“Tenang saja, Firda. Ini bukan operasi pengangkatan pay*dara. Tapi biopsi dulu, pengambilan sampel. Baru nanti diperiksa lebih lanjut. Proses pengobatannya menunggu hasil biopsi nanti.” Dokter Ilham memberi penjelasan.Biopsi adalah pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan jaringan tersebut bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit atau mencocokkan jaringan organ sebelum melakukan transplantasi organ. Risiko yang dapat ditimbulkan oleh kesalahan proses biopsi adalah infeksi dan pendarahan. Biopsi sering kali digunakan untuk mendiagnosis kanker, namun dapat membantu mengidentifikasi kondisi lain seperti infeksi, peradangan, dan kelainan autoimun.“Jadi bukan operasi pengangkatan pay*dara?” tanya Firda lagi.“Bukan. Mudah-mudahan nanti hasil biopsi menunjukkan kalau itu jinak. Jadi tidak perlu operasi pengangkatan. Semangat ya? Tunjukkan kalau kamu itu Firda yang saya kenal selama ini. Optimis dalam segala hal.” Dokter Ilham memberi semangat pada Firda.Fi
“Jangan bercanda kamu.” Firda masih tidak percaya dengan ucapan Gita.“Aku tidak bercanda. Aku hamil anak Derry.”“Apakah Derry tahu?”Gita menggelengkan kepalanya.“Kok bisa Derry tidak tahu. Kamu tidak bercerita padanya?”“Setelah Derry datang ke rumah bersama istrinya, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Aku tahu kalau aku hamil baru kemarin. Aku telat seminggu, ketika aku test pack ternyata positif.”“Kok kamu bisa hamil sih? Katamu dulu kamu nggak mau punya anak sama Derry, seharusnya kamu pakai KB.” Firda berdecak kesal.“Aku KB pakai pil, tapi aku pernah kelupaan nggak minum. Waktu itu, tiba-tiba Derry datang, langsung ngajak main. Besoknya baru ingat kalau belum minum pil.”“Kamu itu ya kalau sudah keenakan lupa segalanya,” ledek Firda.“Kayak kamu nggak, kamu juga kan? Kalau sudah bersama Alan lupa kalau sudah punya suami.” Gantian Gita yang menyindir Firda. Mereka berdua pun tertawa.“Waktu Derry dan istrinya datang, apa yang istri Derry katakan? Terus kenapa kau jual a
Jantung Aira berdetak dengan kencang mendengar suara Hasan yang menggelegar. Ia langsung mendongakkan wajah dan berusaha menatap ayahnya. Tatapan penuh kebencian.“Oh, kamu melawan Ayah, ya?” Hasan mendekati Aira.“Maaf Ayah, aku tidak melawan Ayah.” Aira menjawab pelan.“Tapi tatapan matamu itu, seperti orang menantang. Sudah hebat ya kamu melawan Ayah.” Hasan mengejek Aira, sambil menoyor kepala Aira. Emosi Aira mulai naik, ia mencoba untuk menarik nafas panjang untuk menetralkan keadaan.“Ayah, aku harus bagaimana? Semuanya serba salah dimata Ayah. Aku menunduk katanya melawan, aku menatap Ayah katanya melawan juga. Yang benar bagaimana Ayah.” Aira memberanikan diri untuk bersuara. Suaranya terdengar bergetar antara takut dan emosi yang ditahan.“Aira, kamu jangan melawan Ayah, kualat nanti lho.” Amel ikut bersuara. Fariz langsung menjawil tangan Amel. Amel menatap ke arah suaminya, Fariz menggelengkan kepala supaya Amel tidak bersuara lagi. “Betul yang dikatakan Amel, jangan mela
“Seharusnya kamu jangan bercerai, menjadi janda itu tidak enak. Orang akan selalu membicarakan apa yang kamu lakukan. Kamu akan selalu menjadi objek pembicaraan orang-orang.” Utami terpancing untuk mengeluarkan pendapatnya.“Aku tidak memperdulikan pendapat orang lain. Bu, disini orang tidak peduli dengan orang lain. Tidak ada ibu-ibu yang suka menggunjingkan orang lain. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.” Aira menjawab ucapan ibunya.“Tetap saja jadi janda itu dipandang sebelah mata,” kilah Utami.“Semua tergantung dengan pribadi masing-masing, Bu. Aku bukanlah orang yang suka sok akrab dengan orang lain, apalagi dengan laki-laki. Jangan khawatir, aku masih bisa menjaga diri.” Aira masih berusaha meyakinkan ibunya.“Halah, sekarang kamu ngomong kayak gitu. Nanti suatu saat pasti kami akan tergoda, apalagi ketika kebutuhan semakin meningkat. Ada laki-laki yang menawarkan kenyamanan dan kemapanan, tidak peduli suami orang atau bukan. Pasti langsung sikat. Bisa-bisa kamu
“Ada apa, Kenzo?” tanya Aira ketika sampai di kamar.“Kenzo mau makan.”“Ayo keluar, ibu ambilkan makan.”“Kenzo takut sama orang tadi.”“Boleh Opa masuk?” Terdengar suara Hasan, rupanya Hasan mengikuti Aira menuju ke kamar.Kenzo langsung mendekati Aira, sepertinya ia ketakutan.“Nggak apa-apa, Opa itu baik kok.” Aira menenangkan Kenzo.“Boleh Opa masuk?” Hasan mengulangi pertanyaannya.Kenzo mengangguk. Hasan tampak tersenyum bahagia. Ia pun berjalan mendekati Kenzo dan duduk di dekat Kenzo.“Ini Opa Kenzo.” Hasan memperkenalkan dirinya.“Apa iya, Bu?” Kenzo tampak ragu mendengar kata-kata Hasan.“Iya, Opa Kenzo.” Aira mengiyakan.“Boleh Opa gendong Kenzo?”Kenzo menatap ke arah ibunya, Aira pun mengangguk. Kenzo menghambur ke pelukan Hasan. Tampak mata Hasan berkaca-kaca.“Kenzo sudah besar ya? Maafkan Opa yang baru sempat menemui Kenzo.” Hasan memeluk erat Kenzo.Aira terharu melihat pemandangan ini. “Kenzo harus nurut sama Ibu ya? Jadi anak yang baik.” Hasan berkata dengan suara
Di luar kamar ada Asti yang hendak masuk ke kamar Firda. Bahkan ia sempat membuka handle pintu, dan ia tidak menutup pintu lagi karena takut ketahuan. Jadi pintu kamar perawatan Firda sedikit terbuka. Mendengar Firda sedang berbicara, Asti mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar, dan ia pun mendengarkan secara diam-diam.Banyak pertanyaan yang melintas di kepalanya, apa lagi ketika Firda mengatakan kangen. Asti pun memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan pembicaraan itu lagi.“Sayang, aku sudah mengurus perceraian. Jadi setelah suratnya keluar, kita bisa langsung menikah. Aku ingin privat party, hanya dihadiri oleh orang-orang dekat saja.” Firda melanjutkan berbicara.“Cerai? Bu Firda dan Pak Bara mau bercerai? Kok bisa? Padahal mereka sepertinya adem ayem? Berarti sekarang Bu Firda menelpon siapa?” kata Asti dalam hati, ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi.“Memangnya Bara sudah setuju untuk bercerai?” tanya Alan.Tentu saja Asti tidak bisa mendengarkan suara Alan.
“Derry hanya diam saja, tidak berani berbicara. Aku sangat kecewa dengan sikapnya, ternyata memang ia laki-laki pengecut. Aku bilang pada mereka kalau aku tidak butuh apapun, aku hanya memberitahu saja kalau aku hamil anaknya Derry. Langsung aku blokir nomornya. Setelah beberapa hari, Derry menemuiku di kantor. Ia memintaku untuk menggugurkannya.”Firda membelalakkan matanya, mendengar cerita Gita.“Kamu tahu apa yang aku lakukan?”Firda menggelengkan kepalanya.“Aku menampar wajahnya berkali-kali, sampai aku puas.” Terlihat sekali kalau Gita sangat puas dengan apa yang ia lakukan.“Wow, hebat sekali kamu. Apa yang dilakukan Derry?”“Dia diam saja, tidak mengelak sama sekali. Setelah puas menamparnya, aku pun meninggalkannya.”“Terus bayimu bagaimana?” tanya Firda.“Mungkin karena aku stress dan banyak pikiran, makan pun aku tidak teratur. Tidak menjaga kesehatan. Ternyata aku pendarahan dan keguguran, dua hari aku dirawat di klinik.” Nada suara Gita terdengar sedih.“Kamu sendirian
Bara ingin menelpon Firda, tapi ia urungkan niatnya itu. Sudah beberapa hari ia tidak bertemu dengan Firda atau mungkin sudah beberapa minggu. Sejak ia meminta Firda untuk mengurus perceraian mereka, ia tidak berkomunikasi dengan Firda lagi. “Apa kabarmu sekarang Firda? Aku yakin kalau kamu sudah sangat bahagia, apalagi sudah keluar surat cerai kita. Jangan-jangan memang kamu sudah tidak tinggal di apartemen kita lagi,” kata Bara dalam hati. Akhirnya ia menulis pesan untuk Firda.[Terima kasih untuk kebersamaan kita yang cukup singkat ini. Ternyata memang benar kata orang, jangan memulai hubungan dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Kejarlah masa lalumu itu, semoga kamu bahagia dengan hidupmu. Aku sudah pindah ke tempat lain. Kalau kamu mau menempati apartemen itu, silahkan. Tapi kalau kamu tidak mau menempatinya, kabari aku, biar aku urus apartemen itu.]Pesan terkirim, tapi hanya centang satu. Ponsel Firda tidak aktif.“Tumben ponsel Firda tidak aktif. Oh mungkin ia
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d