Share

Bab 6

Penulis: Jane Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-30 08:53:50

Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land. “Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya.

“Iya Bu, gak apa-apa.”

“Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya.

Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu.

Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian.

Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya.

“Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya.

“Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa berhenti mendadak, di belakang mobil itu.

Sang pengemudi menurunkan kaca mobilnya.

“Asti, bareng yuk??” tanya pria itu dengan senyuman yang mengembang sempurna.

“Pak Aditya?” ucap Asti, lagi tercenung. “Aku sudah pesan ojek, Pak.”

Aditya lantas turun dari mobilnya.

Beberapa saat, dia terlihat berbicara dengan pria pengendara motor hijau itu. Dan tak lama, motor itu berlalu, membuat Asti kembali bingung.

“Pak? Ojol pesanan saya?” heran Asti, menunjuk ojol yang berlalu. “Itu udah pergi. Berarti kamu bareng saya, ya?”

“Tapi Pak—"

Aditya membuka pintu mobil selebar-lebarnya, dan mempersilakan Asti.

Asti masih berdiri terpaku, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Dia takut, harus berdua berkendara di malam hari, dengan seorang pria yang belum dikenalnya dengan baik.

“Kok malah bengong?” tanya Aditya, mulai heran dengan sikap Asti yang masih diam di tempatnya.

Aditya lantas menutup kembali pintu mobil itu. Dia berdiri di samping Asti, mencoba menyatu dengan kondisi Asti.

“Rumah kamu, jauh dari sini?”

“Gak kok Pak. Gak jauh.” Asti tampak masih tertekan dengan kehadiran pria itu.

Atau dia takut bersamaku? batin Aditya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Hening.

“Kamu udah makan malam?” tanya Adit, berusaha mengatasi suasana canggung. “Udah, Pak.”

Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang? Lagi, pikir Aditya.

“Pak, saya balik naik ojol saja,” ujar Asti, pelan. “Jadi, kamu tega ninggalin aku sendiri di sini?”

Asti kembali bingung.

“Kamu takut, satu mobil dengan saya?” tebak Aditya.

Asti tersenyum, merasa bersalah.

“Oke. Apa yang saya harus lakukan, agar kamu tidak takut, bareng dengan saya?” tanya Aditya, berusaha mencari solusi.

“Lampu dalam mobil dinyalakan, dan kaca mobil di buka,” jawab Asti, jelas.

Aditya tersenyum.

“Oke. Ayo,” ajak Aditya. Lantas membuka kembali pintu mobil, dan Asti segera mengambil tempatnya.

Terima kasih, Tuhan, gumam Aditya disertai senyuman bahagia.

Senyuman Aditya, terus saja menghiasai perjalanan keduanya. Namun, suasana canggung masih saja tercipta.

“Asti tinggal bersama siapa?” Aditya memecah keheningan. “Bareng ibu, Pak.”

Ke mana ayahnya? batin Aditya. “Ayah saya sudah meninggal dunia.”

Ha? Dia bisa tahu apa yang kupikirkan? Aditya kembali, membatin.

“Pak, boleh kita berhenti dulu di sana?” pinta Asti, sambil menunjuk ke arah pasar malam yang begitu ramai.

“Oke, tentu saja.” Aditya membelokkan kendaraannya.

Asti tampak sangat bahagia. Senyumannya tak lepas dari setiap langkahnya.

Aditya sesekali melirik ke arah wanita di sampingnya. Mencoba menelisik hadirnya aura yang berbeda.

Langkah Asti terhenti di samping permainan komedi putar. Senyumannya terus terbit, melihat tawa bahagia anak-anak yang sedang menikmati permainan.

Ada apa dengannya? Ingin rasanya aku memulai mengenali apa pun tentangnya. Tapi bagaimana aku memulai? Dia tampak wanita yang tidak banyak bicara. Aditya kembali membatin.

Mendapati sikap Asti yang terus tersenyum, membuat Aditya juga merasakan hal yang sama. Senyuman Asti menghadirkan kesejukan yang sama.

Asti mengajak Aditya berjalan menuju tempat duduk yang tak jauh dari komedi putar.

“Mau ikut naik?” tanya Aditya, menunjuk ke arah komedi putar. Asti hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Terima kasih Pak, sudah berkenan mengantar saya ke sini.”

Aditya kembali tersenyum. “Saya yang harusnya berterima kasih, kamu sudah mengizinkan saya menemani kamu.”

Asti merespons lagi dengan senyuman manisnya.

“Kamu suka ke sini?” tanya Aditya. “Ehm, gak Pak. Terakhir kali saya menikmati suasana ini saat usia saya lima tahun.”

Aditya terdiam. Dia fokus mendengarkan. “Permainan ini, meninggalkan banyak kenangan bagi saya bersama keluarga saya.” Asti mulai bercerita dengan suara, terdengar sedikit bergetar.

Aditya menoleh, dan matanya mendapati sebuah butiran air bening, menghiasi pipi Asti.

Mengapa suasanya jadi sedih begini? gumam Aditya.

Ingin rasanya aku memeluknya, menenangkan kesedihan hatinya. Ahhh, itu tidak mungkin kulakukan. Wanita ini berbeda, jelas berbeda! Aditya terus saja merutuk sendiri.

Aditya sadar, tugasnya saat ini hanya mendengar dan hadir untuk wanita itu.

Dalam kesenduan, Asti kembali tersenyum. Entah apa yang sedang dipikirkannya, apa yang sedang dirasakannya.

Aditya justru tersiksa dengan keheningan yang terjadi. Dia harus tetap diam, saat wanita di sampingnya itu, menikmati kesedihannya sendiri.

“Asti, udah jam sepuluh. Belum mau pulang?” Aditya memperhatikan jam, dan sedikit terkejut mendapati malam telah larut.

Berdua dalam hening pun, akan terasa membahagiakan, jika bersama dengan wanita yang kamu sukai, batinnya disertai senyuman yang terus berkibar.

Aditya mengantar Asti sampai di kediamannya.

“Pak Aditya, terima kasih banyak untuk malam ini,” ujar Asti, tersenyum manis. Aditya menutup mata. Senyuman Asti memacu jantungnya bekerja lebih keras.

“Pak Aditya?”

“Iya Asti. Terima kasih, ya. Jika boleh, saya siap menemani kamu jika ingin ke tempat itu lagi.”

Asti, lagi, tersenyum dan menggangguk. Wanita itu pun berlalu.

Sepasang mata Aditya, tidak berkedip mengikuti langkah Asti yang kini menghilang bersama bayangan.

“Ya Tuhanku aku sangat bahagia. Aku benar-benar jatuh cinta padanya,” ucapnya, sambil menenggelamkan wajahnya pada setir di hadapannya. Kebahagiaan itu sangat nyata, kini, tak ada lagi keraguan di hatinya.

Aditya memacu mobilnya.

Tak lama dia sudah tiba di apartemennya. Dia lantas membuang badannya di sofa panjang di ruang tamu, setelah membuka apartemennnya.

“Kamu dari mana saja?”

Tersentak!

Aditya membuka mata lebar-lebar. “Rakha? Ngapain kamu di sini?” Pria itu sontak berdiri menyalakan semua lampu. Setelah mendapati sosok Rakha yang berdiri di hadapannya.

“Oh gitu ya, sekarang? Jadi, aku harus melapor dulu sebelum datang ke sini?” tanya Rakha.

“Tidak. Bukan begitu—maksudku.”

Aditya menarik napas, menyesali kalimat yang diucapkannya. Dia memperhatikan kembali wajah Rakha, yang tampak berbeda. Dia menatapnya lebih dekat.

“Rakha, kamu minum? Merokok?” Aditya mencium bau aneh dari sahabatnya itu. “Rakha? Ada apa ini? Kamu kenapa lagi?!”

Rakha tampak tidak peduli dengan ucapan Aditya. Dia lantas meluruskan kaki di sofa panjang itu.

Aditya bergegas ke kamar membersihkan diri, dan langsung menuju dapur. Tak lama, Aditya sudah membawa segelas teh peppermint hangat dan menyajikan di hadapan Rakha, yang masih setengah sadar.

Aditya terpaku.

Dia duduk tepat di hadapan sahabatnya itu, mencoba mencari tahu, apa yang sedang terjadi padanya.

“Kha, ada apa?”

“Apa ada?” sahut Rakha, membingungkan.

“Kamu ada masalah apalagi? Kenapa kamu seperti ini?” sambung Aditya.

Rakha, terkekeh. Aditya makin bingung.

“Aku ini pintar, aku tampan, aku idola, aku sukses. Kamu tahu, kan?” tanya Rakha, masih setengah sadar.

“Tapi, kenapa aku tidak bisa bahagia?” lanjutnya. Wajahnya berubah sendu dengan tatapan kosong.

Aditya menarik napas panjang. Kalimat Rakha, benar-benar membuat lidahnya terkunci.

“Aku juga ingin keluarga yang bahagia. Aku tidak ingin terkenal, aku hanya ingin keluargaku kembali,” ujar Rakha dengan mata tertutup, air matanya mengalir.

Pria itu akhirnya terlelap.

Aditya merasakan sendu yang sama. Kesedihan Rakha yang selalu dia tanam dalam kesombongan, akhirnya terkuak dalam dirinya yang sebenarnya.

Aditya mengambil selimut dan menutupi badan sahabatnya itu. Dia tidak beranjak. Dia bertahan duduk di hadapan Rakha yang sudah terlelap jauh dalam mimpi.

Matanya berkaca-kaca, melihat penderitaan sahabatnya itu selama ini. Penderitaan, mendapati kesepian dan kehilangan yang tak kunjung ada akhirnya.

“Aku kadang jengkel mendengar setiap kalimat-kalimat kasarmu. Aku sering emosi, mendengarmu memuji diri sendiri. Aku benci mendengar, saat orang lain selalu kamu anggap lemah dan tak sebanding denganmu.

“Tapi, aku kembali sadar, bahwa sesungguhnya engkaulah yang paling lemah. Aku paham, itulah caramu bertahan dan melupakan seluruh penderitaannmu,” ucap Aditnya.

Hening seketiga berganti, dengan suara ponsel Aditya yang riuh.

Alexa: Rakha, sama kamu?

Aditya: Iya, ada apa?

Alexa: Dia dari tempatku. Dia minum terlalu banyak, dan dia keberatan aku antar pulang.

Aditya: Ada masalah apa?

Alexa: Dia bertemu Ed.

Aditya: Iya aku paham.

Aditya menarik napas panjang. Dia jelas paham betul kondisi mental sahabatnya itu. Kenangan kembali menyibak kesedihan yang sama.

“Aku sudah bilang, aku gak mau datang? Ngapain Mama paksa aku ke sini?!” ucap Rakha, masih dengan penolakannya atas ajakan sang ibu untuk memenuhi undangan ulang tahun ayahnya.

“Kha, sabar sedikit kenapa? Bisa kan, berusaha tenang. Ini kita sudah nyampe,” sambung Aditya.

Dengan kondisi yang masih sama, Rakha berjalan mengikuti langkah ibunya dan Aditya. Hampir seluruh jiwanya menolak untuk kembali bertemu dengan pria yang paling dibencinya.

Tampak seluruh tamu sudah berkumpul mengelilingi kolam renang rumah mewah itu. Tampak ayah Rakha berdiri bersama istri dan putranya, Edward.

Suasana yang kembali membuat Rakha tidak nyaman.

“Saya ucapkan terima kasih atas kedatangan Bapak, Ibu, di acara yang paling indah ini. Selain ulang tahun saya, acara ini adalah syukuran atas selesainya study putra saya, Edward Gustav. Dia putra yang sangat membanggakan, dan dia akan menjadi penerus seluruh bisnis keluarga Yudi Ahmad Wibawa.”

Rakha tersenyum, menahan amarah. Dia tampak mulai tidak bisa mengendalikan dirinya. Aditya lantas memegang lengan tangan Rakha. Dia sangat sadar, Rakha tidak bisa lagi dibiarkan bebas.

Tepuk tangan seluruh tamu mengiringi prosesi tiup lilin.

“Aku ingin pulang, sekarang!” ujar Rakha, berbalik, mencoba membebaskan tangannya dari pegangan Aditya.

“Hei?” Yudi akhirnya sadar kehadiran Rakha bersama ibunya. Rakha hanya berdiri, tetap menatap arah pintu keluar.

“Kalian sudah datang rupanya,” sambung Yudi. “Iya, Mas,” sahut Rosa.

“Apa kabar Aditya?”

“Baik, Om.”

Yudi mendekat pada Rakha yang hanya berdiri terpaku. “Kamu gak ucapin selamat ulang tahun buat Papa?”

“Untuk apa?” tanya Rakha, sinis.

Yudi hanya menanggapi dengan senyuman. Dia jelas paham betul karakter putranya.

“Abang Rakha ternyata berani datang, ya,” ucap Edward mendekat.

Rakha tidak memberi respons. Dia malah melanjutkan langkahnya.

“Kamu takut ya?” Ucapan Edward membuat Rakha menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik ke arah Edward.

“Ngapain aku takut, pada pengecut seperti kalian berdua!” kata Rakha. Tanpa kontrol, Yudi kembali mendaratkan tamparannya pada pipi Rakha. Lagi, rasa sakit yang sama kembali menjadi hadiahnya malam ini.

“Kamu tidak pernah berubah Rakha!” ucap Yudi, juga diselimuti emosi melihat tingkah Rakha. “Sudah, kami pamit saja, Mas. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.” Rosa menarik Rakha keluar dari acara itu. Aditya pun berlari menuju parkiran.

“Mama sudah tahu ini akan terjadi, kan?” ucap Rakha diselimuti amarah. “Rakha, Mama hanya ingin kamu mulai bisa baikan dengan papa kamu. Bagaimanapun dia itu papa kamu, Rakha!”

“Apakah dia pantas untuk itu?”

“Cukup, Rakha! Kita pulang!” Rosa masuk ke dalam mobil. Rakha menarik napas panjang. Lagi, suasana yang sama terjadi untuknya.

Aditya bangun dari lamunan.

“Kenapa kamu harus ke sana Rakha?!!! teriaknya, tak mampu lagi menahan diri. “Kamu selalu saja menyakiti dirimu sendiri!!!”

Pun, air matanya tak tertahan. Dia menatap Rakha, penuh duka.

---

“Mengapa aku merasakan kesepian yang begitu berat malam ini? Kebenaran selalu melegakan, namun aku tidak bisa terus pura-pura memaksakan diriku kuat. Aku benar-benar sendiri dan sangat kesepian, ya Allah. Aku ingin menangis, tapi aku tak tahu lagi bagaimana caranya.”

Matanya berkaca-kaca. Dia merasakan sesak yang begitu dalam.

Saat malam tiba, dia menemukan semua kebenaran, pedih, yang berputar ulang, berulang. Indah menatap langit yang begitu pekat malam ini. Pekat, segelap hatinya, yang kian sulit menemukan cahaya.

“Bagaimana semua kenangan indah itu, ternyata bukanlah hidupku yang sebenarnya? Bapak, ibu. Mbak Desi yang sangat kusayangi….” Air mata itu, akhirnya mengalir, pelahan deras.

“Aku tidak bisa pura-pura, terus menganggap semuanya akan jadi biasa. Setelah aku tahu, aku bukan bagian dari diri mereka.” Dia menutup mata, dan akhirnya terlelap bersama dukanya. Dia menghabiskan malam, di balkon apartemennya, seperti biasa, setiap malam.

Perjalanan hidup tidak ada yang pernah tahu, bagaimana arahnya. Semua kebahagiaan yang tampak nyata hari ini, tidak selalu meyakinkan bahwa itulah nyata yang sebenarnya. Semua yang tampak indah, tidak selalu berarti indah. Berat, namun semua hati, harus selalu sedia dalam kelapangan.

Bab terkait

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 7

    Di depan ruangan rapat, tampak beberapa pria, anggota dewan direksi masih sibuk berbicara satu sama lain, “Kenapa sih, pak Dimas harus memilih pria itu? Kamu tidak dengar, bagaimana sifatnya yang angkuh?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, seharusnya mbak Indah yang menggantikan pak Dimas. Dia sangat kompeten, terbuka akan saran, dan komunikasinya selalu baik dengan seluruh staf dan Direksi,” sahut anggota lainnya. Ada apa ini? batin Aditya. Dia melihat Rakha berdiri tepat di belakang ke dua pria yang sedang membicarakan dirinya. Melihat keberadaan Aditya, Rakha seketika pergi dari tempat itu. “Masalah lagi,” ungkap Aditya, mendapati ekspresi Rakha yang menahan emosi. Hari ini, Rakha dan Aditya mulai berkantor di Big Land. Melewati meja kerja Asti, Aditya tak lupa menyapa dengan senyumannya. Namun Asti memberikan respons datar. Rakha yang mendapati sikap manis Aditya, menyeringai. “Menebar pesona di mana-mana. Yang ada kamu seperti pria murahan!” ucapnya, kesal. “Apa?” tany

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 8

    Dalam kondisi yang tertekan, Indah dikagetkan dering ponselnya. “Apa?!” jawab Indah, setelah menerima panggilan dari ponselnya. Asti seketika ikut panik, melihat ekpresi kaget Indah. Indah menutup telepon, dan segera melangkah keluar ruangannya. Dia berlari kecil dan memasuki ruangan bertuliskan Public Relations Devision. “Ada apa ini?” tanya Indah. “Memo dari pak Rakha, Bu,” jawab wanita di hadapannya, dan menyerahkan selembar dokumen. Wanita itu adalah staf Divisi PR. Indah membaca selembar dokumen yang diserahkan wanita itu. Sejenak Indah terpaku. “Bagaimana mungkin ini disebut keputusan, tanpa ada rapat bersama?” “Pak Rakha, minta saat ini juga di eksekusi, Bu.” Tanpa jawaban, Indah langsung keluar dari ruangan tersebut, masih memegang selembar kertas yang dibacanya tadi. Dia tampak berjalan menuju ruang Pimpinan. “Bisa dijelaskan maksud memo ini, Pak Rakha?” ucap Indah, setelah berada di hadapan R

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-22
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 9

    Memenuhi janji pada Aditya, Asti benar-benar menemani pria itu makan malam. Aditya tampak menjemput Asti di lobby Big Land. “Pak, boleh kita makan malam di sekitar pasar malam saja?” pinta Asti. “Boleh. Di sana kebetulan ada restoran langganan kami sekeluarga.” Asti tersenyum. “Oh ya. Kamu gak usah panggil Pak, Pak. Emangnya di kantor?” “Jadi, saya harus manggil apa, Pak?” “Tuh, Pak lagi. Panggil ‘Mas’ saja. Supaya lebih dekat kesannya.” Asti menarik bibir, tersenyum. Dia menghela napas. “Baik, Mas.” “Gitu dong.” Aditya menyalakan mobil dan segera meninggalkan halaman Big Land. Beberapa saat menelusuri jalan, akhirnya mereka tiba. “Ayo Asti,” ajak Aditya. “Ehm, Pak?” “Kok Pak lagi. Kita kan sudah sepakat?” Asti salah tingkah. Lidahnya begitu berat. “Iya, Mas.” “Gitu kan lebih enak. Iya ada apa, ada yang ingin kamu sampaikan?” “Boleh gak, untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-23
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 10

    Pagi yang tak biasa. Indah terlihat ada di rumah sakit. Dia sedang berbicara dengan Asti. “Terima kasih ya. Kamu langsung ke kantor saja. Saya sudah menghubungi pak Aditya. Hari ini saya menemani ibu dulu.” “Baik, Mbak.” Asti pun melangkah meninggalkan Indah yang masih berdiri di lobby rumah sakit. Semalam, dia dikagetkan kabar ibunya dibawa ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu menderita mag yang cukup serius. Sejak tinggal di apartemen, Indah sudah jarang menemui ibundanya. Kondisi yang membuatnya merasa sangat bersalah pada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang utuh. Walaupun kenyataan menegaskan bahwa tak ada ikatan darah antara mereka. Dari jarak yang tak begitu jauh, tampak kakaknya, Desi melangkah ke arahnya. Semakin dekat, makin jelas, rona kesedihan terpancar di wajah Desi. Dia langsung memeluk adiknya itu, erat. “Makasih kamu sudah menemani ibu semalam.” “Mbak Desi kok ngomong gitu?” “Maaf,” sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 11

    Menikmati masa cuti, membawa suasana berbeda bagi Indah. Dia tampak menikmati kebersamaan bersama Dona dan karyawan Liebe Box. Tak ada rasa canggung, yang ada suasana penuh kehangatan. “Bagaimana kesannya beberapa hari ini, menjadi bagian dari Liebe Box?” tanya Dona, saat mereka berdua bersantai di lantai dua, ruang kantor Liebe Box. “Keseruannya sulit aku gambarkan, Don. Aku kini menyadari alasanmu memilih di sini. Aku sangat menikmati segalanya.” “Ehm, kalau gitu, kami membuka pintu selebar-lebarnya, jika suatu hari nanti, kamu benar-benar bisa bergabung dengan kami. Terasa terhormat bisa mendapatkan seorang Manajer andal seperti kamu. Jelas, Liebe Box punya masa depan yang mengagumkan.” Indah menghela napas. “Jujur, beberapa waktu terakhir, aku pun mulai merasakan kejenuhan dengan aktivitasku di Big Land. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di saat-saat seperti ini. Aku ingin menciptakan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-25
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 12

    Suasana Big Land pagi ini, kembali gaduh. Lagi, seluruh anggota Direksi berkumpul di ruang rapat, dan Rakha menjadi pusat perhatian. Direktur Marketing tampak berdiri dan meletakkan beberapa koran di hadapan Rakha. Seperti biasa, Rakha tetap bersikap dingin. “Pimpinan Tower Electrics Mahakarya dan Big Land tampak mabuk-mabukkan di klab malam,” ucap salah satu anggota Direksi. Yang kemudian di sambung anggota lainnya. “Apakah Pak Rakha punya penjelasan atas berita ini?” “Ini memang benar, apa yang perlu saya jelaskan?” sahut Rakha, masih dengan sikap cueknya. “Ini jelas masalah bagi kredibilitas Big Land. Anda mungkin bebas berbuat sesuka hati, selama di Tower Electrics, tapi ingat, anda sekarang bagian dari Big Land. Anda perlu tahu, nama besar Big Land, kami tidak dapatkan dengan mudah. Jadi tolong berhati-hati bersikap!” Salah satu anggota Direksi tampak mulai menaikkan volume su

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-26
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 13

    Sejak makan malam terakhir, hubungan Aditya dan Asti kian berjarak. Tak ada lagi waktu keduanya walaupun sekadar ngobrol. Kondisi perusahaan yang memburuk, ditambah hubungan Indah dan Rakha yang sama buruknya, turut mengganggu hubungan keduanya. Saat Aditya berusaha mendekat, Asti akan setiap saat menjaga jarak. Terlalu banyak perbedaan, makin membuat Asti menghindar. Menunggu pesanan ojek online, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapan Asti. Dan seperti biasa, sosok yang ada di dalam mobil, tidak lain adalah pria yang dihindarinya. Asti menunduk, berusaha tidak menatap ke arah Aditya. “Asti, saya mau ngobrol, bisa?” pinta Aditya. “Tidak ada lagi, yang harus dibicarakan Pak,” sahut Asti. Aditya menghela napas. Sebutan ‘Pak’, terasa sangat menyakitkan. “Please. Setelah ini, saya tidak mengganggumu lagi.” Mata pria itu berkaca-kaca. Asti kembali tidak bisa berkata-kata. Dia akhirnya menuruti permintaan Aditya

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-27
  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 14

    Hari baru, sebuah kejutan hadir. Dimas, sudah hadir di Big Land. Sejak pagi, beliau sudah ada di ruangannya. Ekspresi tak biasa, kembali menghiasi wajah pria paruh baya itu. Koran dengan headline persoalan Rakha, menjadi halaman yang terus saja ditatapnya. “Om Dimas sudah kembali?” Rakha dan Aditya tersentak, setelah mendapati mobil Dimas, sudah terparkir di basement. “Siapkan dirimu, Bos!” ucap Aditya, memperingatkan. Namun, seperti biasa, Rakha bersikap santai, dan berjalan menuju lantai sepuluh Big Land. Memasuki ruang Pimpinan, keduanya langsung disambut tatapan dingin Dimas. “Om kenapa gak kasih kabar? Kami bisa jemput ke bandara,” ucap Aditya, mencairkan suasana. Dimas melemparkan koran yang dipegangnya, ke badan Rakha, yang masih berdiri terpaku tak jauh dari darinya. “Om tidak menyangka, menitipkan Big Land padamu, menjadi sebuah dosa besar. Om berpikir kamu sudah berubah. Te

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-28

Bab terbaru

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 40

    Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 39

    Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 38

    Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 37

    Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 36

    Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 35

    Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 34

    Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 33

    Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”

  • Setiap Momen adalah Kamu   Bab 32

    Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar

DMCA.com Protection Status