Part 9 Dua Pria
Dua pria itu saling memandang tajam. Sikap mereka tidak seperti rekan kerja, melainkan seperti dua orang yang saling bermusuhan. Entah karena ada aku di antara mereka atau mengenai pekerjaan.
Mas Ilham mendekat dan berdiri tepat di depanku. "Mau pulang sekarang?"
"Ya."
Pak Alex memanggil resepsionis yang duduk di belakang meja sedang heran memandang kami. Dia meminta wanita itu untuk menyelesaikan pembayaran denganku. Setelah semua beres, Pak Alex meminta wanita itu pergi sebentar. Tinggallah kami bertiga.
"Sayang banget berlian sebaik ini kamu tukar dengan kerikil di pinggir jalan. Aku saja yang pernah liar bisa membedakan mana permata mana kaca," bisik Pak Alex lirih pada Mas Ilham.
Rahang Mas Ilham tampak mengeras, dia memandang tajam pada Pak Alex. Untung saja para karyawan yang baru saja selesai istirahat dan makan
Mobil masuk halaman rumah Mama dan langsung menuju garasi. Tampak lampu di ruang tamu masih menyala. Tidak lama kemudian beliau membuka pintu. Mas Ilham membopong Syifa dan kuikuti dari belakang. Mama memelukku erat. Beliau tampak berbinar melihatku lagi setelah dua bulan tidak bertemu. Kuberikan titipan Ibu pada beliau. "Ham, tidurkan Syifa di kamar Mama saja. Mama kangen pengen memeluknya," kata Mama pada Mas Ilham. Aku hanya memandang suamiku yang melangkah masuk langsung ke kamar belakang. "Apa kabar, Ma?" tanyaku saat kami duduk di sofa ruang tamu. "Baik, bagaimana toko ibumu, makin rame?" "Alhamdulillah, iya, Ma. Banyak pesanan akhir-akhir ini." "Syukurlah!" "Kata Ilham, kamu habis keguguran?" Aku mengangguk. "Ilham baru c
Kami duduk berhadapan di sebuah kafe. Aku pesan jus melon sedangkan Nura memilih jus jambu. Dini sedang melihat YouTube di bangku depan sendirian. Nura yang memintanya ke sana agar tidak mendengar apa yang kami bicarakan. Tadi bocah perempuan itu menanyakan Syifa. Kami memang sudah lama tidak pernah liburan bareng, sejak kucium gelagat kecurangan suami dan mantan kekasihnya itu. Padahal dulu kami sering melakukan apa pun bersama-sama ketika bertemu di rumah Mama. "Enggak kerja, ya, hari ini?" tanyaku membuka percakapan. Tanpa panggilan 'Mbak' seperti biasa aku memanggilnya. Usia kami selisih lima tahun. "Aku ngambil cuti tahunanku, karena ngantar Dini periksa ke dokter gigi." Hening. Nura minum jus jambunya. "Maaf, Vi. Jika hubungan kita akhirnya memburuk seperti ini." Nura membuka suara. Aku tersenyum tipis sambil mengaduk jus di gelas. Kalau bol
Hampir satu setengah jam aku menunggu di teras rumah Mas Ilham. Tapi dia belum pulang juga. Aku ingin mengambil jaket tebalku dan sneaker. Daripada beli lagi, aku pergi cuma tiga hari. Lagian barang-barang itu masih baru semua. Sayang kalau tidak dipakai. Aku memang sengaja tidak meneleponnya lebih dulu. Aku sampai sana setengah jam sebelum dia pulang kantor. Tapi ini sudah lewat biasa dia pulang. Mendung gelap juga bergelayut manja di angkasa. Seperti tidak sabar untuk mengguyur bumi. Mungkin setelah aku tidak lagi tinggal bersamanya, dia lebih bebas melakukan apa saja. Saat aku hendak menelepon taksi online, mobil Mas Ilham memasuki garasi. Dia tersenyum saat turun dari kendaraan. "Sudah lama menunggu?" tanya Mas Ilham sambil mendekat. "Lumayan lama. Aku ingin mengambil jaket dan sneaker." "Memangnya kamu mau ke mana?"
Aku menahan dada Mas Ilham dengan kedua tangan. Membuat jarak di antara kami. Ini penolakan pertama yang kulakukan secara terang-terangan tanpa alasan syar'i. Berdosa? Sudah pasti. Dia masih suamiku, yang telah berusaha meminta maaf dan belum pernah menjatuhkan talaknya. Dia masih punya hak 'memilikiku' kapan pun dia mau. Kami saling pandang. "Kenapa?" Dia bertanya. "Jangan sekarang." Aku mendorong tubuhnya perlahan. Kami sama-sama duduk. Kurapikan rambutku dengan jemari. Ada kekecewaan tampak jelas di wajahnya. Harapan untuk merayakan anniversary kami malam ini kupatahkan begitu saja. "Apa yang Mas lakukan dengan Nura, ketika diam-diam berkencan di belakangku?" Pertanyaan pelan itu membuat Mas Ilham kaget dan menoleh. "Kami tidak melakukan apa-apa." Aku tersenyum getir.&nb
"Assalamu'alaikum, Bu." "W*'alaikumsalam, Nduk. Sudah Salat Maghrib apa belum?" "Baru selesai ini. Syifa nakal enggak hari ini, Bu?" "Enggak, ya nanya biasa saja. Sekarang lagi nemeni Budhe Surti bikin kue bolu. Besok ada pesanan mendadak." "Maaf, aku enggak bisa bantu malah nyusahin ibu saja." "Jangan berpikir seperti itu. Ibu hanya ingin kamu baik-baik saja." "Ternyata aku enggak sehebat, Ibu. Aku rapuh karena butuh lari untuk menenangkan diri." "Dari merasakan jatuh itu yang akan membuatmu kuat, Vi." Ibu berhenti sejenak. Terdengar embus halus napasnya. Ibu, beliau tidak hanya tersakiti oleh masa lalunya dengan ayah. Namun oleh masalahku juga. Maafkan aku, Bu. "Vi." Suara Ibu sudah berganti dengan suara berat Mas Ilham. "Sekarang kamu di mana, kasih tahu
Ilham's POV Aku terbangun saat jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Vi sudah tidak ada di sampingku. Tergesa aku keluar kamar. Hening. Dugaan mungkin Vi sedang sibuk di dapur ternyata salah. Dia tidak ada di seluruh penjuru rumah. Semua pintu pun masih tertutup rapat. Perasaanku tidak enak, hingga aku kembali masuk ke kamar. Meraih ponsel yang di sebelahnya tergeletak hadiah yang kuberikan untuk Vi tadi malam. Sebuah pesan masuk membuatku terkejut sepagi itu. Dia mengirimkan satu jam yang lalu. "Happy wedding anniversary, suamiku tersayang. Terima kasih untuk lima tahun kebersamaan kita. Mulai sekarang kita akan menempuh jalan yang berbeda. Semoga Mas suka dengan hadiahku tadi malam. I love you, Sayang." Kalimat perpisahan yang ditulis secara samar beserta fotoku dengan Nura saat kami kelelahan dan tertidur di sofa kantor, beberapa bulan yang lalu. &nbs
lham's POV Malam itu aku kembali pergi ke rumah Ibu. Pas kebetulan Vi sedang menelepon. Ibu mertua yang baik ini paham bagaimana perasaan menantunya. Diberikan ponsel padaku. Sayangnya Vi tidak mau memberitahu keberadaannya. Dia benar-benar menutup diri dan ingin sendirian. Andai dia memberitahu, malam ini juga aku berangkat menyusulnya. Aku berdiri, meninggalkan Syifa yang sedang belajar mewarnai. Aku duduk di kursi teras. "Kenapa nomernya tidak aktif, Mas sudah menelepon berkali-kali." "Nomerku yang kemarin sudah enggak aku aktifkan. Aku takut orang itu akan mengirimkan gambar yang lebih parah lagi, makanya buru-buru aku nonaktifkan saja." "Mas tidak pernah melakukan hubungan intim yang kamu khawatirkan itu, Vi. Mas memang salah karena telah menyakitimu. Tapi sumpah, Mas ...." "Apa Mas berani bersump
Mbak, ada kiriman bunga?" Sarti menghampiriku yang duduk di kursi kasir, sambil memberikan buket kecil bunga mawar putih dan pink. Kuterima buket itu. "Dari siapa?" tanyaku heran. "Pak Alex," kata Sarti sambil tersenyum lantas melangkah ke belakang. Kuletakkan buket di atas meja, kemudian kembali memeriksa pembukuan bulan ini. Biasanya Surti yang mengerjakannya, aku tinggal memeriksanya. Ada-ada saja orang ini. Padahal dia tahu kalau aku masih menjadi istri rekannya. Nekat juga mengirimkan bunga. Waktu aku liburan hari itu, malah mengirimkan cokelat. "Vi, kamu kok belum siap-siap. Ini sudah jam sembilan, lho!" Ibu yang muncul dari belakang menegurku. "Iya, sebentar lagi aku ganti baju, Bu." "Nanti keburu-buru. Udah tinggal saja itu," kata Ibu lagi. Lantas beliau memeriksa dua tas kresek besar berisi pesanan yang akan di anta
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T