"Kamu menuduhku selingkuh?" Alan tampak marah."Enggak. Aku kan cuma bilang kalau wajah Mas Alan tampak berubah, seperti orang yang sedang ketahuan melakukan sesuatu. Selingkuh misalnya. Kenapa mesti marah?" Aira masih berusaha untuk tenang."Tapi dari caramu berbicara menuduhku seperti itu.""Kalau memang Mas nggak selingkuh, ngapain harus emosi? Selow Mas, kalau marah-marah nanti malah tekanan darahnya naik, bisa stroke. Kalau langsung mati sih nggak apa-apa, tapi kalau stroke berkepanjangan, aku nggak sanggup mengurusnya.""Kamu mendoakan aku mati?""Enggak. Aku berkata hanya misalnya saja.""Kamu kenapa sih, kok dari tadi kata-katamu itu membuatku emosi.""Mas, jujur saja! Aku sudah muak dengan keluargamu. Mama dan adik-adikmu tidak pernah menghargai aku sama sekali. Kalau kamu memang mau bercerai seperti usul mereka, aku nggak takut. Ceraikan saja aku. Tapi aku akan menyebarkan foto-foto mesra Mas ketika sedang selingkuh!" Aira berkata dengan tegas, kemudian berjalan pergi mening
Aira mengamati perempuan yang baru masuk ke dalam lift. Perempuan itu berdiri di depan Aira, membelakanginya. Tercium aroma parfum yang wangi dan lembut. Menandakan kalau perempuan ini sangat berkelas, penampilannya juga tampak sangat elegan. Tipe wanita karir kekinian."Pasti perempuan ini orang kaya, atau mungkin ia punya jabatan tinggi di perusahaan ini. Tapi wajahnya tidak asing," kata Aira dalam hati. Ia sangat kagum dengan penampilan perempuan itu. Ting! Pintu lift pun terbuka, ternyata sudah sampai di lantai bawah. Perempuan itu berjalan keluar dari lift, Aira melangkahkan kaki keluar lift menuju ke lobby. Aira membuka ponselnya, karena ia ingin memesan ojek online. Tapi ia mengurungkan niatnya karena ada sebuah suara yang membuatnya tertegun."Firda!" Terdengar suara seseorang memanggil sebuah nama."Firda?" Aira menggumam dalam hati, ia pun segera menoleh ke arah sumber suara. Ternyata ada seorang perempuan yang mendekati perempuan yang keluar dari lift tadi. Aira mengamati
Aira mengamati foto yang dikirim ke ponselnya. Ia sangat terkejut melihat siapa yang ada di foto itu. Sebuah foto dikirim oleh Tiara.[Masa sih Reza melakukan ini? Kamu bertemu dimana?] Aira mengirim pesan pada Tiara.Tak butuh waktu lama, Tiara langsung membalas pesan itu.[Iya itu Reza. Aku tadinya juga tidak percaya. Mungkin Reza sudah tahu wataknya Dwita, makanya ia selingkuh.][Kasihan Dwita.][Kenapa kamu kasihan? Dwita kan tidak pernah baik padamu, bahkan sering memusuhimu.][Iya juga, sih. Tapi tetap saja aku merasa kasihan padanya. Bagaimanapun juga dia itu adik iparku.][Apa kamu akan memberitahu Alan?][Entahlah!] Aira memberi jawaban yang mengambang.Aira masih mengamati foto Reza bersama dengan perempuan cantik. Mereka sedang bergandengan tangan. "Apakah mungkin Reza punya pacar lain? Mungkin ini adiknya atau saudaranya. Tapi kalau saudara atau teman, masa bergandengan tangan?""Kenapa aku sibuk mengurusi masalah orang lain? Masalahku sendiri saja masih banyak."Akhirnya
"Aku tahu kalau Mas meremehkan posisiku. Tapi setidaknya aku bekerja dan bisa menghasilkan uang, walaupun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan gaji Mas." Aira berkata lagi, ia kesal karena menurutnya Alan mengejeknya."Aku tidak meremehkan posisimu, Dek. Kamu salah paham. Hanya saja aku rasa posisi itu terlalu rendah dibandingkan dengan pengamalan yang kamu miliki," kilah Alan."Namanya pegawai baru Mas. Dapat posisi itu saja sudah bersyukur. Sudah ah, aku mau menyiapkan Kenzo dulu." Aira masuk ke kamar untuk membangunkan Kenzo yang masih tidur.Kenzo sudah selesai mandi dan bersiap untuk dititipkan. Aira juga sudah selesai berdandan seperti orang kerja kantoran. Alan tertegun menatap Aira, tampak cantik dengan riasan sederhana. Seketika rasa cemburu itu muncul. Takut jika ada laki-laki yang tergoda dan berniat menggoda Aira."Kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Ada yang salah? Apakah aku terlalu norak?" tanya Aira, Alan langsung gelagapan."Kamu cantik, aku takut jika ada laki-laki
Sosok perempuan yang pernah ia temui sebelumnya disini. Siapa lagi kalau bukan Firda. Tampak beberapa orang menunduk hormat pada Firda. Kemudian Firda berjalan menuju ke lift, kebetulan pintu lift terbuka, Firda pun masuk ke dalam lift."Berarti Firda kerja disini, pasti punya jabatan tinggi. Apakah dia itu bosnya Pak Irwan ya? Atau mungkin ia pemilik perusahaan ini.""Kalau dia pemilik perusahaan ini, terus tahu kalau istri selingkuhannya kerja disini, pasti ia akan meremehkanku dan mungkin bahkan memecatku.""Aku harus sebisa mungkin menghindarinya, supaya ia tidak tahu kalau aku kerja disini."Ponsel Aira berdering, ojek pesanannya sudah datang. Ia pun segera menuju keluar gedung menghampiri ojek yang ia pesan. Sepanjang perjalanan, ia masih memikirkan keberadaan Firda tadi. Tak butuh waktu lama, akhirnya ia sampai di rumah. Setelah masuk ke dalam rumah dan meletakkan bawaannya, ia keluar lagi untuk menjemput Kenzo. Kenzo sudah menunggu kedatangannya."Bude, Kenzo pulang," pamit K
Telapak tangan Aira berkeringat menandakan kalau ia sangat gugup. Ia pun menghela nafas panjang."Bismillah." Aira berkata dengan pelan kemudian berjalan menuju ruangan Irwan. Dengan perlahan ia mengetuk pintu ruangan Irwan, selanjutnya ia membuka pintu ruangan itu."Bu Aira, silahkan masuk." Irwan yang sedang duduk bersama Bara mempersilahkan Aira masuk. "Ayo duduk." Dengan ramah, Irwan meminta Aira duduk.Masih dengan keadaan gugup, Aira duduk dan berusaha untuk menguasai keadaanya."Bu Aira ya?" tanya Bara."Iya, Pak. Saya Aira." Aira menjawab dengan gugup."Nggak usah takut Bu Aira. Saya dan Pak Bara memanggil kesini bukan karena ada kesalahan. Hanya ingin ngobrol sebentar." Irwan berusaha untuk mencairkan suasana. Aira pun tersenyum."Bagaimana kabar Kenzo?" tanya Bara sambil tersenyum.Irwan kaget mendengar pertanyaan Bara."Kenzo? Siapa Kenzo?" tanya Irwan dalam hati."Alhamdulillah, Kenzo baik, Pak." Aira menjawab sambil tersenyum, ia lega dengan pertanyaan Bara."Syukurlah.
Alan segera memperbaiki posisi duduknya. Ia berusaha untuk menguasai keadaannya."Masuk!" teriak Alan. Pintu terbuka, tampak Beni datang dengan membawa map."Pak ada yang harus ditandatangani hari ini." Beni menyerahkan map yang ia bawa."Taruh saja di meja, nanti saya tandatangani.""Maaf, Pak. Kalau bisa sekarang Bapak tandatangani, siang ini mau dikirim. Lagipula Bapak sebentar lagi ada janji dengan Pak Handika kan?"Alan tampak mengernyitkan dahi, mencoba mengingat-ingat agenda hari ini. Ia membelalakkan matanya, ternyata ia lupa kalau ada janji dengan Pak Handika."Untung kamu mengingatkanku, Ben. Terima kasih ya? Sini berkasnya, biar saya tandatangani. Tunggu ya?"Beni menyerahkan berkas yang ada di tangannya, ia menunggu Alan menandatangani berkas itu. Ponsel Alan berdering, Alan menoleh ke arah ponselnya. Ternyata Firda menelponnya. Alan mengabaikan panggilan itu, ia harus menandatangani berkas di depannya.Ponselnya berdering terus, Alan pun mensenyapkan dering itu. Beni dari
Ceklek! Pintu kamar terbuka, jantung Alan terasa berhenti berdetak. Ponsel yang ia pegang pun terjatuh ke lantai."Mas?" Aira terkejut melihat ponselnya jatuh, segera ia mengambil ponsel itu. "Kenapa Mas membuang ponselku?" tanya Aira dengan kesal."Maaf, aku nggak sengaja." Alan tampak menyesal melihat Aira yang terlihat kesal. Selain itu ia juga kaget, ketahuan membuka ponsel Aira."Apa yang Mas cari?""Kamu dapat dari mana foto Reza itu?" tanya Alan dengan pelan."Oh, Mas sengaja membuka ponselku ya? Curiga kalau aku menyimpan foto laki-laki lain, begitu?""Maafkan aku, Dek. Kemarin itu waktu kamu membuka ponsel, aku tidak sengaja melihat foto laki-laki dan perempuan. Aku sangat penasaran, foto siapa itu." Alan menjelaskan."Ternyata bukan seperti yang Mas pikirkan, iya kan?" Aira berkata dengan setengah mengejek."Itu foto Reza dengan siapa?" tanya Alan lagi."Aku nggak tahu.""Kenapa kamu nggak bilang sama aku?" Dari suaranya terdengar kalau Alan sangat kesal dan kecewa."Kalau
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d