Menikmati masa cuti, membawa suasana berbeda bagi Indah. Dia tampak menikmati kebersamaan bersama Dona dan karyawan Liebe Box. Tak ada rasa canggung, yang ada suasana penuh kehangatan.
“Bagaimana kesannya beberapa hari ini, menjadi bagian dari Liebe Box?” tanya Dona, saat mereka berdua bersantai di lantai dua, ruang kantor Liebe Box.
“Keseruannya sulit aku gambarkan, Don. Aku kini menyadari alasanmu memilih di sini. Aku sangat menikmati segalanya.”
“Ehm, kalau gitu, kami membuka pintu selebar-lebarnya, jika suatu hari nanti, kamu benar-benar bisa bergabung dengan kami. Terasa terhormat bisa mendapatkan seorang Manajer andal seperti kamu. Jelas, Liebe Box punya masa depan yang mengagumkan.”
Indah menghela napas.
“Jujur, beberapa waktu terakhir, aku pun mulai merasakan kejenuhan dengan aktivitasku di Big Land. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di saat-saat seperti ini. Aku ingin menciptakan
Suasana Big Land pagi ini, kembali gaduh. Lagi, seluruh anggota Direksi berkumpul di ruang rapat, dan Rakha menjadi pusat perhatian. Direktur Marketing tampak berdiri dan meletakkan beberapa koran di hadapan Rakha. Seperti biasa, Rakha tetap bersikap dingin. “Pimpinan Tower Electrics Mahakarya dan Big Land tampak mabuk-mabukkan di klab malam,” ucap salah satu anggota Direksi. Yang kemudian di sambung anggota lainnya. “Apakah Pak Rakha punya penjelasan atas berita ini?” “Ini memang benar, apa yang perlu saya jelaskan?” sahut Rakha, masih dengan sikap cueknya. “Ini jelas masalah bagi kredibilitas Big Land. Anda mungkin bebas berbuat sesuka hati, selama di Tower Electrics, tapi ingat, anda sekarang bagian dari Big Land. Anda perlu tahu, nama besar Big Land, kami tidak dapatkan dengan mudah. Jadi tolong berhati-hati bersikap!” Salah satu anggota Direksi tampak mulai menaikkan volume su
Sejak makan malam terakhir, hubungan Aditya dan Asti kian berjarak. Tak ada lagi waktu keduanya walaupun sekadar ngobrol. Kondisi perusahaan yang memburuk, ditambah hubungan Indah dan Rakha yang sama buruknya, turut mengganggu hubungan keduanya. Saat Aditya berusaha mendekat, Asti akan setiap saat menjaga jarak. Terlalu banyak perbedaan, makin membuat Asti menghindar. Menunggu pesanan ojek online, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapan Asti. Dan seperti biasa, sosok yang ada di dalam mobil, tidak lain adalah pria yang dihindarinya. Asti menunduk, berusaha tidak menatap ke arah Aditya. “Asti, saya mau ngobrol, bisa?” pinta Aditya. “Tidak ada lagi, yang harus dibicarakan Pak,” sahut Asti. Aditya menghela napas. Sebutan ‘Pak’, terasa sangat menyakitkan. “Please. Setelah ini, saya tidak mengganggumu lagi.” Mata pria itu berkaca-kaca. Asti kembali tidak bisa berkata-kata. Dia akhirnya menuruti permintaan Aditya
Hari baru, sebuah kejutan hadir. Dimas, sudah hadir di Big Land. Sejak pagi, beliau sudah ada di ruangannya. Ekspresi tak biasa, kembali menghiasi wajah pria paruh baya itu. Koran dengan headline persoalan Rakha, menjadi halaman yang terus saja ditatapnya. “Om Dimas sudah kembali?” Rakha dan Aditya tersentak, setelah mendapati mobil Dimas, sudah terparkir di basement. “Siapkan dirimu, Bos!” ucap Aditya, memperingatkan. Namun, seperti biasa, Rakha bersikap santai, dan berjalan menuju lantai sepuluh Big Land. Memasuki ruang Pimpinan, keduanya langsung disambut tatapan dingin Dimas. “Om kenapa gak kasih kabar? Kami bisa jemput ke bandara,” ucap Aditya, mencairkan suasana. Dimas melemparkan koran yang dipegangnya, ke badan Rakha, yang masih berdiri terpaku tak jauh dari darinya. “Om tidak menyangka, menitipkan Big Land padamu, menjadi sebuah dosa besar. Om berpikir kamu sudah berubah. Te
Hari ke lima, Indah menikmati hari-harinya di Liebe Box. Dia menjalani hari seperti biasanya. Senyuman hangat, selalu dia hadirkan pada siapa pun yang bertemu dengannya. Segala duka yang terus menemuinya, tampak tak sedikitpun memengaruhi perjalanannya. “Don, teman-teman kamu?” ujar Indah pada Dona, menunjuk ke arah pria-pria yang memasuki Liebe Box. Tanpa jawaban, Dona langsung menyambut di depan pintu. Indah pun langsung masuk ke dalam ruangan barista. Dia tampak mengamati keakraban Dona bersama pria-pria muda itu. “Hai, senang sekali melihat kalian kembali ke sini,” sambut Dona. “Iya dong Kak. Kami kan udah janji akan sering-sering ke sini,” sahut Desta. “Mau pesan apa?” Dona meletakkan daftar menu, di hadapan ke tiga pria itu. Dona lantas memanggil salah satu pelayannya untuk mempersiapkan pesanan yang telah dibuat. “Oh ya, Rakha kenapa gak ikutan? Aku pengen banget bertemu anak itu.” Ke tiga-nya tam
Dona sampai di rumah sakit. Ditemuinya sahabat-sahabat Rakha. Ade, Desta dan Beny. “Bagaimana kondisi Rakha?” tanya Dona. “Masih di ICU, Kak.” “Kenapa Rakha bisa kecelakaan seperti ini?” “Dia mabuk, Kak.” Dona menghela napas. Dia kehabisan kata, mewakili kesedihannya mendengar kondisi Rakha. Pria yang dikenalnya, hampir tak pernah bahagia. “Keluarga Rakha belum dikabari?” “Belum, Kak,” sahut Desta. “Kenapa?” tanya Dona. Ke tiga pria itu tampak saling berpandangan. Dona pun paham dengan respons itu. “Kenapa semua tampak panik?” tanya Dona, mendapati beberapa perawat keluar masuk ruangan Rakha dirawat. “Rakha butuh donor Kak. Stok darah yang sesuai kebutuhan Rakha, belum ditemukan Kak.” “Golongan darah Rakha?” “A-, Kak.” Dona terdiam. Dia tampak berpikir. “Syifa, golongan darahnya sama,” sebutnya. “Syifa? Siapa Kak?” “Putriku.” “Apakah memungkinkan bisa jadi pendonor untuk
Aditya kembali ke rumah sakit. Suasana penuh haru masih saja belum beranjak. “Mbak Indah?” Aditya terkejut, mendapati Indah sendiri di ruang tunggu. Indah tersenyum. “Sendiri?” “Iya, Pak. Dona izin balik, mengantarkan putrinya ke sekolah. Agak siang baru kembali ke sini.” Aditya terpaku. Wajahnya kembali diliputi keharuan. Bagaimana bisa, wanita yang paling disakiti olehnya, justru yang masih setia menemaninya? “Biar saya saja yang menjaga Rakha. Mbak Indah balik dulu, istirahat.” “Gak apa-apa Pak. Saya juga masih cuti, jadi gak ada kegiatan.” Bagaimana dia bisa sesantai ini? “Ada perkembangan tentang kondisi Rakha?” “Lagi menunggu pak Rakha dipindahkan ke ruang perawatan, Pak.” “Siapa yang ngurus administrasinya?” “Sudah saya urus, Pak,” jawab Indah, bersama senyumannya. Aditya kembali menghela napas. Dia justru merasa sangat tertekan dengan kehadiran Indah. Ent
“Kak Rizal sebelumnya sudah pernah dekat dengan seseorang?” Rizal kaget mendengar pertanyaan Indah. Pertanyaan yang tidak disangkanya, akan terucap dari Indah, di awal pertemuan mereka. Rizal tampak malu. “Ehm, kalau untuk serius, belum pernah.” Giliran Indah yang terkesiap. “Maksudnya, Kak?” “Kalau untuk sekadar dekat, jalan bareng, sudah sering sih. Tetapi kalau untuk serius, baru kali ini.” Indah terdiam. Dia berusaha menjaga respons wajahnya. “Tetapi, kali ini, saya betul-betul serius ingin menuju pernikahan. Bukan main-main lagi,” sambung Rizal. Bayangan yang sejak lama dihapusnya dari ingatan, seketika kembali mengucap selamat datang. “Indah?” Rizal mencoba menyadarkan Indah dari lamunannya. “Indah, kamu baik-baik saja?” “Iya, Kak,” sahut Indah, akhirnya terjaga. “Aku senang sekali bisa bertemu kamu lagi,” sambung Rizal. Indah kembali terpaku. “Kamu apa
Setelah percakapan yang cukup serius, Rizal meninggalkan Liebe Box. Tampak Dona mendekat, menemui Indah. “Siapa pria itu? Apakah aku pernah bertemu dengan dia?” Dona mulai penasaran dengan sosok yang ditemui Indah beberapa saat sebelumnya. Indah masih terpaku. “Indah?” Dona mencoba membangunkan Indah dari lamunan. “Iya, Don.” “Kamu kenapa? Siapa dia?” desak Dona. Indah menghela napas panjang. Begitu berat baginya, kembali mundur bersama duka yang sudah sempat dia lewati. “Kak Rizal.” Dona membelalak. “Pria yang berengsek itu?!” Indah tiba-tiba tersenyum, aneh. Semakin membuat Dona bingung. “Lho kamu kenapa malah ketawa? Ada yang lucu?” tanya Dona. “Aku baru kali ini, mendengar kamu mengucapkan kata itu, Don. Biasanya kan, aku yang lebih emosional. Lho kenapa kamu malah yang lebih emosional sekarang?” “Indah, aku serius! Aku benar-benar akan sangat marah, jika kamu melakukan ini!”
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum
Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh
Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t
Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud
Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu
Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”
Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar