Ceklek! Pintu kamar terbuka, jantung Alan terasa berhenti berdetak. Ponsel yang ia pegang pun terjatuh ke lantai."Mas?" Aira terkejut melihat ponselnya jatuh, segera ia mengambil ponsel itu. "Kenapa Mas membuang ponselku?" tanya Aira dengan kesal."Maaf, aku nggak sengaja." Alan tampak menyesal melihat Aira yang terlihat kesal. Selain itu ia juga kaget, ketahuan membuka ponsel Aira."Apa yang Mas cari?""Kamu dapat dari mana foto Reza itu?" tanya Alan dengan pelan."Oh, Mas sengaja membuka ponselku ya? Curiga kalau aku menyimpan foto laki-laki lain, begitu?""Maafkan aku, Dek. Kemarin itu waktu kamu membuka ponsel, aku tidak sengaja melihat foto laki-laki dan perempuan. Aku sangat penasaran, foto siapa itu." Alan menjelaskan."Ternyata bukan seperti yang Mas pikirkan, iya kan?" Aira berkata dengan setengah mengejek."Itu foto Reza dengan siapa?" tanya Alan lagi."Aku nggak tahu.""Kenapa kamu nggak bilang sama aku?" Dari suaranya terdengar kalau Alan sangat kesal dan kecewa."Kalau
"Jangan mengalihkan pembicaraan." Alan terlihat sedikit emosi.Reza tersenyum melihat ekspresi Alan."Nggak usah marah-marah, Mas. Aku hanya menyebutkan sebuah nama. Nama yang selalu ada dihati dan pikiran Mas Alan. Jangan khawatir, rahasia Mas Alan dan Firda aman padaku. Aku hanya penasaran saja, apakah Mbak Aira tahu ya?" Reza mengejek secara halus, ia ingin melihat reaksi Akan.Alan semakin syok mendengar Reza berbicara. Reza hanya tersenyum kecil."Kasihan deh, kamu ketahuan Mas," gumam Reza dalam hati."Aku yakin, kalau Dwita dan Mama, bahkan Trisa, pasti sangat setuju jika Mas ketahuan selingkuh dengan Firda. Mereka tidak peduli dengan perasaan Mbak Aira. Itulah yang sering aku dengar dari Dwita. Ia sepertinya tidak menyukai Mbak Aira dan selalu menyebut-nyebut nama Firda. Aku heran ada perempuan seperti Dwita, yang bahagia jika kakaknya selingkuh. Ckckck." Reza semakin gencar menguliti Alan, ia sangat senang melihat Alan yang terpojok.Wajah Alan sudah merah padam menahan amara
Detak jantung Aira menjadi tidak beraturan, apalagi ketika tatapan matanya beradu dengan Alan. Tapi ia tetap berusaha untuk profesional. Irwan mempertahankan Aira pada Alan dan Beni. Alan tampak tak berkedip menatap Aira."Dasar laki-laki hidung belang, punya istri, selingkuh, eh sekarang malah tak berkedip melihat yang bening," gumam Beni dalam hati. Ia ingat bagaimana Alan dan Firda tampak gugup di depan Beni waktu itu.Setelah cukup berbasa-basi, akhirnya dimulailah pembahasan tentang kerja sama mereka. Alan dan Irwan merupakan tangan kanan bos mereka di perusahaan. Mereka sudah dipercaya bosnya masing-masing untuk melakukan pembicaraan. Bara sedang ada diluar kota, ia mempercayakan semuanya pada Irwan. Begitu juga dengan Handika.Banyak hal yang mereka bicarakan. Aira dan Beni sangat sigap membantu atasan mereka dalam bernegosiasi. Alan sangat mengagumi cara kerja Aira yang cekatan dan gesit. Apalagi ketika Aira mempresentasikan di hadapan mereka. Terlihat sekali kalau Aira sudah
"Maaf, saya nggak tahu kalau ada tamu," kata Beni yang sedang membuka pintu. Ia pun keluar lagi dan menutup pintu ruangan Alan.Beni syok melihat Firda yang duduk dipangkuan Alan, dan mereka berdua sedang berc*uman. "Astaghfirullah, maafkan aku ya Allah," gumam Beni, mengingat kejadian tadi. Sebenarnya tadi Beni sudah menelpon Alan, tapi tidak diangkat. Sudah mengetuk pintu juga, tapi tidak ada jawaban. Karena itu ia nekat masuk ke ruangan Alan. Ternyata malah melihat perbuatan zina."Kenapa, Ben?" tanya Evan yang melihat Beni tampak gugup. Beni kaget."Kamu ngagetin aku saja.""Kamu sedang melamun, makanya kaget. Ada apa sih?""Nggak apa-apa." Beni duduk di tempat duduknya dan berusaha melanjutkan pekerjaannya."Lho, berkas itu belum dikasihkan ke Pak Alan?" tanya Evan lagi."Nanti saja.""Itu harus segera dikirimkan ke Pak Handika.""Iya, nanti saja." Beni masih saja mengelak. "Berkas itu ditunggu Pak Handika, lho. Nanti kita kena marah." Evan mengingatkan lagi."Masih ada tamu,"
"Aku nggak tahu lagi, Mas, apa yang harus aku lakukan supaya keluargamu bisa menerimaku dengan baik. Apakah memang kita harus berpisah seperti keinginan mereka?" Mata Aira berkaca-kaca menahan tangis."Semua yang aku lakukan selalu salah. Kalau memang berpisah adalah jalan terbaik, aku akan berusaha untuk ikhlas. Carilah kebahagiaanmu sendiri, tapi Kenzo tetap bersamaku." Aira langsung masuk ke kamar, menjatuhkan tubuhnya di kasur. Ia menangis tersedu-sedu. "Ya Allah, berilah aku jalan terbaik," kata Aira dalam hati.Di ruang keluarga, Alan hanya termangu. Ia sedih melihat Aira kecewa seperti itu. Memang mamanya memperlakukan Aira seperti musuh saja. Ia bingung dengan situasi seperti ini.Ada rasa sangat bersalah di dalam hatinya, melihat Aira yang bersedih karena kelakuannya. "Apa yang harus aku lakukan?" kata Alan dalam hati. Matanya menerawang jauh, mengingat perselingkuhannya dengan Firda. Ponselnya berdering, Alan melihat siapa yang memanggil. Siapa lagi kalau bukan Firda. Ia
Bara shock mendengar Firda menyebut nama laki-laki lain. Seketika ia menjadi tidak berselera melanjutkan pergumulan mereka. Tapi Bara masih berusaha menuntaskannya. Malam yang seharusnya membuat Bara bahagia, ternyata malah membuatnya sangat kecewa.Setelah selesai, Firda tampak kelelahan, ia masih telentang di tempat tidur. Bara segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Dibawah guyuran air shower, pikiran Bara melayang jauh, mengingat kejadian tadi. Bara memang tidak mendengar dengan jelas nama laki-laki yang disebut oleh Firda. Tapi ia yakin kalau itu bukan namanya."Apakah Firda selingkuh? Mungkinkah tadi ia menunggu laki-laki itu? Ia pikir aku belum pulang, jadi ia janjian dengan selingkuhannya. Terus tadi ia membatalkan janjian itu. Ah, semuanya tampak sangat mencurigakan," gumam Bara.Bara keluar dari kamar mandi, ia melihat Firda tertidur dengan lelapnya. Bara mendekati Firda, memandangi tubuh Firda yang dulunya selalu membuatnya tergila-gila. Tapi kejadian malam in
Brukk! Aira tampak kaget karena menabrak seseorang."Maaf, Saya tidak sengaja." Aira menunduk, ia melihat sepatu orang yang ditabraknya. Sepatu perempuan yang terlihat mahal harganya."Nggak apa-apa, Aira. Kamu kan nggak sengaja."Aira mendongakkan wajahnya, terlihat Firda menatapnya sambil tersenyum."Eh, Bu Firda. Maaf, Bu.""Kamu dari mana?" tanya Firda."Dari toilet, Bu. Sakit perut.""Oh, kenapa? Belum sarapan?" Firda terlihat peduli dengan Aira. "Tadi belum sempat sarapan, Bu. Buru-buru." Aira memberikan alasan yang kira-kira masuk akal."Saya yakin pasti setiap pagi kamu sangat sibuk mengurus rumah, anak dan suami. Tapi tetap semangat ya? Tidak semua orang punya kesempatan seperti itu." Suara Firda terdengar agak sedih."Maaf, Bu. Maksudnya?" Aira menjadi penasaran."Kamu lebih beruntung dibandingkan saya. Sampai sekarang kamu belum dikarunia anak.""Oh, maaf, saya tidak tahu.""Nggak apa-apa! Sekarang kamu sarapan dulu, kalau masih sakit, minum obat ya? Jangan sampai nanti pu
"Ada apa sih?" Dewi sangat penasaran melihat ekspresi Alan dan Trisa."Nggak ada apa-apa kok, Ma." Alan dengan tenang, ia masih memegang ponsel Trisa. "Kok ponsel Trisa ada di tanganmu?" selidik Dewi."Nggak apa-apa, Ma. Pinjam sebentar.""Memangnya ponselmu kemana? Disita oleh Aira? Memang Aira itu benar-benar perempuan yang tidak bisa menghargai suami. Sampai-sampai ponsel saja diambil." Dewi mengomel. Memang benar, kalau hati sudah membenci seseorang, apapun yang dilakukan oleh orang itu selalu salah. Dan Aira yang selalu menjadi kambing hitamnya."Ma, aku tahu kalau Mama membenci Aira, tapi jangan selalu berprasangka buruk pada Aira. Itu penyakit hati, Ma," kata Alan."Halah, kamu sok menasehati Mama."Tiba-tiba Dwita pulang dan langsung berjalan menuju ke kamar. Tidak menyapa siapapun, sepertinya ia sedang ada masalah."Dwita! Dwita!" panggil Dewi, tapi Dwita tetap masuk ke kamar.Blam! Suara pintu yang ditutup dengan penuh emosi. Membuat yang mendengarnya kaget."Ada apa dengan
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d