Gayatri dan sekretaris berlarian menuju Eliot, Rachel langsung menekan tombol panggil dalam keadaan darurat yang terdapat di kepala ranjang rawat pasien. Gayatri menarik selimut dan menekan sumber darah keluar dengan deras, sedangkan sekretaris membantu Eliot bangun untuk kembali dibaringkan. “Kamu mau apa tadi kok sampai di lantai?” tanya Gayatri tanpa melepas tekanan tangannya pada punggung tangan Eliot. “Ke kamar mandi tapi tiba-tiba keram kakinya dan keserimpet selimut.” Eliot meringis kesakitan kala kakinya diluruskan oleh sekretaris. “Bengkak Pak.” Sekretaris menunjuk pergelangan kaki kanan Eliot yang bengkak.Eliot mengangguk. “Sakit sekali itu.” Dokter datang dengan seorang perawat, memeriksa tangan dan kaki Eliot. Gayatri memperhatikan dengan wajah tegang saat kaki itu semakin bengkak dan berkata pada perawat agar membawanya CT dengan menjelaskan kemungkinan ada retak atau semacamnya.
“Oh ada tamu dari jauh.” Gayatri berjalan santai masuk mendekati ranjang rawat Eliot. “Gayatri dengarkan aku dulu,” tukas Eliot. Gayatri tersenyum pada Eliot dan meletakan barang di tangan ke meja samping sofa, kemudian mengambil selembar tisu untuk kemudian menghapus jejak basah pada bibir Eliot karena ulah Risa. “Ada perlu apa ke sini?” tanya Gayatri santai.Risa mendengus menyaksikan itu semua. “Kamu pikir aku menebar bakteri?” “Siapa yang tahu riwayat kesehatan kamu.” Gayatri mengedikan bahunya. “Kamu tahu kalau yang memulai mencium itu Eliot? Dia menikmatinya juga.” Dengan tidak tahu malunya Risa berkata seperti itu.Gayatri menoleh ke arah Eliot saat lengannya ditarik pelan. “Biar aku yang bicara ya.” Gayatri melepas cekal tangan Eliot pada lengannya dan menepuknya sekali. “Jangan mempermalukan diri kamu sendiri dengan bertingkah murahan, Risa,” tandas Gay
“Terima kasih ya,” ucap Eliot dari seberang panggilan telepon. “Untuk?” tanya Gayatri tidak tahu terima kasih untuk apa. “Yang kamu kirimkan,” jawab Eliot. Gayatri terdiam beberapa saat mengingat apa yang ia kirimkan pada Eliot. Belum ia menjawab, namanya dipanggil sang fotografer. “Nanti aku hubungi ya kalau sudah selesai,” bisik Gayatri sebelum mematikan panggilan. Gayatri sendiri menjadi lupa menghubungi Eliot saat tiba-tiba kedatangan Manuel dan mengajaknya mengopi santai di tengah hiruk pikuk keramaian ibu kota. Manuel mengatakan jika ia sudah tidak bekerja pada hotel Risa di Bali semenjak Risa pulang dan menggegerkan orang tuanya karena mabuk-mabukan dan mengumpati nama Gayatri hingga berseru ingin membunuh Gayatri. “Masalahnya panjang dan rumit rupanya ya, aku langsung mengundurkan diri begitu Risa mengatakan kamu yang enggak-enggak ke seluruh karyawan hotel dan meneba
“Tunggu! Kenapa buru-buru, kamu bahkan belum lihat acara sampai selesai.” Risa menahan lengan Eliot agar tidak beranjak dari sana. “Berhenti bersikap tidak tahu malu, Risa. Aku menghormati kamu terlebih orang tua kamu, aku tidak ingin sampai bersikap kasar sama kamu ya Risa,” ancam Eliot pelan. “Ada apa Pak Eliot, Risa?” Pemilik acara menghampiri meja Eliot kala mendapat bisikan ada ketegangan di meja sang Milyader. “Tidak ada apa-apa Pak Gerry, mohon maaf saya sama Gayatri harus pamit sekarang. Tadi dihubungi kalau putri kami sedang kurang enak badan, kami harus pulang. Selamat untuk peresmiannya, saya yakin akan berkembang pesat kelak.” Eliot menyalami pemilik acara. “Terima kasih Pak Eliot. Saya mengamini doa baik tentu saja, oh terima kasih juga hadiahnya aduh repot sekali sampai si bungsu saya dapat juga di rumah. Silakan-silakan, salam untuk Pilar.” Gerry mempersilakan Eliot dan Gayatri meninggalkan rua
“Jangan buka pintu sebelum aku bilang aman,” pesan Eliot. Eliot turun dari mobil dan meminta Gayatri tunggu di mobil sementara di belakang mereka dua petugas keamanan yang menjaga gerbang depan perumahan sudah turun memeriksa kediaman rumah Eliot setelah dihubungi Gayatri. “Iya, hati-hati.” Gayatri langsung menghubungi Pilar setelah Eliot turun, kediaman Eliot cukup terang di teras bahkan samping rumah juga terang. “Sayang, Pilar kamu di mana? masih di kamar? iya papa kamu sedang mengecek sama sekuriti. Kamu tunggu dulu ya, jangan buka pintu pokoknya. Jangan matikan telepon Mama juga ya. Kalau takut, kita mengobrol saja.” Gayatri meremas ponselnya melihat wajah pucat Pilar dari layar ponselnya. “Iya Ma, aku di kolong meja belajar. Papa bawa senjata apa enggak? maksudnya balok atau pemukul kasti buat jaga diri. Takutnya orang di luar rumah bawa senjata,” ucap Pilar pelan. Rasa ingin turun dar
“Kamu enggak sekolah?” tanya Eliot melihat Pilar justru mengenakan celana pendek jeans yang jarang Eliot lihat. “Enggak pakai celana sependek itu keluar ya,” tambah Eliot bahkan sebelum Pilar menjawab pertanyaannya. “Iya Papa, dipakai di rumah saja. Dan hari ini aku enggak masuk, Papa lupa kalau sekarang tanggal merah?” jawab Pilar geli.Eliot menepuk dahinya dengan desah panjang. “Iya Papa lupa. Kamu kalau masih takut, sama mama kamu saja ya dulu. Papa harus mengurusi ke kantor polisi. Ceritanya nanti kamu bisa dengarkan dari mama kamu.” Pilar mengangguk dengan mulut penuh sereal dan susu, menyaksikan papanya sarapan lahap dengan nasi goreng wangi semerbak mentega. “Papa aku mau sesendok.” Pilar membuka mulutnya dan Eliot menyuapi segera. “Kamu mau juga? Mama ambilkan ya.” Gayatri membelai kepala Pilar saat beru kembali dari dapur membawa teko berisi teh hangat. “Enggak, aku
“Terima,” bisik Rachel namun terdengar oleh semua telinga di sana. Gayatri menoleh ke arah Rachel dan melotot melihat bagaimana sahabatnya menyeringai lebar dengan mengangkat telapak tangannya memperlihatkan cincin yang di pasangkan Zean pada jari manisnya. “Ada yang mau kamu ucapkan sendiri?” Gayatri memandang raut wajah Eliot yang duduk di samping Pilar, mereka berdua mengapit sang putri. “Yang mau aku katakan sudah dikatakan Pilar. Jaminannya Pilar kalau sampai aku melakukan hal yang sama kedua kali.” Eliot menyenggol bahu Pilar dan Pilar mengangguk dengan senyuman lebar. “Benar Ma, aku jaminannya kalau papa seperti itu lagi. Maka aku sendiri yang akan memberi papa pelajaran.” Pilar menimpali dengan menggebu-gebu. Gayatri tertawa kecil, menunduk memandang cincin indah di jari manis yang dipasangkan Pilar. Kemudian mengangkat wajah menghadap putri dan mantan suaminya masih dengan senyuman
Gayatri memandangi seorang wanita yang duduk di hadapannya dengan desah lelah, ia baru akan pulang dari pemotretan saat mobilnya di cegat oleh sebuah BMW hitam. “Mau apa lagi?” tanya Gayatri lelah. “Kamu enggak bisa seperti ini ke aku, Gayatri.” Ucapan pertama yang tersengar di telinga Gayatri. “Seperti ini bagaimana?” tanya Gayatri tidak paham maksudnya. “Kita sama-sama wanita Gayatri, tidak bisakah kamu mengerti aku? Aku sudah sangat banyak berkorban untuk Eliot. Waktu tenaga, perasaan. Aku minta maaf untuk kejadian kemarin-kemarin itu, aku lepas kendali. Aku tahu kamu wanita baik Gayatri. Tidak bisakah kamu menjauh saja dari Eliot dan Pilar?” pinta Risa. Gayatri menghela nafas panjang, memang Risa tidak lagi menggila tapi perkataannya jelas tidak masuk di akal sehat Gayatri. “Kamu punya karier bagus, cantik juga. Kenapa kamu enggak cari laki-laki lainnya saja Gayatri?” tunt
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia