“Pilar Sayang ... semoga kamu mau menerima Mama kembali, Nak,” lirih Gayatri.
Gayatri menyambangi sebuah gedung sekolah ternama setelah memikirkannya sekian lama. Ia akan siap menerima semua risiko dan mungkin juga besar kemungkinan jika ia akan menerima penolakan dari seorang anak remaja berusia lima belas tahun yang sepuluh tahun lalu ia tinggalkan dengan tega di sebuah taman bermain. Gayatri saat itu gelap mata karena merasa tekanan hidup bersama sang suami dan anak mematahkan semua impiannya. Gayatri meninggalkan Pilar, darah dagingnya beserta sang suami karena sebuah tawaran yang ia yakin tidak akan datang dua kali dalam hidupnya setelah ia menikah. Gayatri ingin kembali meraih impiannya yang kandas yaitu menjadi top model nomor satu Indonesia. Dan ia justru kehilangan karier model karena hamil dan menikah. Saat mendapatkan tawaran merintis model di jajaran pasar dunia, ia tanpa pikir panjang langsung menerima serta memutuskan meninggalkan suami serta anaknya.Sementara itu di ruang tata usaha. Pilar terdiam saat masuk ruang Tata Usaha dan seorang wanita muda duduk di sana memberikannya senyuman hangat. Bukan membalas senyum tersebut tapi Pilar justru duduk di hadapan petugas Tata Usaha. “Ibu maaf saya ada ulangan Matematika jam ke dua,” papar Pilar yang jelas menunjukkan keengganannya dipanggil. “Sudah Ibu sampaikan sama Ibu guru Jasmine nanti kamu ikut yang susulan di ruangan beliau. Kamu boleh pulang sama mama kamu sekarang ya,” pungkas ibu penjaga ruang Tata Usaha. Pilar tidak bisa membantah, mengangguk dengan mencangklong ransel merahnya keluar dari sana dan diikuti wanita yang disebut mama namun ia enggan memanggil mama. Pilar bahkan berjalan tidak di samping wanita muda tersebut melainkan mendahului di depannya. Begitu sampai di luar gerbang sekolah, Pilar langsung menoleh ke belakang. “Kenapa ke sini?” tanya Pilar sinis. “Ingin bertemu kamu tentu saja, Mama sudah mempersiapkan liburan sama kamu tiga hari ini. Sudah izin sama sekolah kamu juga, kita ke Puncak ya.” Senyuman hangat terlukis dari wajah berparas cantik jelita tersebut. “Sudah izin sama papa?” sinis Pilar. “Kamu tetap anak Mama dan Mama bisa menemui dan mengajak kamu kapan saja, kita sama-sama tahu hal itu bukan?” Wanita cantik di hadapan Pilar mendesah kecil. “Dan kita sama-sama tahu aku enggak akan mau ikut maupun menemui wanita yang meninggalkan aku dari TK. Tidak lupa bukan?” Pilar membantah dengan mata membelalak menahan buncahan emosi, bagaimana wanita di depannya seenak jidat berlaku padanya. “Aku punya hak yang sama menemui kamu, Pilar,” kilah wanita tersebut masih lembut “Dan harusnya tanya dulu apakah aku mau atau tidak. Aku tidak mau, jangan lagi meminta izin pada sekolah dan membawa aku keluar saat pelajaran. Aku sungguh tidak suka terlambat pelajaran dan harus mengikuti susulan.” Penuh penekanan Pilar mengatakannya, kebencian jelas tampak di kedua mata indahnya. “Pilar ... tidakkah kamu memberikan aku kesempatan untuk menebus semuanya? aku mohon .... “ “Enggak! menjauhlah sejauh mungkin dari hidup aku!” Pilar menjerit histeris sebelum berlarian menjauh dari hadapan wanita muda yang memandangnya penuh kesedihan. Pilar si gadis remaja berusia 15 tahun menghentikan taksi dengan wajah penuh kemarahan dan tanpa sadar pipinya basah oleh air mata. Ia hapus dengan kasar basah di pipi. “Kenapa aku harus menangis, dia jahat. Ingat itu Pilar, dia jahat sekali sama kamu dan papa,” lirih Pilar di dalam taksi yang membawanya pulang ke kediaman sang papa tercinta. Sedangkan Gayatri, wanita yang tidak lain tidak bukan adalah mama dari Pilar, memandang kepergian taksi tanpa bisa menahan si gadis remaja dengan sedih. Memasuki mobilnya, Gayatri menghubungi Eliot akan tetapi tidak diangkat. Sedari kemarin ia menghubungi Eliot selalu nihil.*** Seorang gadis SMA berlarian ke dalam rumah memasuki kamar dengan menutup pintu kencang. Padahal waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi yang mana seharusnya gadis berseragam putih abu-abu tersebut berada di dalam kelas dan belajar. “Pilar,” seru pria berusia 39 tahun yang sedang duduk di ruang tengah dan berhadapan dengan pria dewasa lainnya. “Membolos?” tanya pria lainnya. “Masa membolos? Pilar tidak pernah membolos, aku tinggal dulu ya.” Eliot langsung bangun tanpa menunggu persetujuan pria di hadapannya. Mengetuk pintu kamar dengan dekorasi gantungan Doraemon kecil-kecil yang jika di buka tutup akan terdengar gemerincing. Ketukan pertama hingga ke tiga tidak ada sahutan. “Pilar ... ini papa Nak, kamu kenapa pulang jam segini? Kamu sakit?” tanya sang laki-laki dewasa bernama Eliot. “Enggak Pa, aku ingin sendiri dulu,” sahut Pilar nyaring dari dalam. “Papa mau penjelasan ya nanti, tiga puluh menit waktu kamu dalam kamar.” Eliot berseru kencang agar sang anak mendengar suaranya. “Iya tiga puluh menit,” sahut Pilar. “Love you Sayang,” seru Eliot. “Me too, pa,” jawab Pilar. Eliot meninggalkan pintu kamar putri semata wayangnya untuk kembali ke ruang tengah di mana ia sedang membahas pekerjaan dengan sepupunya yang tak lain adalah om Pilar sendiri. “Kenapa katanya?” tanya Zidan. “Belum mau bicara, nanti keluar 30 menit lagi.” Eliot kembali melihat layar laptop mereka. “Putus cinta kali,” terka Zidan. “Mana ada? Baru satu SMA, gua pites nanti cowoknya.” Eliot seketika berang. Zidan tertawa lebar dengan menggelengkan kepalanya geli. “Kenapa yang dipites cowoknya, kali saja Pilar juga suka sama itu cowok,” ledek Zidan semakin menjadi-jadi. “Anak gua masih kecil, belum boleh pacar-pacaran cinta-cintaan. Kalau ada anak ingusan berani dekat-dekat gua sleding,” murka Eliot tidak terima mendengar Pilar pacaran. “Dasar bapak posesif, Pilar sudah remaja kalau elu lupa. Wajar seusia dia suka-sukaan sama cowok.” Zidan menyandarkan punggung menikmati kecemburuan sepupunya. “Whatever you say, belum saatnya pokoknya. Ayo kerja lagi,” pungkas Eliot mengakhiri percakapan mereka berdua secara sepihak. Mereka kembali fokus pada pekerjaan mereka sampai mereka tidak menyadari seorang gadis remaja berpakaian celana selutut dan kaos bergambar Candi Borobudur membawa nampan dengan tiga gelas jus apel menghampiri. “Sudah tiga puluh menit?” tanya Elios. “Iya Pa, Om Zidan kok bawa pekerjaan ke rumah tumben?” tanya Pilar. “Papa kamu membolos kerja dari kemarin jadi ya harus kesini buat minta tanda tangan, kalau enggak kasihan gaji karyawan enggak cair. Dosa nanti makan keringat orang,” kekeh Zidan. “Papa kan kemarin sakit, Om.” Pilar ikut duduk di samping sang papa.Zidan mengangguk. “Maka dari itu Om yang menyusul kemari dari pada dipaksa ke kantor terus kolaps. Kamu kenapa pulang jam segini? Membolos ya?” “Enak saja enggak, memang punya izin pulang cepat. Tapi bukan membolos, rahasia pokoknya. Aku akan buatkan camilan untuk Papa dan Om, mau dibuatkan apa? atau sekalian makan siang?” Pilar memeluk lengan Eliot dengan wajah menengadah. “Pasti putus cinta terus pura-pura sakit biar dikasih izin pulang, benar bukan?” Zidan masih meledek sang ponakan remaja. “Enggak ih, Om Zidan jangan mengompori Papa ya. Sungguh bukan kok Pa,” rayu Pilar melotot pada sang om. Zidan tertawa lebar senang melihat keponakannya panik menjelaskan di hadapan papanya. Eliot membenturkan keningnya dengan sang anak dan tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja Papa percaya kamu, bisa tolong buatkan makan siang saja? sepertinya Papa ingin makan cumi saos tiram sama capcai kering. Makan sini ya Dan, jarang-jarang bisa makan sama ponakan.” Eliot merangkul sang putri dan membelai bahunya. “Ok siap, Om sudah lama enggak makan masakan Pilar si tukang menangis,” kekeh Zidan yang mendapat hadiah terjang dari Pilar dan cubitan bertubi-tubi. Pilar sedang berada di depan layar laptopnya saat pintu kamar yang setengah terbuka diketuk dua kali. Terlihat papanya bersandar dengan celana training hitam dan kaos merah lengan panjang. “Ganggu?” tanya Eliot. “Enggak ... sedang menonton animasi. Masuk Pak.” Pilar memutar kursi belajarnya dan ketika sang papa duduk di tepi ranjangnya, lengan kursi belajarnya ditarik Eliot hingga mereka berhadapan. “Kenapa tadi pagi?” tanya Elion lembut. “Wanita itu mendatangi aku ke sekolah dan seenaknya membuat izin tiga hari dengan bilang ingin mengajak aku liburan ke Puncak,” lirih Pilar.Eliiot terdiam lama memandang wajah sendu Pilar, sebelum menghela nafas panjang. Kembali menarik kursi belajar Pilar hingga lutut mereka berbenturan pelan. “Terus?” tanya Eliot pelan. “Aku enggak mau, aku pulang langsung sama bilang jangan pernah melakukan hal itu lagi sama aku. Melakukan sesuatu yang tidak aku sukai dan tanpa seizin aku, apa Papa tahu kau dia berniat membawa aku ke Puncak?” terang Pilar.Eliot menggeleng kecil. “Papa enggak tahu tentang itu, enggak ada hubungi Papa.” “Kan benar aku bilang pasti enggak bilang sama Papa, kenapa sih dia selalu seperti itu Pa? dia tahu aku enggak suka tapi masih seenaknya saja. Aku tadi mau tes Matematika, dan harus mengikuti susulan. Aku benci ikut susulan jika bukan karena sakit.” Pilar menjelaskan tentang keberatannya dan rasa tidak sukanya. “Nanti Papa yang akan bilang ya sama mama kamu, harusnya dia bilang dulu sama kamu atau Papa setidaknya. Papa akan bilan
“Tahun kedua, dia hanya diam di kamarnya. Menolak siapapun masuk bahkan Dokter sekalipun hanya bisa memeriksanya saat ia tidur. Mencoret-coret semua baju, tempat tidur sampai dinding dengan apapun itu yang dia temukan di kamarnya. Sedikitpun tidak bisa aku dekati, padahal aku papanya. Dia bahkan pernah mengalami retak kepala karena terpeleset menolak aku bantu di kamar mandi. Pilar enam tahun dengan berat badan memprihatinkan dan mental rusak parah oleh seorang wanita yang ia panggil mama.” Eliot menajamkan ucapannya membuat Gayatri tersedak tiada ampunan. Jeda, hanya terdengar isak pelan dari Gayatri akan tetapi tidak Eliot hiraukan. “Kamu boleh marah dan kecewa dengan pernikahan kita dulu. Tapi kamu jauh lebih jahat dari ibu manapun di dunia. Sungguh sampai seumur hidup aku tidak akan melupakan bagaimana perjuangan keras Pilar untuk sembuh dan tumbuh sebagaimana anak pada umumnya walau jauh di lubuk hatinya terluka parah. Waktu ... aku y
Gayatri memandangi potret seorang anak memakai seragam TK yang duduk di ayunan, potret satu-satunya yang ia miliki. Setelah pembicaraan terakhirnya dengan Eliot, laki-laki tersebut mengiriminya pesan yang terasa bagai palu hukuman dari hakim. Eliot menuliskan, Pilar menolak jangan coba temui lagi. “Kenapa kamu tidak terobos saja sih, Gaya?” tanya seorang yang duduk di samping Gayatri. “Dan buat Pilar jadi semakin membenci aku? tidak! aku hanya ingin melihatnya saja, tidak apa-apa asal dia tidak menangis karena melihat aku.” Gayatri tersenyum membelai layar ponselnya. “Kamu sudah menjelaskan alasan kamu ke Kanada dulu?” tanya wanita di samping Gayatri yang tidak lain adalah managernya selama di Kanada.Gayatri menggeleng. “Alasan apa pun itu tetap salah meninggalkan anak dan suami. Sudah kamu diamlah, sudah pada keluar itu anak-anak.” “Ya Tuhan kita bagai penguntit tahu enggak.” Wanita muda tersebut turun dar
“Ini?” tanya Gaya ketika melewati sebuah rumah dua lantai dengan dominan warna biru muda cenderung hampir putih, warna kesukaan Pilar. Rumahnya tidak terbilang mewah bahkan terbilang sederhana untuk ukuran kata Rachel seorang Milyader di Indonesia. Bahkan hampir mirip dengan miliknya yang ia beli satu tahun silam dan baru ia tempati enam bulan terakhir setelah kembali ke Indonesia. “Jangan menilah kekayaan seseorang dari huniannya, kebanyakan orang sukses low profil walau jelas dia banyak yang kenal. You know i mean,” tukas Rachel. “Iya paham ... apa Pilar sudah punya ibu baru?” tanya Gayatri dengan mata masih tertuju pada rumah dengan pagar tinggi berwarna abu muda teralis gold. “Aku enggak tahu kalau itu, Gaya. Eh buset astaga Gaya, Eliot keluar.” Dengan kepanikan Rachel langsung menjalankan mobil volvo hitam miliknya. Eliot terlihat mengenakan kaos panjang hitam dengan celana katun panjang
Pilar terdiam sesaat memandang wajah Rachel yang berdebar-debar karena menyebut nama mama dari Pilar sendiri. Setelah Pilar menarik senyum dan mengangguk, otomatis Rachel menghembuskan nafas lega. Pilar berkutat pada buku berwarna penuh gambar lucu yang Rachel sebut binder. “Kalau sudah sembuh bisa bertemu aku kalau Tante izinkan, nanti kita bisa sama-sama belajar. Semoga setelah membaca surat aku, tambah semangat untuk sembuh ya Tante. Dan terima kasih hadiahnya.” Pilar melipat surat menjadi tiga bagian dan memasukkannya ke dalam amplop senada yang ternyata ada di bagian belakang buku warna. Rachel menerima dengan senyuman, ada secuil sesal di sudut hatinya karena membohongi remaja manis berhati lembut seperti Pilar. Namun di sisi lain ia membantu sahabatnya yang sangat merindukan remaja tersebut. “Terima kasih ya Pilar, kamu anak baik,” tutur Rachel tulus. Pilar mengangguk penuh senyuman lalu melambaikan
“Aku enggak membuntuti kamu,” sanggah Gayatri kuat. “B 5632 ZX adalah plat mobil yang kemarin diam lebih dari sepuluh menit di depa rumah aku. Dan mobil volvo itu milik Rachel Ariani Putri yang mana adalah manager dari seorang model bernama Gayatri. Masih mau mengelak?” desak Eliot tanpa memberi ampun. Gayatri menghela nafas panjang, menggaruk keningnya yang tidak gatal sebelum ia menjawab tuduhan Eliot. Belum ia memberikan penjelasan, Eliot sudah kembali memberinya peringatan. “Jika sekali lagi kamu menguntit saya apalagi Pilar, jangan salahkan aku jika agensi kamu saya tuntut bukan hanya kamu dan Rachel. Dengarkan itu baik-baik.” Eliot memberikan ancaman dengan rahang mengetat sempurna dan langsung membalikkan badan dan meninggalkan Gayatri yang tergagap tidak diberikan kesempatan menjelaskan. Sepeninggal Eliot, Gayatri menghela nafas panjang dan meneruskan memasuki taksi. Moodnya semakin jelek karena tud
“Dapat salam dari Gilbert,” seringai Rachel kala datang ke kediaman Gayatri yang sedang tidak ada jadwal dan berniat malas-malasan di rumah. “Kaya anak remaja saja kirim salam,” dengus Gayatri dengan raut bosan. “You know i mean,” kekeh Rachel. “Sudah ditolak berkali-kali enggak menyerah juga. Untung proyek sama dia sudah selesai. Kamu enggak shoping? Jangan bilang ke sini bawa kerjaan. Aku mau enggak produktif dulu please.” Gayatri melempar Rachel yang justru tertawa mendengar penolakan jelas darinya. “Aku numpang molor, gila punggung aku capek sekali tapi malas ke salon. Di rumah ada saja yang mengganggu. Enggak boleh tinggal di apartemen tapi enggak pernah bisa bobok cantik tanpa gangguan.” Rachel merebahkan tubuh di samping Gayatri dengan posisi telungkup setelah menanggalkan semua pakaiannya dan menyisakan sepasang pakaian dalam berwarna hitam. “Bukannya senang rumah kamu ramai, coba li
“Tolong dengarkan dulu penjelasan Tante, Pilar.” Rachel tidak akan melepas Pilar begitu saja dengan kesalah pahaman. “Aku tidak butuh penjelasan apa pun,” jawab Pilar. “Kamu harus tahu alasan mama kamu pergi,” seru Rachel saat melihat Pilar tidak menggubrisnya dan melanjutkan langkah menuju sebuah mobil yang kemungkinan mengantarnya. Langkah Pilar terhenti, membalikkan badan dan memandang penuh kemarahan pada sosok Rachel. “Kamu tidak tahu alasan mama kamu pergi saat itu, Pilar. Kamu mau mendengarkan penjelasan Tante? Tante sungguh minta maaf sudah membohongi kamu untuk hadiah ini dan cerita tentang anak Tante. Bisa kita bicara sebentar?” Rachel kembali berjalan pelan mendekati Pilar yang sudah berdiri di ambang pembatas pagar rumah Gayatri. “Aku tidak ingin tahu dan tidak mau tahu. Meninggalkan anak kecil usia lima tahun sendirian adalah kejahatan yang tidak akan bisa aku maafkan sampai kap
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia