Share

Bab 5

Penulis: Jane Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-28 08:59:53

Suasana haru belum beranjak dari percakapan Indah dan Dona. Keheningan tercipta, sembari ke dua wanita itu menenangkan diri.

“Oke, cukup dari aku,” sambung Indah, dengan senyuman hangatnya, menguatkan. “Aku seperti kehilangan semangat untuk bercerita,” ujar Dona.

“Gak ada alasan, kamu wajib cerita. Aku ke sini udah penasaran banget. Iya Don, ya?” pinta Indah.

Dona tersenyum. Dia memulai cerita.

“Namanya Yusuf Abdullah. Kami satu divisi sebelumnya, sebelum dia jadi pimpinan di divisi kami.”

Indah terlihat mendengar, serius.

“Aduh gimana mulainya?”

Lho kan udah mulai?”

“Aku bingung, mau cerita yang mana.”

“Cerita semua. Jangan ada yang ditutup-tutupi!” ujar Indah, memaksa.

“Ya, oke. Awalnya, aku tidak terlalu sadar akan kehadirannya. Karena, kamu kan tahu, saat itu aku fokus membangun karier, mengurus Syifa. Kehadiran pria, sama sekali jauh dari rute jalanku. Sampai akhirnya, aku ngobrol dengan atasanku saat itu. Yang kebetulan dekat banget dengan aku, Mbak Nia.

“Dia menceritakan, mas Yusuf selalu menanyakan tentang aku, tentang Syifa. Mbak Nia, menyampaikan bagaimana mas Yusuf menaruh hati padaku. Bagaimana dia berjuang menyembunyikan perasaanya, karena aku memang membuat batas saat itu. Aku begitu terharu mendengarnya. Bagaimana seorang pria bisa mencintai dalam diam, demi menghargai prinsip wanita yang dia sukai.

“Sejak saat itu, aku mulai membuka diri tanpa menunjukkan bahwa aku sudah tahu segalanya. Tapi, setelah mbak Nia pindah ke kantor pusat, mas Yusuf yang menggantikan beliau. Saat itulah dia baru berani menyatakan perasaannya yang sebenarnya.”  

Sweet banget sih, mas Yusuf itu,” ucap Indah.

“Aku lanjutkan ya. Setelah menyatakan perasaan, sikapnya makin membuatku sadar, bahwa dia pria yang berbeda. Dia bukan mendekati aku, tapi dia mendekati Syifa. Aku sangat terharu, Ndah.” Mata Dona tiba-tiba berkaca-kaca. Dia menahan tangis. Indah lantas menggengam tangan sahabatnya itu.

“Syifa dari kecil kehilangan sosok ayah. Kehadiran mas Yusuf, seperti mata air yang hadir di tengah kegersangan dan kerinduan Syifa akan kasih sayang seorang ayah.”

“Don, aku sangat bahagia mendengarnya. Tanpa bertemu dengannya, aku merasa, dia akan menjadi pria terbaik untukmu dan Syifa,” ujar Indah,

“Iya, Ndah.”

“Rencana ke jenjang yang lebih serius?” tanya Indah. “Beliau sudah dua kali melamar. Tapi aku masih belum siap.”

“Tanggapannya?”

“Dia mengerti dan bersedia menunggu.”

“Don, aku makin penasaran ingin bertemu dengan beliau.”

“Segera aku atur, ya. Aku pun ingin sekali, mempertemukanmu dengan beliau.”

“Dia seperti apa sih? Cuek atau perhatian? Suka ngomong atau pendiam?”

“Dia pria yang sangat perhatian. Ngomong, tidak banyak, tapi perhatiannya yang melimpah."

“Wah, melimpah ya,” ujar Indah diselingi tawa. “Iya seperti itulah dia. Liebe Box pun bisa aku wujudkan karena dukungannya. Dia selalu mengatakan, dia akan selalu mendukung, apa pun yang ingin aku lakukan. Apa saja yang bisa membuatku bahagia.”

“Hubungan Syifa dan ayahnya, gimana?” sambung Indah. “Sudah setahun ini, Syifa sudah berkomunikasi dengannya. Awalnya memang sangat canggung, tapi pelahan komunikasi mereka baik.”

“Untuk kesekian kalinya, aku tidak pernah lelah mengakui, bahwa kamu wanita dan ibu yang luar biasa, Don,” puji Indah.       

“Kok, itu lagi yang dibahas?” tanya Dona.

“Itu penting Don. Bagaimana seorang wanita yang dicampakkan begitu saja bisa memaafkan dengan mudah. Bagaimana seorang wanita yang ditinggalkan dalam kondisi hamil besar, berjuang sendiri, bisa menerima dengan terbuka, pria yang meninggalkannya? Aku seperti tidak percaya, bahwa ini nyata.”

“Indah, untuk ke sekian kalinya juga, aku akan menjawab dengan jawaban yang sama. Tuhan memberikan ujian, sesuai kadar kemampuan kita menghadapinya. Itu saja.” Dona mengingatkan.

“Untung, aku tidak pernah bertemu dengan si Faisal itu. Aku sangat terluka jika mengingat, perlakuannya padamu dan Syifa. Aku tidak bisa terima!”

Dona tersenyum. “Indah, kita fokus melangkah ke depan yuk, jangan lagi mundur ke belakang.”

“Foto yang pernah kamu pajang di sana, kok gak ada lagi?” tanya Indah, menunjuk ke dinding yang telah kosong.

“Syifa yang menurunkan. Dia menghargai mas Yusuf.”

“Ha? Syifa sudah berpikiran seperti itu?”

Dona kembali tertawa. “Indah, Syifa itu sudah hampir 14 tahun. Dia sudah sangat paham.”

“Syifa sudah 14 tahun, sedangkan aku masih begini-begini aja,” sambung Indah, mengubah suasana.

“Tuh kan? Katanya tadi udah bahagia, kok diungkit lagi?” ujar Dona. “Iya aku cuma ngomong Don. Tidak pake sedih-sedihlah. Wajar kan, aku mencoba merenungi diriku sendiri?”

“Iya. Emang kamu gak dekat dengan siapa pun saat ini?” tanya Dona.

“Gak ada.”

“Kalau aku yang bantu nyariin, mau gak?”

“Kayaknya gak deh. Aku gak mau lagi pake acara jodoh-jodohan. Biarlah aku akan menemuinya sendiri.”

“Jadi, ikhtiarnya, usahanya gimana?”

“Selama ini aku sudah berjuang keras Don, dengan menjemput dengan berbagai macam cara. Dan ternyata masih belum juga mengantarku sampai akad. Mungkin saatnya aku berhenti sejenak. Fokus pada diriku sendiri, memperbaiki diri, dan tentu saja berusaha memantaskan diri untuk yang terbaik.”

“Aku setuju,” sahut Dona.

“Kalau kamu merasa mas Yusuf adalah pria yang baik, apa yang membuatmu masih ragu menerima lamarannya?” lanjut Indah.

“Sebagai wanita yang punya masa lalu kelam, aku merasa wajib benar-benar meyakinkan diriku saat memilih melalui perjalanan yang sama. Di masa lalu, aku tak punya waktu, tak punya kesempatan untuk mengenali apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh diriku sendiri. Jadi, karena saat ini aku punya kuasa atas diriku, aku merasa wajib menjawab banyak hal.”

“Menjawab banyak hal?”

“Iya, aku membuat banyak pertanyaan tentang apa yang aku butuhkan dan apa yang aku inginkan pada sebuah pernikahan. Dan sampai saat ini, masih banyak pertanyaan yang belum aku bisa jawab, dan belum aku yakini sepenuhnya, bisa aku wujudkan bersama mas Yusuf.”

Indah menarik napas panjang. “Aku tidak pernah berpikir, persiapan menerima lamaran akan seberat itu, Don.”

Dona kembali memberikan senyumannya.

“Indah, seseorang wajib belajar banyak dari pengalaman yang menyakitkan, dari perjalanan yang membuatmu seperti kehilangan dunia. Aku jelas tidak akan membiarkan diriku, mengulangi hal yang sama.”

Indah terpaku.

“Melihat sosok mas Yusuf yang tampak sempurna, tidak lantas membuatku mudah menerimanya. Tampilan itu hanya sekadar penutup, Indah. Kita tidak pernah tahu apa aja yang ditutupi oleh casing itu. Dan jawabannya selalu ada pada hatimu sendiri. Sesuatu yang tidak bisa kamu rasionalkan, aku yakin bisa kamu jawab dengan mendengar kata hatimu,” jelas Dona.

“Kadang aku berpikir, ada yang begitu mudah menikah, berbahagia. Di sudut yang berbeda, ada yang sulit mendapatkan pasangan hidup. Menikah pun, ia tidak bahagia. Hidup ini benar-benar penuh misteri. Aku bahkan merasa, kebahagiaan itu ada pada sebuah keberuntungan,” ungkap Indah.

“Ya, seperti itulah. Fokus pada apa yang kamu miliki hari ini dan berbahagialah dengannya. Karena ya seperti kamu katakan tadi, hidup itu penuh misteri. Esok, entah perjalanan kita akan seperti apa.”

“Jadi, kapan kamu siap menerima lamaran mas Yusuf?”

“Entahlah. Aku hanya bisa menjalani semuanya hari ini. Aku percaya, Tuhan akan menunjukkan jalan terbaik.”

“Keluarga mas Yusuf gak ada masalah, kan?”

“Itu juga salah satu pertimbanganku.”

“Ada masalah?”

“Masalahnya pada diriku sendiri.”

“Maksud kamu?”

“Orang tua mas Yusuf terlalu baik, Indah.”

"Jadi masalahnya apa?”

“Aku, minder.”

Indah terdiam sejenak. Dia tampak berpikir dan mencerna kalimat sahabatnya itu. “Bisa gak kamu jelaskan, masalahnya apa?” tanya Indah, lagi.

“Indah, aku ini lebih tua empat tahun dari mas Yusuf. Aku punya anak usia 14 tahun. Mas Yusuf itu pria yang sangat menarik, keluarganya baik. Aku merasa mas Yusuf pantas mendapatkan yang lebih baik.”

“Kok kamu bisa berpikir seperti itu? Kamu merasa tidak cukup baik untuk pria baik seperti mas Yusuf?”

Dona menggangguk.

“Kamu kenapa jadi seperti ini? Kamu yang selalu mengingatkan aku, bahwa selalu ada masa depan yang lebih indah. Terus, kenapa kamu malah mundur seperti ini, saat Tuhan memberikan kesempatan kamu bersama pria yang sempurna?”

“Ini perasaan normal, Indah. Ini hanya rasa khawatirku saja. Mas Yusuf dan keluarganya akan menghadapi sedikit masalah nanti dengan statusku.”

“Kamu terlalu berpikir jauh, Don.”

“Ya memang aku harus seperti itu. Aku tidak mau mengekang cinta mas Yusuf dalam kotak yang dipenuhi duri.”

“Jujur Don, aku merasa pemikiranmu terlalu berat untuk kuterima saat ini.”

“Ya sudah. Kita istirahat, ini sudah malam,” ucap Dona, menunjukkan waktu sudah menuju pukul sebelas malam. “Iya kayaknya aku memang harus istirahat,” sahut Indah.

Keduanya pun, menuju kamar tidur.

----

Rakha tampak belum bisa memejamkan mata. Dia masih duduk di balkon apartemennya seperti biasa. Malam, selalu menjadi waktu terberat baginya. Saat dia mulai merasakan keheningan sendiri, dan tak ada lagi suara-suara kendaraan di sepanjang jalan sekitar apartemennya. Lampu-lampu kendaraan seperti biasa selalu menjadi hiburannya, dari lantai tiga puluh lima kediamannya.

“Rakha?” Suara seorang wanita tiba-tiba membangunkan Rakha dari lamunan panjangnya. Dia menoleh ke arah suara, namun hanya beberapa detik, dia kembali mengarahkan pandangannya jauh ke langit bebas.

“Sampai kapan kamu seperti ini, Nak?” tanya wanita itu, duduk di samping Rakha. “Mama tidak bisa tenang, kalau kamu terus saja sendiri seperti ini. Mama, tidak akan selamanya ada bersamamu, Rakha!”

Rakha, menyeringai.

“Aku tidak pernah meminta Mama selalu ada bersamaku. Aku bahkan rela, jika harus sendiri di dunia! Aku bahkan tidak pernah meminta lahir ke dunia ini!”

Wanita setengah baya itu, tersengat dengan ucapan Rakha. Kalimat putranya benar-benar sangat menyakitkan. “Sampai kapan kamu akan seperti ini, Rakha? Tidakkah cukup, kamu menyiksa dirimu sendiri dengan sikap seperti ini?”

Rakha menutup mata. Dia kembali mengabaikan kalimat ibundanya. Melihat sikap Rakha yang masih saja dingin, wanita itu akhirnya berdiri, dan berlalu. Pintu apartemen terdengar ditutup.

Kisah singkat masa lalu, kembali melintas.

“Apa kalian sudah dengar, pak Yudi sudah menikah lagi?” ucap seorang wanita yang sedang menunggu anaknya di depan pagar sekolah. “Memangnya ibu Rosa dan pak Yudi sudah bercerai?” sahut wanita yang lain. “Iya, apa kalian gak pernah dengar gosipnya?”

“Iya, dengar-dengar istrinya itu sekretarisnya.”

“Hus, jangan keras-keras. Itu Rakha, kasihan anak itu,” ujar salah seorang, setelah melihat Rakha berjalan keluar dari pagar sekolah.

Mereka menyangka Rakha tidak mendengar, namun seluruhnya terdengar jelas. Air mata Rakha kecil, menetes pelan. Kalimat-kalimat penegasan tentang keluarganya, makin menambah perih hatinya.

Rakha terbangun. Matanya berkaca-kaca. Seluruh kenangan itu, belum juga puas mengusiknya.

“Siapa laki-laki itu, wanita sialan?!” teriak pria itu pada wanita di hadapannya. Dia menggenggam rambut wanita itu. Bukannya merasakan sakit, wanita itu malah tertawa bahagia atas perlakuan yang diterimanya.

“Dia kekasihku! Kamu cemburu?” sahut wanita itu. Semakin membuat amarah pria itu memuncah. “Wanita sialan!!!” Sebuah tamparan, lagi-lagi pria itu daratkan pada wajah wanita itu. Bocah kecil itu masih tetap bertahan di pojok ruangan. Matanya membelalak penuh kemarahan.

Kenangan penuh duka, sangat menyakitkan, kembali membuat air mata mengalir dengan derasnya menghiasi pipi Rakha. Cerita itu terasa masih sangat menyesakkan. Usia yang mendewasa, ternyata tidak bisa mengobati apa pun. Sakit itu masih terus terasa, walaupun waktu kini telah jauh berjalan.

Bab terkait

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 6

    Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land. “Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya. “Iya Bu, gak apa-apa.” “Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya. Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu. Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian. Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya. “Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya. “Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa b

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-30
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 7

    Di depan ruangan rapat, tampak beberapa pria, anggota dewan direksi masih sibuk berbicara satu sama lain, “Kenapa sih, pak Dimas harus memilih pria itu? Kamu tidak dengar, bagaimana sifatnya yang angkuh?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, seharusnya mbak Indah yang menggantikan pak Dimas. Dia sangat kompeten, terbuka akan saran, dan komunikasinya selalu baik dengan seluruh staf dan Direksi,” sahut anggota lainnya. Ada apa ini? batin Aditya. Dia melihat Rakha berdiri tepat di belakang ke dua pria yang sedang membicarakan dirinya. Melihat keberadaan Aditya, Rakha seketika pergi dari tempat itu. “Masalah lagi,” ungkap Aditya, mendapati ekspresi Rakha yang menahan emosi. Hari ini, Rakha dan Aditya mulai berkantor di Big Land. Melewati meja kerja Asti, Aditya tak lupa menyapa dengan senyumannya. Namun Asti memberikan respons datar. Rakha yang mendapati sikap manis Aditya, menyeringai. “Menebar pesona di mana-mana. Yang ada kamu seperti pria murahan!” ucapnya, kesal. “Apa?” tany

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 8

    Dalam kondisi yang tertekan, Indah dikagetkan dering ponselnya. “Apa?!” jawab Indah, setelah menerima panggilan dari ponselnya. Asti seketika ikut panik, melihat ekpresi kaget Indah. Indah menutup telepon, dan segera melangkah keluar ruangannya. Dia berlari kecil dan memasuki ruangan bertuliskan Public Relations Devision. “Ada apa ini?” tanya Indah. “Memo dari pak Rakha, Bu,” jawab wanita di hadapannya, dan menyerahkan selembar dokumen. Wanita itu adalah staf Divisi PR. Indah membaca selembar dokumen yang diserahkan wanita itu. Sejenak Indah terpaku. “Bagaimana mungkin ini disebut keputusan, tanpa ada rapat bersama?” “Pak Rakha, minta saat ini juga di eksekusi, Bu.” Tanpa jawaban, Indah langsung keluar dari ruangan tersebut, masih memegang selembar kertas yang dibacanya tadi. Dia tampak berjalan menuju ruang Pimpinan. “Bisa dijelaskan maksud memo ini, Pak Rakha?” ucap Indah, setelah berada di hadapan R

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-22
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 9

    Memenuhi janji pada Aditya, Asti benar-benar menemani pria itu makan malam. Aditya tampak menjemput Asti di lobby Big Land. “Pak, boleh kita makan malam di sekitar pasar malam saja?” pinta Asti. “Boleh. Di sana kebetulan ada restoran langganan kami sekeluarga.” Asti tersenyum. “Oh ya. Kamu gak usah panggil Pak, Pak. Emangnya di kantor?” “Jadi, saya harus manggil apa, Pak?” “Tuh, Pak lagi. Panggil ‘Mas’ saja. Supaya lebih dekat kesannya.” Asti menarik bibir, tersenyum. Dia menghela napas. “Baik, Mas.” “Gitu dong.” Aditya menyalakan mobil dan segera meninggalkan halaman Big Land. Beberapa saat menelusuri jalan, akhirnya mereka tiba. “Ayo Asti,” ajak Aditya. “Ehm, Pak?” “Kok Pak lagi. Kita kan sudah sepakat?” Asti salah tingkah. Lidahnya begitu berat. “Iya, Mas.” “Gitu kan lebih enak. Iya ada apa, ada yang ingin kamu sampaikan?” “Boleh gak, untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-23
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 10

    Pagi yang tak biasa. Indah terlihat ada di rumah sakit. Dia sedang berbicara dengan Asti. “Terima kasih ya. Kamu langsung ke kantor saja. Saya sudah menghubungi pak Aditya. Hari ini saya menemani ibu dulu.” “Baik, Mbak.” Asti pun melangkah meninggalkan Indah yang masih berdiri di lobby rumah sakit. Semalam, dia dikagetkan kabar ibunya dibawa ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu menderita mag yang cukup serius. Sejak tinggal di apartemen, Indah sudah jarang menemui ibundanya. Kondisi yang membuatnya merasa sangat bersalah pada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang utuh. Walaupun kenyataan menegaskan bahwa tak ada ikatan darah antara mereka. Dari jarak yang tak begitu jauh, tampak kakaknya, Desi melangkah ke arahnya. Semakin dekat, makin jelas, rona kesedihan terpancar di wajah Desi. Dia langsung memeluk adiknya itu, erat. “Makasih kamu sudah menemani ibu semalam.” “Mbak Desi kok ngomong gitu?” “Maaf,” sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 11

    Menikmati masa cuti, membawa suasana berbeda bagi Indah. Dia tampak menikmati kebersamaan bersama Dona dan karyawan Liebe Box. Tak ada rasa canggung, yang ada suasana penuh kehangatan. “Bagaimana kesannya beberapa hari ini, menjadi bagian dari Liebe Box?” tanya Dona, saat mereka berdua bersantai di lantai dua, ruang kantor Liebe Box. “Keseruannya sulit aku gambarkan, Don. Aku kini menyadari alasanmu memilih di sini. Aku sangat menikmati segalanya.” “Ehm, kalau gitu, kami membuka pintu selebar-lebarnya, jika suatu hari nanti, kamu benar-benar bisa bergabung dengan kami. Terasa terhormat bisa mendapatkan seorang Manajer andal seperti kamu. Jelas, Liebe Box punya masa depan yang mengagumkan.” Indah menghela napas. “Jujur, beberapa waktu terakhir, aku pun mulai merasakan kejenuhan dengan aktivitasku di Big Land. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di saat-saat seperti ini. Aku ingin menciptakan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-25
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 12

    Suasana Big Land pagi ini, kembali gaduh. Lagi, seluruh anggota Direksi berkumpul di ruang rapat, dan Rakha menjadi pusat perhatian. Direktur Marketing tampak berdiri dan meletakkan beberapa koran di hadapan Rakha. Seperti biasa, Rakha tetap bersikap dingin. “Pimpinan Tower Electrics Mahakarya dan Big Land tampak mabuk-mabukkan di klab malam,” ucap salah satu anggota Direksi. Yang kemudian di sambung anggota lainnya. “Apakah Pak Rakha punya penjelasan atas berita ini?” “Ini memang benar, apa yang perlu saya jelaskan?” sahut Rakha, masih dengan sikap cueknya. “Ini jelas masalah bagi kredibilitas Big Land. Anda mungkin bebas berbuat sesuka hati, selama di Tower Electrics, tapi ingat, anda sekarang bagian dari Big Land. Anda perlu tahu, nama besar Big Land, kami tidak dapatkan dengan mudah. Jadi tolong berhati-hati bersikap!” Salah satu anggota Direksi tampak mulai menaikkan volume su

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-26
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 13

    Sejak makan malam terakhir, hubungan Aditya dan Asti kian berjarak. Tak ada lagi waktu keduanya walaupun sekadar ngobrol. Kondisi perusahaan yang memburuk, ditambah hubungan Indah dan Rakha yang sama buruknya, turut mengganggu hubungan keduanya. Saat Aditya berusaha mendekat, Asti akan setiap saat menjaga jarak. Terlalu banyak perbedaan, makin membuat Asti menghindar. Menunggu pesanan ojek online, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapan Asti. Dan seperti biasa, sosok yang ada di dalam mobil, tidak lain adalah pria yang dihindarinya. Asti menunduk, berusaha tidak menatap ke arah Aditya. “Asti, saya mau ngobrol, bisa?” pinta Aditya. “Tidak ada lagi, yang harus dibicarakan Pak,” sahut Asti. Aditya menghela napas. Sebutan ‘Pak’, terasa sangat menyakitkan. “Please. Setelah ini, saya tidak mengganggumu lagi.” Mata pria itu berkaca-kaca. Asti kembali tidak bisa berkata-kata. Dia akhirnya menuruti permintaan Aditya

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-27

Bab terbaru

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 40

    Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 39

    Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 38

    Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 37

    Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 36

    Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 35

    Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 34

    Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 33

    Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 32

    Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar

DMCA.com Protection Status