Bara beranjak dari duduknya dan menyambut yang datang.“Papa dengan siapa kesini?” tanya Bara sambil menyalami papanya, Ardi Nugraha.“Sama Hilman, ia ada diluar.” Papanya Bara mendekati sang besan dan bersalaman dengannya. Hilman adalah asisten yang juga merangkap orang kepercayaan Ardi.“Bagaimana kondisinya Pak Hendra?” tanya Ardi.“Seperti inilah, sudah mulai membaik,” sahut Hendrawan dengan pelan.“Waktu Bara memberi kabar ini, saya sedang di luar negeri. Jadi baru sekarang saya sempat menjenguk kesini.” Ardi memberikan penjelasannya.“Nggak apa-apa, ini juga sudah mau sembuh kok.”“Nggak usah banyak pikiran, Pak. Kita ini sudah tua, biarkan yang muda-muda saja yang menyelesaikan semua pekerjaan. Kita hanya perlu memantaunya saja. Seperti saya, semua pekerjaan saya serahkan dengan Bintang dan Bara, sesekali saya mengeceknya,” kata Ardi.Bintang adalah kakak pertama Bara. Mereka tiga bersaudara, Bintang, Bara dan Kinanti. Kinanti masih kuliah, Bintang dan Bara masing-masing memega
Dwita segera membuka tasnya, karena itu adalah suara dering ponselnya.“Halo, Ma,” sapa Dwita.“Kamu dimana?” tanya sang mama.“Lagi di mall.”“Sama siapa?”“Teman. Ada apa, Ma?” Dwita penasaran.“Kamu tahu nggak kalau Alan sudah resmi bercerai dengan perempuan tidak tahu diri itu. Tadi waktu Mama masuk ke kamar Alan, Mama melihat surat perceraian mereka. Yang Mama heran, kenapa Alan nggak cerita sama Mama ya? Alan cerita sama kamu nggak? Tapi entah kenapa Mama merasa sangat senang…” Dewi nyerocos tanpa memberi kesempatan Dwita untuk berbicara.“Ma, aku sudah tahu. Sudah ya, aku mau jalan lagi, nih.” Dwita langsung menutup panggilan itu. Wajahnya tampak sangat kesal. Ia kesal dengan Dewi, karena selalu membenci Aira dan sering menyebutnya dengan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan.Aira ikut mendengarkan Dwita berbicara dengan seseorang di telepon. Tapi ia yakin kalau yang menelpon Dwita tadi itu mamanya. Soalnya Aira mendengar Dwita menyebut mamanya. Hati Aira berdenyut nyeri
Tok! Tok! Pintu kamar Dwita diketuk dari luar.“Boleh aku masuk?” tanya Alan dari balik pintu.“Boleh.” Dwita menjawab dengan singkat.Alan masuk ke dalam kamar Dwita, kemudian duduk di tepi tempat tidur.“Pasti Mas Alan mau nanyain tentang Mbak Aira,” cetus Dwita.Alan hanya tersenyum.“Apa yang mau Mas Alan tanyakan?” Dwita langsung to the point.“Aku penasaran, kok kamu bisa pergi sama Aira? Bukankah selama ini hubungan kalian kurang baik?”“Manusia itu bisa berubah, Mas. Aku bisa berubah menjadi baik. Dulu memang kurang baik, sekarang sudah baik dan dekat. Beda dengan Mas, dulu baik dengan Mbak Aira sekarang beda.”“Nggak usah menyindirku, kok bisa berubah? Sedangkan Mama dan Trisa masih kayak dulu.” Alan semakin penasaran.“Setelah apa yang aku alami, aku banyak merenung dan berpikir. Ujianku belum sebesar Mbak Aira, tapi aku sudah merasa paling menderita. Aku tidak bisa membayangkan seandainya aku ada di posisi Mbak Aira. Akhirnya aku putuskan untuk minta maaf sama Mbak Aira ata
Firda masih tersenyum seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ketika ia secara refleks melihat ke belakang, ia sangat terkejut dengan sosok seseorang yang tidak jauh dengannya.“Sudah ya? Ada yang mengawasiku,” bisik Firda sambil mengakhiri pembicaraan.Firda menjadi salah tingkah, ia pun berusaha untuk menguasai keadannya.“Baru datang ya? Sama siapa?” tanya Firda dengan gugup.“Sudah dari tadi, sampai aku bisa mendengarkan semua pembicaraanmu,” sahut Malvin dengan ketus. Ia masih syok dengan apa yang ia dengar dari tadi. Ia tidak menyangka jika kakaknya itu sudah melakukan hal-hal yang diluar kenormalan.“Pantas saja kalau Papa sampai syok melihat kelakuan Mbak Firda. Aku saja jijik mendengarnya, benar-benar memalukan!” lanjut Malvin.“Kamu nggak usah ikut campur urusanku!” Firda menjawab dengan ketus.“Aku tidak mencampuri urusanmu. Tapi kalau sudah berhubungan dengan Papa, berarti aku perlu ikut campur! Coba pikirkan, Mbak, bagaimana dampaknya ke perusahaan Papa. Jangan hanya memik
Ceklek! Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter dan dua orang perawat masuk ke ruangan.“Selamat siang, Pak Hendrawan. Bagaimana kondisinya?” tanya dokter itu.“Saya sudah sehat, Dok. Kapan saya bisa pulang?” sahut Hendrawan.Dokter yang sedang memeriksa kondisi Hendrawan, tersenyum mendengar ucapan Hendrawan. Dengan telaten dokter itu memeriksa secara detail.“Semangat sehat ya, Pak? Sepertinya kondisi Bapak sudah stabil. Apakah Bapak memang sudah ingin pulang?”“Tentu saja, Dok! Sudah bosan di rumah sakit.”“Haha, saya juga sudah tidak mau bertemu dengan Bapak di ruang perawatan ini. Saya harap nanti kita bertemu di luar sana dan Bapak dalam keadaan sehat.” Dokter tersenyum.“Baiklah, Bapak bisa pulang hari ini, tapi tetap harus menjaga makanan dan pikiran Bapak. Jangan terlalu banyak memikirkan yang berat-berat. Nanti konsultasikan kesehatan dengan dokter Ilham. Silahkan urus administrasi dan ambil obat di apotik.” Perawat memberikan sebuah buku kecil pada dokter. Dokter menuliskan
Drtt…drtt..suara ponsel berdering. Vani dan Aira saling berpandangan.“Ponselku yang bunyi,” kata Aira sambil tersenyum, kemudian ia mengambil ponsel yang masih berada di dalam tasnya.Aira kaget melihat nama yang tertera di ponselnya. Dengan ragu-ragu, ia menerima panggilan itu.“Assalamualaikum.” Aira menyapa sang penelepon.“Waalaikumsalam, Aira. Apa kabar?”“Alhamdulillah, kabar baik, Mas. Mas sendiri gimana kabarnya?”“Kabar baik juga. Bagaimana Kenzo, sehat kan?”“Kenzo sehat, Alhamdulillah.”“Syukurlah kalau begitu. Begini, Aira, boleh aku minta nomor rekening mu?”“Untuk apa, Mas?” Aira mengernyitkan dahinya.“Aku ada sedikit rezeki untuk Kenzo. Nggak banyak, sih.”“Apa Mbak Amel tahu?” tanya Aira lagi, terdengar nada kekhawatiran dari suara Aira.“Kamu nggak usah mikirin itu. Semua itu urusanku dengan Amel. Kirim sekarang ya, aku tunggu.” Fariz langsung mengakhiri pembicaraan.Tanpa pikir panjang Aira langsung mengirimkan nomor rekeningnya.“Siapa Mbak?” tanya Vani.“Mas Fari
Drtt…drtt… Ponsel Gita berdering, ia melihat ke layar ponsel itu. Wajahnya menjadi berbinar melihat nama yang tertera di layar ponsel.“Halo Mas,” sapa Gita dengan suara manjanya.“Dimana sekarang?” Gita heran dengan suara Derry yang terdengar datar dan kaku.“Makan diluar bersama Firda.”“Bisa pulang sekarang?”“Sebentar lagi ya, Mas. Menyelesaikan makan dulu. Kenapa? Sudah kangen ya? Sama, aku juga sudah sangat kangen.” Gita berkata dengan suara yang mendesah, mencoba menggoda Derry.Firda hanya tersenyum melihat Gita yang seperti ABG sedang jatuh cinta. “Iya, buruan pulang ya?” lanjut Derry.“Oke, Mas.” Derry langsung mengakhiri pembicaraan.“Aneh,” kata Gita dengan agak kesal, wajahnya terlihat cemberut.“Kenapa?” tanya Firda.“Suara Mas Derry kok aneh, tidak seperti biasanya. Datar dan kaku, nggak ada mesra-mesranya. Atau hanya perasaanku saja, ya?” “Siapa tahu ia bicara seperti itu karena disuruh istrinya. Mungkin saja istrinya sudah tahu tentang hubungan kalian. Makanya ia
Gita terduduk lemas di lantai, ia menangis tersedu-sedu. Meratapi nasibnya sendiri.“Apa yang harus aku lakukan? Aku harus tinggal dimana?” Gita beranjak dari duduknya, kemudian ke kamar untuk berganti pakaian dan mulai mengemas pakaiannya. Sambil bercucuran air mata ia mengambil satu persatu pakaian yang ada di lemari untuk dimasukkan ke dalam tas koper.“Dasar laki-laki pengecut, katanya tidak mencintai istrinya. Tapi malah tunduk bagaimana kerbau yang dicucuk hidungnya. Sialan sekali, kenapa aku sampai terbujuk rayuannya.”Cukup lama ia mengemas pakaiannya, isi lemari hampir kosong. Gita meraih ponselnya untuk menelpon Firda, siapa tahu Firda bisa membantunya mencari tempat untuk tinggal.“Kemana sih Firda, dari tadi aku menelpon tidak diangkat juga,” kata Gita dengan kesal. Ia pun mencoba untuk menghubungi Firda lagi. Tapi lagi-lagi tidak ada respon.“Aku harus menghubungi siapa lagi? Temanku hanya Firda saja. Kalau menghubungi teman kantor, nanti banyak yang tahu, akhirnya malah
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d