Sehari setelah permintaan Naila untuk pindah rumah, aku pun menurutinya. Kupakai uang tabungan yang selama ini kusimpan untuk biaya kontrak rumah yang kini kutempati. Sebuah rumah di perumahan yang jauh dari kata bagus, tapi cukup sederhana dan layak tinggal. Terlebih rumah ini membuat kami nyaman berada di dalamnya.Tinggal di tempat yang baru tanpa memberi kabar pada siapapun ternyata lumayan memberikan ketenangan. Bahkan ibu mertua pun tidak kuberi tahu kalau kami telah pindah rumah. Beruntung pemilik rumah ini sudah menyediakan semua perabotan rumah tangga sehingga aku tidak perlu membawa barang-barang yang banyak dan pasti membuat orang lain penasaran untuk bertanya.Panggilan dari Mas Rasyid masih kuabaikan. Salah sendiri menyakitiku dengan cara yang tidak beradab. Terserah mau kebingungan mencari keberadaanku atau bagaimana aku tak lagi peduli. Terbiasa dengan rasa sakit rupanya membuat tingkat ketidakpedulianku terhadap Mas Rasyid makin meningkat. Biarlah, terserah dia mau b
Akhirnya aku menyerah. Kubiarkan Mas Rasyid membawaku ke tempat dimana Aisyah dirawat. Biarlah, sekali saja menuruti keinginan calon mantan suami untuk bisa lepas darinya dan perempuan perebut laki-laki orang lain. Lagi pula hatiku sudah kebas akan perbuatan keduanya. Meskipun seringkali aku malas berbicara dengannya tapi tak mengapa. Toh ini yang terakhir."Mengapa tidak berbicara denganku dulu sebelum memutuskan untuk berpisah?" tanya Mas Rasyid setelah mobil mulai melaju dengan tenang.Aku menoleh sekilas, kemudian tersenyum sumbang. Pertanyaan macam apa itu?"Buat apa? Selalu begitu jawaban Mas Rasyid. Mana pernah berusaha berpikir bagaimana ketika Mas Rasyid berada di posisiku? Selalu saja aku yang diminta untuk mengalah." Aku menjawab tanpa menoleh. Cukup menunjukkan keseriusanku dengan ucapan, tak perlu menunjukkan ekspresi wajahku padanya."Bukan begitu, Dek. Mas mau yang terbaik untuk kita semua!""Sayangnya yang terbaik untuk Mas tidak menjadi yang terbaik untukku. Seringka
PoV AisyahAku duduk merenung di sudut ruang guru, kebetulan meja untukku berada di bagian paling ujung. Beberapa hari ini rasanya aku tak bersemangat. Sakit di anggota tubuh bagian dada ini rasanya mengganggu sekali."Kenapa, Bu? Kok murung terus dari tadi?" tanya Pak Rasyid, rekan sejawat. Beliau baik sekali. Sering mengantarku pulang saat tak sengaja bertemu di depan sekolahan ketika menunggu kang ojek tak juga datang. Ia juga ramah dan peduli. Tidak seperti Mas Angga yang cuek padaku. "Ngga apa-apa, Pak. Dada saya sakit, makanya duduk diem aja dari tadi." Aku memaksa bibirku untuk tersenyum menyambut sapaannya. Jam mengajar sedang berlangsung dan kami sama-sama tidak ada jam mengajar kali ini sehingga ruang guru ini kosong."Izin pulang saja, dari pada kenapa-kenapa," usul Pak Rasyid memberi saran."Enggak, Pak. Kang ojek langganan masih belum bisa jemput kalau jam segini, nunggu satu jam lagi," tolakku halus setelah melihat jam di pergelangan tangan."Kok nunggu ojek? Ya sudah b
Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan hati lega. Antara lega dengan apa yang menimpa Aisyah dan lega karena Mas Rasyid tak lagi menghalangiku untuk tetap melanjutkan perpisahan ini. Berat dan sakit, tapi aku tak boleh bersedih. Janin dalam kandungan ini masih butuh asupan kebahagiaan untuk tetap tumbuh dengan baik."Dek, tunggu. Biar Mas antar," teriak Mas Rasyid sambil berlari kecil mengejar langkahku.Aku menghentikan langkah untuk melihat calon mantan suamiku. Tersirat rasa khawatir pada wajah yang tak lepas dari pandanganku itu. Ia berlari untuk mensejajarkan langkah kami setelahnya, tapi sayangnya aku sudah tak ingin lagi berada didekatnya. Muak sudah aku padanya. Enggan lagi berhubungan dengannya setelah ini. Cukup ini yang terakhir.Kadang kebaikan hati kita dimanfaatkan oleh orang lain, termasuk lawan jenis yang akhirnya menaruh rasa pada diri karena kebaikan yang kita berikan. Kukira suamiku bisa menjaga diri dan cintanya untuk kami, keluarganya tapi nyatanya aku
Kehamilanku sudah menginjak angka delapan bulan. Kondisi fisik makin lemah dan aku terpaksa sering izin tidak masuk kerja karena tak kuasa untuk menopang berat tubuh. Admin konveksi sudah menganjurkan untukku agar segera cuti, tapi aku merasa masih mampu. Tak apalah, sedikit memaksa bekerja keras agar waktu bersama si kecil lebih lama setelah melahirkan.Terpaksa aku pun mengabari Bulik agar datang ke rumah untuk membantu dan menunggui ku di rumah hingga waktu lahiran tiba."Assalamualaikum," sapa suara di luar ketika aku sedang menikmati siaran televisi. Kebetulan hari ini adalah Minggu dan aku sedang bersantai di rumah karena tidak sedang mendapatkan jam berkunjung untuk Naila.Dengan kepayahan aku bangkit dari tempat duduk di ruang tengah untuk melihat siapa gerangan yang datang."Waalaikum salam," jawabku seraya memutar anakan kunci. Tinggal sendirian membuatku selalu mengunci pintu setelah bepergian, karena khawatir akan ketiduran atau hal tak terduga lainnya. Bagaimana pun seka
"Bulik, bisa ngga sih ditahan ucapannya kalau ada Ibu? Bagaimana pun hubungan Anita sama Mas Rasyid, ibu itu akan tetap menjadi nenek Naila, juga jadi ibu buat saya." Aku mencoba berbicara pada Bulik selepas kepergian Ibu."Ya ngga apa-apa. Biar dia juga paham kalau kamu ngga bisa begini terus. Kamu juga butuh menata masa depan, masak iya janda terus. Kalau sudah seumuran Bulik sih, ngga apa-apa. Tapi kalau masih seusia kamu ya harus nikah lagi." Bulik menjawab dengan semangatnya. Ia tak peduli pada permintaanku untuk menjaga ucapannya di depan ibu."Iya, tapi ngga semata-mata bilang begitu sama Ibu. Apalagi di depan Ibu secara langsung, Anita yang ngga enak sama beliau.""Wes toh, Nduk. Kamu itu jangan ngga enakan! Nanti kamu menderita sendiri." Lagi, Bulik menjawab sesuka hatinya.Aku yang terlanjur malu dan merasa tidak enak pada Ibu sebaiknya diam dan mencari waktu yang tepat untuk bicara pada Ibu. Akhirnya aku pun pergi ke kamar, sepertinya berbicara dengan Bulik akan membuatku l
Aku berjalan dengan langkah hati-hati sambil sesekali mengusap pinggang yang terasa kaku. Beruntung ruangan admin tak jauh dari ruangan tempatku menjahit sehingga tak harus jalan terlalu jauh.Dari balik ruangan kaca, Mbak Miftah mengangguk menyambutku hingga aku berada di depan mejanya."Mbak Miftah manggil saya?" tanyaku setelah mengucapkan salam. Aku berdiri menatapnya dengan hati penuh tanda tanya. Apakah ada kesalahan yang kulakukan atau aku akan diberhentikan dari kerja karena kehamilanku ini? Entahlah."Duduk dulu, Mbak," ucap Mbak Miftah ramah. Tak ada sedikitpun ucapan atau raut wajahnya yang membuatku makin mengerut, keramahannya melunturkan tanda tanya dan kekhawatiran yang sejak panggilannya sampai padaku sudah membuatku tak tenang.Aku menarik satu kursi besi yang beralaskan busa empuk. Nyaman sekali rasanya ketika badanku sudah mendarat sempurna di atas kursi ini. Jauh berbeda dengan kursi yang dipakai di ruangan menjahit.Aroma jeruk yang menguar dari sebuah parfum ruan
"Ibu pikir kamu sudah bertemu ajalmu," sindir Ibu. Wajah sinis melengkapi ucapannya yang menyakitkan itu. Tangannya bersidekap, enggan beranjak dari tempatnya berdiri."Maafkan Rasyid, Bu. Rasyid baru sempat datang mengunjungi Ibu, sebab keadaan Aisyah beberapa waktu lalu masih drop." Mas Rasyid berujar sambil sesekali melirik ke arahku yang ada di belakang Ibu. "Ibu pikir kamu tidak datang karena sudah lupa." Lagi, Ibu menjawab dengan nada sinis."Tidak, Bu. Maafkan Rasyid. Tidak bisa Rasyid lupa pada Ibu," balas Mas Rasyid sambil meraih tangan Ibu untuk diciumnya.Ibu pun membiarkan tangannya dicium oleh putra tunggalnya itu. Perlahan tapi pasti, api yang sedang membara di wajahnya surut karena perlakuan Mas Rasyid itu."Ibu sehat-sehat kah?"Ibu tidak menjawab. Bibirnya mengatup rapat sambil berusaha mengatur napasnya yang sedikit berubah lebih cepat karena perubahan perasaannya.Setelah beberapa saat terdiam, Ibu baru memberi jalan pada Mas Rasyid untuk mendorong kursi roda Aisya
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed
"Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal
Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak
Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj
Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu