Aditya terlihat terburu-buru menuju lantai sepuluh Big Land. Staf yang melihat tingkahnya, terheran-heran. Mau gimana lagi, kalau dia marah, bisa jadi aku kehilangan pekerjaan, gumamnya.
“Mana dokumen yang aku perintahkan kemarin?” tanya Rakha, membelalak. “Dokumen?” tanya Aditya, bingung. “Ehm, kalau kamu tidak mampu bekerja profesional, mending kamu tidur di rumah!!!” ucap Rakha, dongkol.
“Tunggu dulu Bos. Dokumen yang mana?”
Rakha menarik napas panjang. “Dokumen yang diserahkan om Dimas tentang proyek Big Land yang harus aku pelajari. Jangan bilang, kamu hilangkan?!”
Aditya terdiam. Dia tampak berpikir.
“Oh itu. Aku ingat, aku singgah di toilet dan aku letakkan di meja tak jauh dari ruang rapat. Kalau gak salah, di depan ruangan Direktur Keuangan.”
“Jadi?”
“Oke. Aku ambil sekarang!”
Berurusan dengan pria menakutkan itu memang sebuah pilihan buruk. Aditya terus saja berbicara sendiri, sambil berjalan menuju ruangan Direktur Keuangan.
“Selamat siang, Pak?” sapa Asti, mendapati Aditya terhenti di depan ruangan Direktur Keuangan. Pria itu lantas berbalik ke meja sekretaris.
Aditya Utama, batin Asti, membaca id card yang tergantung di leher jenjang pria itu.
Aditya terdiam. Dia berubah kaku, mendapati Asti berada tepat di hadapannya. Tanpa kedip, matanya terus menatap wajah Asti. “Pak?” Pria itu masih bergeming. “Pak Aditya?!” Asti sekali lagi mencoba menyadarkan Aditya yang masih saja diam. Wanita itu berbalik salah tingkah, dengan tatapan pria itu yang terus menerus.
Ya Tuhan, wanita ini. Mengapa jantungku, tiba-tiba berdetak tak karuan seperti ini? gumamnya, seraya memegang dada kirinya.
Kenapa dia bisa tahu namaku?
“Pak Aditya!!!” Asti mengeraskan suaranya. Barulah pria itu keluar dari lamunannya. “Iya, ya,” ucap Aditya, dengan melebarkan senyumannya.
Ada apa dengan pria ini?
“Aku ajak makan siang, boleh?” Asti kembali tersentak. “Ini, Pak?” jawab Asti menunjuk beberapa dokumen di tangannya. “Biar aku yang izin ke atasan kamu, gimana?” sambung pria itu.
Tanpa menunggu jawaban Asti, Aditya lantas masuk ke ruangan Direktur Keuangan. Tak lama, pria itu sudah kembali dengan wajah sumringah. “Ayo,” ajaknya.
“Tapi, Pak—“
Aditya mengambil tas wanita itu, dan meneruskan langkahnya. Tanpa menghiraukan sikap Asti yang masih terpaku, kaget, dengan situasi yang sedang terjadi.
Beberapa langkah menjauh, Aditya menoleh dan mendapati Asti masih terdiam di tempatnya. Dia pun kembali melambaikan tangannya. Akhirnya Asti, mendekat dan berjalan mengikutinya, dengan perasaan tak tentu.
Di dalam mobil, Asti masih terlihat canggung. Dia mengambil ponsel, dan mulai mengetik pesan.
Asti : Bu, saya mohon izin.
Indah : Nikmati makan siang kamu.
Asti : Baik Bu.
Asti menarik napas panjang. Dia belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi padanya. Baru bertemu dengan Aditya, dan kini, dia harus bersama dengan pria itu.
Di sisi berbeda, Aditya terus tersenyum manis. Dengan ujung mata, terus mencari celah menatap Asti. Bunyi ponsel tiba-tiba meramaikan kecanggungan. Mata Aditya melotot mendapati panggilan telepon. Rakha? Tidak bisa sedikit saja membuatku tenang, ya? gumamnya.
“Halo, Bos?” ucap Adit, mengangkat telepon. “Kamu di mana?” tanya Rakha.
“Aku izin makan siang dulu ya. Boleh, kan?”
“Dokumen dari om Dimas?”
“Iya, dari makan siang, aku langsung bawa ke kantor.”
“Makan siang? Tumben banget?”
“Ya, improvisasi boleh, kan?”
“Ha? Ya sudah, ingat jam istirahat hanya satu jam!”
“Ya elah, iya iya!” Sambungan telepon pun berakhir. Tampak wajah Adit, kesal dengan kalimat Rakha.
Tumben banget monster itu jadi pengertian, Aditya membatin.
Asti masih saja memasang wajah bingung. Mobil pun berhenti di sebuah restoran.
“Ayo,” ajak Aditya dengan senyuman yang begitu mekar. Sebaliknya, senyuman Asti masih saja sangat dipaksakan. Baru kali ini, dia meninggalkan kantor bersama seorang pria.
Selama empat tahun bekerja di Big Land, dia menghabiskan waktunya mengurusi makan siang Indah, atasannya. Sejak masih di bagian Akuntansi, sampai Indah dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Asti terus setia menjadi sekretaris, yang sangat diandalkan. Tidak berada di kantor saat makan siang, terasa aneh buatnya.
Aditya bersikap begitu manis, menarik kursi, dan mempersilakan Asti duduk. “Terima kasih, Pak,” ucap Asti, makin canggung. Perasaan aneh bercampur, entah apa yang harus dia lakukan. Sikap tak biasa Aditya, benar-benar mengusiknya.
Aditya terus saja tersenyum, masih dengan senyuman yang sama. Ya Tuhanku, ada apa ini? guman Asti, tidak tenang. Dia terus saja menggoyang-goyangkan kakinya.
Pelayan datang bersama buku menu di tangannya. Aditya serius membaca dan melihat menu, sedangkan Asti masih bersama kebingungannya.
“Mas, aku pesan ini, ya?” Aditya tampak menunjuk satu menu makanan dan satu minuman. “Asti?” Aditya berbalik menatap Asti. “Apa saja, Pak?”
Aditya tertawa. “Gak ada menu apa saja.” Asti makin canggung. “Aku samain aja?” jelas Aditya.
“Iya Pak,” jawab Asti, dengan senyuman yang ditarik.
Pelayan berlalu setelah Aditya menyelesaikan pesanannya.
“Ehm,” Aditya tampak ingin memuai obrolan. Namun sikapnya jelas grogi. Asti memberikan respons yang sama. Masih tersenyum, dipaksakan.
Lama dalam hening, suasana kembali jeda oleh kedatangan pelayan bersama makanan, minuman yang sebelumnya telah di pesan. Akhirnya berlanjut makan siang. Tak lama, suasana kembali seperti di awal tadi.
Setelah Aditya mendapati Asti telah menyelesaikan makan siangnya, Aditya akhirnya menemukan keberanian memulai obrolan. “Asti sudah lama dengan mbak Indah?” Akhirnya pria itu mendapatkan kalimat pembuka. “Iya Pak, sudah lama.”
Suasana kembali canggung.
Ya Tuhan, jantungku, benar-benar tidak bisa kuajak kompromi.
“Pak Aditya, tidak apa-apa?” tanya Asti, mendapati sikap Adit yang gelisah. “Iya, gak apa-apa. Ehm, gak tau, aku merasa grogi banget bertemu kamu.”
Kembali, kalimat Aditya membuat Asti salah tingkah. Dia kembali menelan ludah. Jantungnya pun, berdebar tak jelas.
Suasana berbeda tampak di Big Land lantai sepuluh ruangan Direktur Keuangan dan di Tower Electrics Mahakarya ruangan Pimpinan.
“Aku merasa aneh, tanpa Asti di siang ini,” ujar Indah. Pikiran yang sama juga menghampiri Rakha, di tempat yang berbeda.
“Baru kali ini, aku merasa kehilangan Aditya,” gumam Rakha, sambil tersenyum memikirkan sahabatnya itu.
Kembali ke makan siang pertama Aditya dan Asti.
“Asti, boleh aku bertanya sesuatu?” Aditya kembali memulai kalimatnya. “Iya Pak, silakan.”
“Kamu udah punya calon suami?”
Lagi, Asti dibuat tersentak. Senyumannya kembali tertarik, “Belum ada, Pak.”
“Kalau begitu, boleh dong, ya?”
“Boleh apa Pak?” Asti merasa jantungnya makin berdetak cepat. “Kalau aku melamar kamu?” sambung Aditya.
“Melamar?!!” sahut Asti, kaget. “Iya, aku melamar kamu?”
“Pak Aditya, sadar?”
“Iya, aku sadar.”
Asti kembali berusaha tenang, dengan tetap bersama senyuman yang begitu sulit dirangkai.
“Pak, kita baru bertemu sejam yang lalu, kemudian makan siang….” Asti mengambil jeda. “Terlalu cepat Pak, maaf.”
Aditya memberikan senyuman yang berbeda. Senyuman kecewa, atas jawaban Asti. “Tapi, sesuatu yang baik kan, sebaiknya di segerakan?”
“Iya Pak, benar. Tapi terburu-buru juga bukan sesuatu yang baik.”
Aditya menopang dagu kanan dengan tangan kanan sambil menatap Asti, terus tersenyum. Yang jelas membuat Asti kembali salah tingkah, dan membuang pandangannya ke arah yang berbeda.
“Kenapa ya, kok aku baru bertemu kamu sekarang? Aku baru tahu, di Big Land, ada wanita semanis kamu.”
Lagi, Asti tidak bisa lagi menyembunyikan wajahnya yang memerah, malu. Dia tertunduk, berusaha menahan senyum.
Aditya masih terus menatap Asti, dengan senyuman tanpa henti.
“Pak,” ucap Asti, sambil menunjukkan waktu di jam tangannya. Aditya menarik napas, kecewa. “Ternyata sejam terlalu singkat.”
Asti beranjak lebih dahulu, diikuti Aditya. Mereka lantas meninggalkan ruangan itu, menuju parkiran.
Apakah aku jatuh cinta? Aditya terus membatin, mempertanyakan jantungnya yang terus saja berdetak lebih cepat. Apakah benar, ada cinta pandangan pertama?
Suasana perjalanan kembali tanpa suara.
Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aditya terus saja tersenyum sendiri, sedangkan Asti masih diselimuti kebingungan dengan situasi yang baru saja ditemuinya.
Sampai di Big Land, pria itu mengantarkan Asti sampai di ruangannya, dan dia mengambil dokumen yang tertinggal tadi, dan segera berlalu.
“Asti, gimana?” Senyuman Indah menyambut kedatangan Asti. Rona wajah memerah, Asti berusaha tampak stabil, “Iya Bu.”
“Kok iya?” Indah tertawa, melihat tingkah Asti yang justru canggung. “Ibu Indah sudah makan siang?”
“Belum. Gak tahu, saya gak selera makan sendiri.”
“Saya siapkan ya Bu. Ibu harus makan siang.”
Indah menggangguk.
Tanpa kalimat lanjutan, Asti pun berlalu, segera menyiapkan makan siang untuk atasannya itu.
“Saya memang sudah bergantung padamu, Asti. Saya tidak tahu, akan seperti apa nantinya, jika kamu tidak lagi di sini,” sadar Indah, melihat perhatian Asti yang tidak pernah pudar.
Beberapa menit berlalu, Asti sudah kembali bersama beberapa menu makan siang untuk atasannya. Dia langsung menyajikannya di atas meja besar yang biasa digunakan untuk rapat.
Indah mengambil tempat, dan segera menyantap makanan yang tampak lezat itu. Melihat tingkah Asti, Indah tersenyum.
“Ehm, ada yang lagi jatuh cinta?” tebak Indah, mendapati Asti tersenyum sendiri. Asti tersentak. “Eh, gak Bu.”
Indah tersenyum lebar. “Kalau menurut saya, pak Aditya itu calon suami yang ideal buat kamu.”
“Ha?” Asti kembali dibuat kaget. Dia kembali menarik napas panjang.
Bagaimana bisa, ibu Indah bisa tahu, pak Aditya tadi melamar aku?
“Kamu tidak usah kaget begitu. Saya cuma nebak kok,” sambung Indah, masih tersenyum melihat tingkah Asti.
“Bu Indah, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Iya, silakan.”
“Apakah wajar, apabila seorang pria langsung mengatakan kata serius, di pertemuan pertama?”
Indah kembali tersenyum, akhirnya membuat wajah Asti kembali memerah. “Kalau menurut saya, itu wajar tapi tidak biasa.”
“Maksud Ibu, tidak biasa?”
Indah meletakkan sendok. Pertanyaan Asti terdengar lebih serius.
“Banyak pria yang mengatakan suka pada seorang wanita, tapi mereka butuh waktu yang panjang untuk bisa berani mengatakan kata ‘serius’. Itu maksud saya, tidak biasa. Jika pak Aditya bersikap sebaliknya dari hal yang biasa, berarti dia pria yang unik. Layak kamu pertimbangkan.”
“Jujur Bu, saya kadang kurang percaya dengan cinta pada pandangan pertama,” sahut Asti.
Indah mengubah posisi duduknya. Dia sudah menyelesaikan makan siangnya. Dia mendekat ke posisi Asti, yang sebelumnya sedikit jauh.
“Cinta pada pandangan pertama. Ehm, ya sebagian orang berpikiran seperti kamu. Tapi selebihnya ada juga yang percaya, bahwa itulah cinta sejati.”
“Jadi apa yang saya harus lakukan sekarang, Bu?”
Indah tertawa, kemudian melanjutkan, “Dijalani saja. Emangnya gimana tanggapan kamu tentang pak Aditya?”
“Ya, dia pria yang menarik Bu,” jawab Asti, ragu. “Jalani saja. Itu menurut saya.”
“Bu, apakah saya bisa minta tolong?”
“Apa itu?”
“Saya meminta pertimbangan Ibu tentang pak Aditya. Saya sepenuhnya menerima, bagaimanapun pendapat Ibu.”
Ekspresi Indah berubah serius. “Asti, kamu yang akan jalani. Kamu keliru kalau berpandangan seperti itu.”
“Saya tidak punya siapa pun selain ibu yang melahirkan, dan Ibu Indah sebagai orang terdekat saya,” ujar Asti, matanya berkaca-kaca.
Indah menarik napas panjang. “Baiklah, saya akan membantu sebisa saya.”
“Terima kasih, Bu.”
Asti berbalik dan segera meninggalkan ruangan Indah, sekaligus membersihkan peralatan makan yang masih terpajang di meja.
“Asti, bagaimana kamu bisa mempercayakan hal ini, pada seseorang yang berulang kali gagal?” Indah kembali berbicara dengan dirinya sendiri. Dia berusaha stabil dan kembali fokus pada dokumen yang menumpuk di hadapannya.
----
Aditya tiba di ruangan Rakha, beserta dokumen yang baru saja dibawanya dari Big Land. Rakha tampak duduk di meja kerjanya, tatapannya serius.
Namun, di sisi lain, Aditya memasang ekpresi kontra, senyumannya masih bertahan di sana. Dia tak lagi terpengaruh dengan sikap Rakha yang memandang tajam ke arahnya.
Dokumen itu langsung dia serahkan tanpa satu kalimat pun. Dia lantas duduk di hadapan Rakha. Tanpa kalimat pembuka, Aditya langsung membahas hal yang berbeda.
“Menikah?!” Rakha seketika terhentak, dengan ucapan Aditya. “Iya, aku merasa sudah berada di waktu terbaik merencanakan pernikahan”.
Dokumen yang dipegangnya, tak sadar terlepas dan terjatuh di lantai. “Kamu baik-baik saja, kan? Kamu tidak mabuk?” tanya Rakha, panik.
Aditya tersenyum. “Aku sadar, Rakha. Selama ini, aku tidak memikirkan pernikahan, karena memang aku belum menemukan seseorang yang membuatku percaya diri mengatakan ‘siap’.”
“Jadi, kamu sudah menemukan orangnya?” sambung Rakha. “Kayaknya sih gitu.”
Rakha menarik napas panjang. Pria yang biasanya cerewet dan menentang kelakukan Aditya, tiba-tiba lebih tenang mendengar keputusan sahabatnya itu.
“Siapa sih?” tanya Rakha, pelan. “Aku menemuinya di Big Land.”
“Ha? Big Land?”
Jangan-jangan wanita itu? pikir Rakha.
“Iya. Selama ini aku tidak percaya, cinta pada pandangan pertama. Tapi aku harus jujur, aku benar-benar jatuh cinta padanya.”
Rakha seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Bagaimana kamu bi—“
“Aku jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta,” sambung Aditya.
Kamu sudah gila Aditya! Bagaimana mungkin kamu jatuh cinta pada wanita seperti itu. Kasar, ceroboh!
“Aku sudah melamarnya.”
Rakha membuka matanya lebar-lebar. Tak percaya apa yang kembali didengarnya. “Kamu kayaknya perlu ke psikiater. Baru saja bilang jatuh cinta, sekarang sudah melamar!!!”
Aditya terus saja tersenyum. Dia abai pada ucapan Rakha. “Senyumannya benar-benar membuatku susah melupakannya, keramahannya. Aku benar-benar menyesal, mengapa baru sekarang aku mengenalnya.”
“Gila kamu!!!” Rakha tak sanggup lagi mendengar ocehan sahabatnya. Dia pun berlalu meninggalkan ruangan Aditya.
Aditya terdiam sendiri.
Senyuman tidak lepas dari wajah manisnya yang dihiasi kumis dan jenggot tipis. Parasnya sangat berbeda jauh dengan Rakha. Pria ini memiliki mata sipit, wajah sedikit tirus dan senyumannya selalu terlihat tulus.
“Bagimana mungkin pertemuan pertama, membuatku langsung yakin untuk melamarnya? Apakah memang aku sudah gila?” ucapnya, lagi.
Sore tiba. Indah singgah di sebuah Coffee Shop, tak jauh dari kantornya. Sebuah senyuman hangat, menyambutnya setelah masuk ke dalam bangunan mungil berwarna hijau putih itu.Seorang wanita seusianya mendekat dan langsung memeluknya. “Makasih udah datang,” ujarnya, tersenyum manis. “Haruslah, Don. Kita juga udah lama gak ngopi bareng, kan?” jawab Indah, lantas duduk. “Aku sediakan dulu minuman kamu, ya?” sambung Dona.Indah memberi respons, menggangguk. Dia lantas memperhatikan suasana tempat itu. Enak dan sangat nyaman. Tak lama, Dona sudah hadir bersama secangkir hot americano. “Ini salah satu menu terbaik kami di sini. Semoga kamu suka,” ujar Dona sambil meletakkan minuman itu di hadapan Indah.Tanpa jawaban, Indah lebih dulu mencium aroma dari minuman hangat itu. “Ehm, harum banget.”Dona mempersilakan Indah untuk lanjut mengesap. Indah pun, pelahan meneguk minuman itu.“Salah satu kopi terbaik yang pernah aku cicipi,” puji Indah. “Ini jujur kan, bukan gombal?” tanya Dona.Indah
Suasana haru belum beranjak dari percakapan Indah dan Dona. Keheningan tercipta, sembari ke dua wanita itu menenangkan diri.“Oke, cukup dari aku,” sambung Indah, dengan senyuman hangatnya, menguatkan. “Aku seperti kehilangan semangat untuk bercerita,” ujar Dona.“Gak ada alasan, kamu wajib cerita. Aku ke sini udah penasaran banget. Iya Don, ya?” pinta Indah.Dona tersenyum. Dia memulai cerita.“Namanya Yusuf Abdullah. Kami satu divisi sebelumnya, sebelum dia jadi pimpinan di divisi kami.”Indah terlihat mendengar, serius.“Aduh gimana mulainya?”“Lho kan udah mulai?”“Aku bingung, mau cerita yang mana.”“Cerita semua. Jangan ada yang ditutup-tutupi!” ujar Indah, memaksa.“Ya, oke. Awalnya, aku tidak terlalu sadar akan kehadirannya. Karena, kamu kan tahu, saat itu aku fokus membangun karier, mengurus Syifa. Kehadiran pria, sama sekali jauh dari rute jalanku. Sampai akhirnya, aku ngobrol dengan atasanku saat itu. Yang kebetulan dekat banget dengan aku, Mbak Nia.“Dia menceritakan, mas
Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land. “Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya. “Iya Bu, gak apa-apa.” “Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya. Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu. Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian. Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya. “Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya. “Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa b
Di depan ruangan rapat, tampak beberapa pria, anggota dewan direksi masih sibuk berbicara satu sama lain, “Kenapa sih, pak Dimas harus memilih pria itu? Kamu tidak dengar, bagaimana sifatnya yang angkuh?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, seharusnya mbak Indah yang menggantikan pak Dimas. Dia sangat kompeten, terbuka akan saran, dan komunikasinya selalu baik dengan seluruh staf dan Direksi,” sahut anggota lainnya. Ada apa ini? batin Aditya. Dia melihat Rakha berdiri tepat di belakang ke dua pria yang sedang membicarakan dirinya. Melihat keberadaan Aditya, Rakha seketika pergi dari tempat itu. “Masalah lagi,” ungkap Aditya, mendapati ekspresi Rakha yang menahan emosi. Hari ini, Rakha dan Aditya mulai berkantor di Big Land. Melewati meja kerja Asti, Aditya tak lupa menyapa dengan senyumannya. Namun Asti memberikan respons datar. Rakha yang mendapati sikap manis Aditya, menyeringai. “Menebar pesona di mana-mana. Yang ada kamu seperti pria murahan!” ucapnya, kesal. “Apa?” tany
Dalam kondisi yang tertekan, Indah dikagetkan dering ponselnya. “Apa?!” jawab Indah, setelah menerima panggilan dari ponselnya. Asti seketika ikut panik, melihat ekpresi kaget Indah. Indah menutup telepon, dan segera melangkah keluar ruangannya. Dia berlari kecil dan memasuki ruangan bertuliskan Public Relations Devision. “Ada apa ini?” tanya Indah. “Memo dari pak Rakha, Bu,” jawab wanita di hadapannya, dan menyerahkan selembar dokumen. Wanita itu adalah staf Divisi PR. Indah membaca selembar dokumen yang diserahkan wanita itu. Sejenak Indah terpaku. “Bagaimana mungkin ini disebut keputusan, tanpa ada rapat bersama?” “Pak Rakha, minta saat ini juga di eksekusi, Bu.” Tanpa jawaban, Indah langsung keluar dari ruangan tersebut, masih memegang selembar kertas yang dibacanya tadi. Dia tampak berjalan menuju ruang Pimpinan. “Bisa dijelaskan maksud memo ini, Pak Rakha?” ucap Indah, setelah berada di hadapan R
Memenuhi janji pada Aditya, Asti benar-benar menemani pria itu makan malam. Aditya tampak menjemput Asti di lobby Big Land. “Pak, boleh kita makan malam di sekitar pasar malam saja?” pinta Asti. “Boleh. Di sana kebetulan ada restoran langganan kami sekeluarga.” Asti tersenyum. “Oh ya. Kamu gak usah panggil Pak, Pak. Emangnya di kantor?” “Jadi, saya harus manggil apa, Pak?” “Tuh, Pak lagi. Panggil ‘Mas’ saja. Supaya lebih dekat kesannya.” Asti menarik bibir, tersenyum. Dia menghela napas. “Baik, Mas.” “Gitu dong.” Aditya menyalakan mobil dan segera meninggalkan halaman Big Land. Beberapa saat menelusuri jalan, akhirnya mereka tiba. “Ayo Asti,” ajak Aditya. “Ehm, Pak?” “Kok Pak lagi. Kita kan sudah sepakat?” Asti salah tingkah. Lidahnya begitu berat. “Iya, Mas.” “Gitu kan lebih enak. Iya ada apa, ada yang ingin kamu sampaikan?” “Boleh gak, untuk m
Pagi yang tak biasa. Indah terlihat ada di rumah sakit. Dia sedang berbicara dengan Asti. “Terima kasih ya. Kamu langsung ke kantor saja. Saya sudah menghubungi pak Aditya. Hari ini saya menemani ibu dulu.” “Baik, Mbak.” Asti pun melangkah meninggalkan Indah yang masih berdiri di lobby rumah sakit. Semalam, dia dikagetkan kabar ibunya dibawa ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu menderita mag yang cukup serius. Sejak tinggal di apartemen, Indah sudah jarang menemui ibundanya. Kondisi yang membuatnya merasa sangat bersalah pada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang utuh. Walaupun kenyataan menegaskan bahwa tak ada ikatan darah antara mereka. Dari jarak yang tak begitu jauh, tampak kakaknya, Desi melangkah ke arahnya. Semakin dekat, makin jelas, rona kesedihan terpancar di wajah Desi. Dia langsung memeluk adiknya itu, erat. “Makasih kamu sudah menemani ibu semalam.” “Mbak Desi kok ngomong gitu?” “Maaf,” sa
Menikmati masa cuti, membawa suasana berbeda bagi Indah. Dia tampak menikmati kebersamaan bersama Dona dan karyawan Liebe Box. Tak ada rasa canggung, yang ada suasana penuh kehangatan. “Bagaimana kesannya beberapa hari ini, menjadi bagian dari Liebe Box?” tanya Dona, saat mereka berdua bersantai di lantai dua, ruang kantor Liebe Box. “Keseruannya sulit aku gambarkan, Don. Aku kini menyadari alasanmu memilih di sini. Aku sangat menikmati segalanya.” “Ehm, kalau gitu, kami membuka pintu selebar-lebarnya, jika suatu hari nanti, kamu benar-benar bisa bergabung dengan kami. Terasa terhormat bisa mendapatkan seorang Manajer andal seperti kamu. Jelas, Liebe Box punya masa depan yang mengagumkan.” Indah menghela napas. “Jujur, beberapa waktu terakhir, aku pun mulai merasakan kejenuhan dengan aktivitasku di Big Land. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di saat-saat seperti ini. Aku ingin menciptakan
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum
Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh
Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t
Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud
Rumah Sakit Pagi-pagi sekali, Indah sudah melangkah memasuki lobby rumah sakit. “Indah?” terdengar suara memanggil dari jarak yang tidak begitu jauh. Indah menoleh ke sumber suara. “Rakha,” ujarnya, tersenyum menyambut langkah pria itu mendekat. Senyumannya, guman Rakha. “Kita ketemu lagi. Ada yang penting banget kayaknya, ya?” sambung Rakha, berjalan di samping Indah. “Iya, hari ini saya ada meeting di ET. Tapi sebelumnya, aku pamit ke Asti.” “Pamit?” ujar Rakha, tidak mengerti. “Aku belum menyampaikan padanya tentang pengunduran diriku dari Big Land. Bagaimanapun, Asti adalah orang yang paling dekat denganku di perusahaan.” Rakha menggangguk, paham. “Apakah Big Land, akan baik-baik saja?” tanya Rakha. “Big Land selalu lebih besar dari seluruh karyawannya. Setiap saat, karyawannya akan berganti, tapi Big Land akan selalu menjadi perusahaan besar yang tepercaya,” jawab Indah, mencoba baik-baik saja. Namu
Indah berdiri di lobby apartemen Aditya. Dia terus mengecek jam tangannya. Menunggu kedatangan Rakha, mulai dirasanya menjemukan. Sosok pria berkaos oblong hitam, terlihat berlari dari parkiran. “Maaf.” Rakha terengah-engah. “Aku pikir kuncinya tadi udah aku serahkan, ternyata masih tersimpan di sakuku,” ucapnya, sambil mengarahkan petugas menuju lantai apartemen Aditya. Indah hanya tersenyum. Akhir-akhir ini, dia memang sedikit bicara. Dia mengikuti langkah Rakha berjalan beriringan dengan dua petugas apartemen yang membantu mengangkut barang-barang Asti. “Terima kasih, Pak,” ucap Rakha, setelah ke dua pria itu meletakkan barang-barang di ruang tamu apartemen Aditya. “Makasih, Pak,” sambung Indah, dengan senyuman hangat. Beberapa detik terpaku. Indah baru menyadari tujuannya ikut ke apartemen Aditya. Aku mau ngapain di sini. Gak mungkin masuk ke kamar Aditya juga, kan? pikirnya. “Indah?”
Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara. “Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon. “Iya.” “Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona. Indah tidak merespons. “Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.” Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona. “Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!” Indah bergeming. “Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?” Lagi, tidak ada jawaban. “Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu kar