Ilham's POV
Baru jam dua siang, tapi gerimis sudah turun bersama dengan datangnya kabut. Aku dan Vi berada di teras kamar kami bersama anak-anak sambil menatap rintik hujan.
Beberapa snack di buka sebagai camilan.
"Dinar dan Syifa, suka liburan ke sini?"
"Suka, Om. Dingiiin. Enggak seperti di tempat kita. Di sana panas," jawab keponakanku.
"Katanya ada tempat permainannya, Pa. Di mana?" tanya Syifa.
"Ada, nanti kita cari kalau hujan sudah reda."
Syifa mengangguk.
Mereka berdua makan popcorn sambil bermain lego.
Aku dan Vi berdiri dekat pagar teras yang terbuat dari kayu berplitur cokelat dan setinggi pinggangku. Kami memperhatikan ke sekeliling. Beberapa pengunjung juga menikmati rintik hujan dari teras kamar mereka.
Di parkiran tadi memang full mobil pengunjung. Tentunya mereka seperti kami. Menghabiskan akhir tahun di sini.
"Mas, aku ngambil ponsel dulu. Kemarin Miy
Dulu ucapan cintanya bagaikan borgol yang membelenggu hatiku. Namun sekarang, terlalu hambar saat kudengar lagi. Dia hanya ingin memenangkan hatiku yang telah terluka parah.Sepanjang liburan ini keceriaan tampil menghiasi wajahnya yang rupawan. Mas Ilham bahagia. Bisa menikmati quality time yang jarang kami punya.Kulepas hijab dan menggantungnya di hanger yang tergantung di tembok samping."Sini!" Dia menepuk lengannya. Aku mendekati dan berbaring seperti hari-hari kemarin."Anak-anak sudah tidur?""Ya."Kami baru saja pulang dari menemani anak-anak bermain. Pulang ke penginapan kelelahan dan tidur setelah makan siang.Di luar kabut mulai turun dan menebarkan hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Mataku mulai memejam."Ngantuk, ya?" tanya Mas Ilham sambil mengusap pipiku."Enggak, dingin saja."Mas Ilham menarik selimut hingga menutupi tubuh kami sampai ke dada. Dia juga memelukku.Tig
Aku hanya agak terganggu dengan sikap Mas Ilham yang berubah posesif. Jika biasa aku membeli apa-apa sendiri, kini harus menunggunya off kerja dulu. Atau dia menyuruhku untuk pesan lewat aplikasi online saja.Cemburu? Ini berlebihan, Pak Ilham.Namun, langit tidak selamanya cerah. Mendung kembali membayang saat sebuah foto dikirim oleh nomer tidak kukenal. Sebuah resit hotel atas nama Ilham Bagaskara dengan dua orang yang ditulis keterangan di sana.Resit itu sudah dua tahun yang lalu. Dan aku tidak pernah diajak menginap di hotel yang namanya tertera di resit pembayaran.Setelah terluka sekian lama, aku tidak lagi menangisinya. Tidak. Aku sudah lelah. Aku memasa bodohkan semua itu. Namun tidak kupungkiri, meski mengabaikan pada kenyataannya dadaku sesak juga.Miya, hanya kepada dia aku bercerita."Abaikan saja, Vi. Jika kamu melihat ke belakang lagi, kapan lukamu sembuh. Toh, Mas Ilham sudah menyadari kesalahannya.
"Dengerin, Vi, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Please, dengarkan Mas."Tiba-tiba perutku terasa mual. Kutepis pelukan Mas Ilham. Aku berdiri dengan tubuh gemetar dan langsung berlari ke kamar mandi belakang.Aku muntah di wastafel. Napas rasanya tertekan di tenggorokan bersama tubuh yang terasa makin lemah. Pandangan mata mulai kabur dan aku luruh tidak ingat apa-apa lagi. Sesaat sebelum aku tidak sadar, kurasakan ada yang menahan tubuhku.Aroma minyak kayu putih dan bau obat menguat dalam penciuman. Aku langsung tersadar kalau tidak sedang di rumah. Ini pasti di klinik. Kurasakan badan yang masih lemah dan rasa pusing yang mendera."Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Sayang." Suara Mas Ilham berada di sebelah kananku.Aku menoleh kemudian menarik tangan yang digenggamnya."Minum, ya," tawarnya sambil meraih sebotol air mineral. Aku menggeleng.Sekarang ini aku ingin sekali ada Ibu dan Syifa di sini. Aku
"Sayang, hari ini kita pulang setelah sarapan." Mas Ilham bicara di pagi itu.Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya tampak segar. Namun matanya tampak cekung karena kurang tidur tiga hari ini.Selama dirawat, tidak ada satu pun keluarga yang tahu. Aku yang melarangnya agar tidak memberitahu siapapun.Biarlah Ibu menjaga Syifa dan mengurus toko. Sementara Mama mertua baru seminggu ini sembuh dari sakitnya. Aku yang akan mengambil sendiri keputusan ini, tanpa campur tangan keluarga.Hanya Miya yang kuberitahu tentang kehamilanku, juga permasalahan yang kembali mencederai hati. Aku meneleponnya saat Mas Ilham pulang untuk mengambilkan baju ganti."Mas ngambil cuti sampai lusa. Mas akan menemanimu di rumah.""Ya, kita bisa bicarakan perceraian kita."Mas Ilham mematung sejenak. Kemudian mengambil kotak nasi di meja. "Sarapan dulu, Mas suapi," ujarnya tidak mempedulikan ucapanku."Aku akan makan sendiri
Ilham's POVSepanjang perjalanan aku mengutuk kedunguanku selama ini. Betapa tololnya aku membiarkan diri terlena demikian lama. Hingga jejak yang kutinggalkan tidak begitu saja bisa terhapuskan. Kembali melukai dan menyakiti lagi.Kekhawatiran makin merajai hati saat dokter mengatakan kalau Vi hamil tiga bulan. Aku takut terjadi apa-apa dengan Vi dan calon anak kami.Selama pemeriksaan aku berdoa tiada henti.Aku lega ketika dokter bilang, janinnya baik-baik saja.Kenapa dia merahasiakan kehamilannya dariku?"Dokter bilang tadi kalau Vi lagi hamil dua belas minggu. Kenapa tidak memberitahu Mas?""Aku ingin memberikan surprise di hari ulang tahun, Mas. Tapi ... sudahlah, sekarang Mas juga sudah tahu," jawabnya sendu.Ada yang luruh dalam dada ini. Perasaan bersalah yang menghantam bertubi-tub
Malam itu aku mengantar Vi ke klinik untuk pemeriksaan rutin kehamilannya. Usia kandungannya sudah memasuki bulan kelima.Aku memperhatikan Dokter Endah yang mengoleskan gel pada perut Vi yang telah membuncit. Lalu menggerakkan tranduser secara pelan-pelan untuk mendapatkan gambar yang tepat di layar.Tampak bayi kami sangat sehat."Berat janinnya sudah 360 gram dan panjangnya sekitar 27 cm, Bu Vi. Kondisinya sehat. Ingin tahu jenis kelaminnya, enggak?" tanya Dokter Endah.Aku dan Vi saling berpandangan. Vi mengangguk pelan."Ya, Dok," jawabku cepat."Second born ini baby boy, Pak Ilham. Jadi sudah pas sepasang, ya. Cewek cowok."Kuucapkan hamdalah dalam hati berulang kali.Kami mampir ke pusat perbelanjaan setelah dari klinik. Aku menyarankan agar Vi membeli baju hamil, tapi di tolaknya. Masih ada baju
Nura's POVHamil? Setelah beberapa bulan tidak pernah bertemu atau mendengar kabarnya, malam ini kami berserempak. Istri Ilham sedang mengandung. Sebaik itukah hubungan mereka? Aku tidak percaya. Setelah pengkhianatan yang luar biasa, akankah semudah itu Vi menerima kembali suaminya?Hasna yang berbasa-basi. Aku tidak.Aku ingat tentang kemarahan Ilham dua bulan yang lalu. Saat foto di kamar hotel aku kirimkan ke nomer istrinya. Mungkin ini kelewatan, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membongkar semuanya.Empat tahun percintaan kami berakhir karena terhalang restu Bapak. Aku kecewa meski sebenarnya kami juga yang sepakat untuk mengakhiri hubungan. Setelah itu aku menikah dengan pria yang baru ku kenal dua bulan. Aziz Razak, ayah dari anakku, Dinita.Tidak perlu kuceritakan bagaimana kacaunya rumah tanggaku karena hubungan kami tercipta karena sama-s
Nura's POV"Kalau kamu mau dengan pemberianku, besok ikut saya keluar kota selama dua hari."Aku masih terdiam sejenak kemudian kembali berkata, "Orang-orang kantor akan mencurigai saya, Pak.""Besok pagi kamu bisa izin tidak masuk kerja dengan alasan menunggu ibumu yang sakit. Nanti akan saya jemput di rumahmu jam delapan pagi."Tanpa berpikir lagi aku mengangguk. Otak kotorku tidak bisa berpikir panjang. Selain mendapatkan kemudahan dengan cara apapun. Apalagi ditambah dengan kekalutan pikiran karena memikirkan Ilham.Pak Rony juga bukan pria yang buruk rupa. Dia masih menawan di usianya yang setengah abad.🌺🌺🌺Kedatangan mobil Fortuner di depan rumahku sepagi itu, merupakan awal petualangan tergilaku kedua setelah sempat memanfaatkan Ilham.Mobil meluncur keluar kota. Pak Rony menyuruhku menu
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T