah panggil Pak, Pak. Emangnya di kantor?” “Jadi, saya harus manggil apa, Pak?” “Tuh, Pak lagi. Panggil ‘Mas’ saja. Supaya lebih dekat kesannya.” Asti menarik bibir, tersenyum. Dia menghela napas. “Baik, Mas.” “Gitu dong.” Aditya menyalakan mobil dan segera meninggalkan halaman Big Land. Beberapa saat menelusuri jalan, akhirnya mereka tiba. “Ayo Asti,” ajak Aditya. “Ehm, Pak?” “Kok Pak lagi. Kita kan sudah sepakat?” Asti salah tingkah. Lidahnya begitu berat. “Iya, Mas.” “Gitu kan lebih enak. Iya ada apa, ada yang ingin kamu sampaikan?” “Boleh gak, untuk m
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum
Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh
Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t
Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud
Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu
Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”
Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar