Pandangan semua orang kini tertuju pada Sarah yang baru saja menoleh ke arah belakang. Wanita berkerudung cokelat muda itu membelalakkan mata, terkejut sekaligus malu karena kini menjadi pusat perhatian publik. Tatapannya tertuju pada Raka, yang berdiri tidak jauh dari mobil. Dengan senyum lebarnya, pria tersebut terlihat sangat menikmati momen tersebut."Mas, ada apa lagi? Kenapa manggil aku balik?" tanya Sarah dengan nada setengah berbisik begitu ia mendekat. Wajahnya memerah karena semua mata masih tertuju padanya.Raka, dengan santainya, melangkah mendekati Sarah. Ia mengulurkan tangan, merapikan ujung kerudung istrinya. "Bagian sini terlipat," ucapnya tenang, matanya menatap lekat-lekat ke wajah Sarah. "Aku ingin memperbaikinya."Sarah mengerjap, merasa semakin malu. Tatapan hangat Raka saat tangannya bergerak membenahi kerudung itu membuatnya sedikit salah tingkah."Nah, kalau begini istriku sudah cantik," tambah Raka setelah memastikan semuanya rap
Raka menghempaskan ponselnya ke meja dengan wajah yang merah padam. Bibirnya komat-kamit, mengeluarkan serangkaian misuh-misuh yang tak jelas arahnya. "Dasar nggak masuk akal... orang spesial katanya... apaan coba ini!" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Sarah yang baru saja muncul dari kamar mendekat dengan dahi berkerut. "Mas, ngomong apa sih? Kenapa wajah kamu kayak gitu?" tanyanya sambil menarik kursi dan duduk dengan perlahan. Matanya melirik ke arah ponsel Raka yang masih menyala di meja.Namun, bukannya menjawab, Raka malah melipat kedua tangannya di dada, duduk dengan wajah cemberut seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Nggak ada apa-apa," gumamnya pendek.Sarah menaikkan sebelah alis. "Nggak ada apa-apa kok ngomel-ngomel sendiri? Aku jadi penasaran, Mas." Ia menggeser ponsel Raka yang masih ada di meja dan melirik layarnya. Seketika senyumnya merekah. "Oh, ini toh yang bikin Mas ngambek?"Melihat Sarah tersenyum, Raka semakin kesal. "Kamu kok malah ketawa, sih?" prote
Raka tertawa keras, berhasil menangkap bantal sebelum mengenai wajahnya. “Kenapa? Aku kan cuma nanya,” godanya sambil menahan tawa.Sarah mengembuskan napas kesal, tapi rona merah di wajahnya semakin jelas. “Mas ini nggak ada habisnya ya. Udah pagi, loh. Ayo bangun! Aku mau masak buat sarapan,” katanya cepat sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Namun, Raka dengan cepat menahan pergelangan tangannya, membuat Sarah kembali terduduk. “Masak buat sarapan nanti aja. Aku masih mau kamu di sini,” ucapnya dengan nada lembut tapi tegas.Sarah menghela napas panjang, tapi akhirnya menyerah. Meski begitu, ia tetap tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya. Ia tahu, Raka hanya sedang menikmati momen kebersamaan mereka—dan itu adalah sesuatu yang tidak ingin ia sia-siakan.“Mas, jangan nakal,” gumamnya pelan, sebelum menyandarkan kepala ke bahu Raka sejenak.Raka menghela napas puas, menari
Raka mematung di tempat. Pandangannya menyapu di sekeliling ruangan yang mendadak hening. Kini, dia dan Nadia menjadi pusat perhatian banyak orang. Mata-mata yang menatap penuh rasa ingin tahu membuatnya semakin kaku. Ia tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi seperti ini.“Apa-apaan kamu, Nad?” tanyanya dengan nada rendah, meski jelas terdengar ketegangan di dalamnya.Nadia tetap memeluknya erat, tubuhnya bergetar dalam tangis. Air matanya mengalir deras, membasahi kemeja Raka yang kini terasa berat. Gadis itu tidak peduli pada sekitarnya, bahkan tidak peduli pada tatapan penuh bisik-bisik dari rekan kerja mereka.“Aku nggak tahu harus ke mana lagi, Ka,” ucap Nadia dengan suara parau.Raka menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi yang mulai memuncak. “Nad, kita di kantor. Lepas dulu, kita bisa bicara nanti,” bisiknya, berusaha terdengar setenang mungkin meski amarah dan rasa malu mulai membakar diri.Namun, Nadia justru semakin erat memeluknya, seolah takut Raka
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, namun bukan hanya hawa dingin yang membuat suasana di dalam mobil begitu beku. Raka mengemudikan kendaraan dengan tatapan kosong, sesekali mencuri pandang ke arah Sarah yang duduk diam di sampingnya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka sejak meninggalkan kantor Sarah, tempat Nadia baru saja menciptakan kekacauan yang tak terelakkan.Kata-kata Nadia masih terngiang jelas di telinga Raka, seperti sebuah lonceng peringatan yang terus berdentang tanpa henti. Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam, berusaha mengalihkan pikirannya dari wajah wanita itu, tetapi bayangan Sarah yang bersikap dingin di samping membuat beban itu semakin berat.Sementara Sarah di sisi lain, berusaha sekuat tenaga untuk tidak meluapkan semua pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Dia tahu, suasana hati Raka tidak memungkinkan untuk diinterogasi saat ini. Namun, hatinya tetap tergores setiap kali mengingat adegan Nadia yang
“Kenapa kamu malah nanya begitu?” Raka memandang Sarah dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia bingung dengan arah pembicaraan ini.Sarah menghela napas, menatap Raka dengan mata yang kini mulai terlihat lelah. “Wajar dong, Mas. Dari tadi yang aku dengar, Mas terus nyalahin diri sendiri dan kasihan sama Mbak Nadia.”Nada suara Sarah terdengar ringan, tetapi ada sesuatu yang lain di sana—sesuatu yang menyentuh ego dan rasa bersalah Raka. Ia tahu, istrinya sedang cemburu.“Kamu cemburu?” tanya Raka, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar.Sarah mendengus kecil, pandangannya beralih ke arah jendela. Angin malam menggesek dedaunan di luar sana, menciptakan suara samar yang membuat keheningan di dalam kamar mereka terasa semakin nyata. “Mas pikir?”“Kamu istriku, Sarah. Mana mungkin aku masih mikirin orang lain,” jawab Raka dengan suara yang lebih rendah, seperti mencoba menenangkan
Hujan terus mengguyur deras malam itu, seperti melukiskan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Raka. Pesan dari Nadia yang penuh keputusasaan membuat pikirannya semakin buntu. Waktu seperti berlari terlalu cepat, tetapi jawabannya tetap tak kunjung ia temukan.Dia kembali membaca pesan itu, mencoba memahami di mana Nadia mungkin berada. Kalimat tadi terus mengganggu pikiran Raka. Ia harus menemukannya sebelum terlambat.Setelah merenung sebentar, Raka teringat sesuatu. Nadia pernah menyebutkan sebuah tempat ketika mereka masih bersama dulu—jembatan tua di luar kota. Tempat itu adalah tempat favorit Nadia untuk menenangkan diri ketika ia merasa terbebani.Tanpa berpikir panjang, Raka mengarahkan mobilnya ke sana. Jalan menuju jembatan tua itu semakin sepi dan gelap. Pohon-pohon tinggi berdiri di kedua sisi jalan, menggambarkan suasana yang semakin mencekam.Sesampainya di jembatan, Raka segera mematikan mesin mobil. Hujan yang terus turun memb
Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Sarah yang tertidur di atas sajadah, perlahan membuka matanya. Rasa kantuk masih menggantung di pelupuk, namun tersentak begitu menyadari shalat subuhnya belum ia tunaikan. Ia segera bangkit, mengambil air wudhu, dan melaksanakan shalat dengan khusyuk, meskipun hati dan pikirannya terusik.Ketika doa panjang baru saja ia tutup, suara notifikasi ponselnya memecah keheningan kamar. Sarah melirik ke arah meja tempat ia meletakkan ponsel. Sebuah pesan muncul di layar. Nama sang suami, Mas Raka, terpampang jelas di sana. Ia menghela napas panjang. Meski rasa penasaran muncul, Sarah membiarkan ponsel itu diam di tempat.Namun, dorongan untuk membaca pesan itu akhirnya mengalahkan keengganan yang ada. Jemarinya menggeser layar, dan rentetan kata maaf dari Raka langsung memenuhi layar ponsel.[Sarah, maaf. Aku ketiduran di rumah Nadia. Semalam aku harus memastikan dia baik-baik saja. Aku harap kamu bisa mengerti.]
Sarah menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke bantal yang menopang tubuhnya. Wajahnya masih tampak pucat meski ia berusaha terlihat tegar di depan Raka. Sesekali, tangannya yang lemah mencoba merapikan helai rambut yang keluar dari kerudungnya.Tatapan Sarah kemudian beralih ke arah suaminya, yang duduk dengan kepala tertunduk, tangan terkepal di atas lututnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar."Maaf, Mas. Aku cuma nggak mau kamu kepikiran dengan kondisi aku," kata Sarah akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketulusan. Ia tahu Raka pasti merasa bersalah, meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya secara langsung.Sementara di sudut ruangan, Dini berdiri mematung. Ia memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin campuran antara rasa prihatin dan rasa hormat pada Sarah, yang meski dalam kondisi lemah, tetap berusaha menjaga perasaan suaminya. Dini memilih untuk diam, memberikan ruang kep
Pikiran Raka tak tertuju pada suara Dini yang barusan berbicara, melainkan pada sosok istrinya yang tampak berbeda pagi ini. Ia menatap Sarah yang sudah mengenakan pakaian formal hitam putih yang membuatnya tampak begitu anggun.. Ada rasa bangga dan kagum yang bercampur menjadi satu."Sayang, hari ini kamu sidang?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan perhatian Raka. "Iya, Mas. Do'akan ya, semoga semuanya lancar." Senyumnya tersungging, meski gugup terlihat jelas di wajahnya.Raka mengangguk mantap. "Amin. Kalau gitu Mas yang antar kamu ke kampus," ujarnya tegas.Sarah langsung menggeleng cepat. "Enggak usah, Mas. Aku sama Dini aja."Namun, seolah tak mendengar, Raka mengambil buku-buku Sarah dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mobil tanpa banyak bicara.Dini yang berada di dekat pintu menghela napas pendek sebelum akhirnya berkata, "Kita jumpa di kampus aja ya, Ra."Sarah menatap
[Sayang, kamu di mana?]Sarah membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Meski sedih dengan situasi di antara mereka, ia tidak bisa mengabaikan pesan dari Raka. Ia segera mengetik balasan, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk.[Aku sudah di rumah, Mas.]Setelah mengirim balasan, Sarah menghela napas panjang. Ia melangkah pelan menuju kamar. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja di sudut ruangan. Sarah menghempaskan tubuhnya ke kasur, berharap bisa segera tertidur dan melupakan semua kekacauan ini. Tapi matanya masih terbuka, pikirannya terus berputar-putar memikirkan semua masalah yang ada.Derit pintu kamar yang terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Sarah tahu itu pasti Raka. Ia segera memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Langkah kaki Raka terdengar mendekat, semakin lama semakin jelas. Lalu, kasur di sebelahnya bergerak pelan. Sarah merasakan kehangatan tubuh Raka saat pria itu memeluknya dari arah belakang."Sarah," bisik Raka lembut.
Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb
"Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng
Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap
Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”
Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra
"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.